Mencoba menjelaskan sebuah hubungan kausalitas (sebab akibat) berdasar data kualitatif dalam sepakbola bagi saya adalah sebuah kerepotan. Sebanyak apapun variabel dimasukkan dan diperhitungkan, terlalu banyak celahnya.
Paling dekatnya, data kualitatif bisa memberi landasan bagi sebuah perspektif dari sekian banyak kemungkinan perspektif lain.
Ia, penjelasan kausalitas berdasar data kualitatif, nisbi kemutlakan. Ia bukan perhitungan matematika yang menahbiskan kepastian. Ia keragaman. Tidak ada garis batas hitam putih yang tegas. Selalu sebuah keabu-abuan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa pengamat bola ada yang mencoba berbagai persoalan lewat data kuantitatif (berbasis angka atau pengangkaan). Banyak terungkap dan tergali pemahaman yang menarik. Namun data kuantitatif biasanya mensyaratkan sebuah logika yang linear. Dan saya melihat terlalu banyak cacat kalau melihat sepakbola menggunakan pendekatan yang linear.
Ungkapan bola itu bundar sebagai misal, sedikit banyak adalah pengakuan alam bawah sadar kita akan cacat logika linear itu. Ungkapan ini turunan dari tidak berlakunya skenario: kalau kesebelasan A selalu bisa mengalahkan kesebelasan B, sementara kesebelasan B selalu bisa mengalahkan kesebelasan C, maka kesebelasan A akan selalu bisa mengalahkan kesebelasan C.
Data kuantitatif tak bisa dipungkiri bisa banyak berguna, terutama untuk menentukan strategi dan taktik bermain. Itu saya tak menolaknya.
Misalnya, salah satu contoh yang paling saya suka adalah bagaimana Jose Mourinho ketika di Inter Milan memanfaatkan data kuantitatif yang menyebut kecilnya persentase keberhasilan Barcelona mencetak gol lewat umpan silang, terutama umpan silang melambung karena pemain Barcelona kecil-kecil. Hampir semua gol Barcelona dicetak lewat terobosan ataupun gocekan di tengah.
Maka ketika bertemu di semifinal Liga Champions 2009/10 Mourinho sama sekali menutup pergerakan di tengah dengan menumpuk pemain (dan menempatkan dua/tiga pemain tinggi besar di jantung pertahanan), membiarkan Barcelona lebih menguasai bola asalkan pergerakannya menyamping ke sayap, dan membiarkan mereka melakukan umpan silang ke muka gawang.
Mengambil risiko tapi diimbangi perhitungan yang sangat matang (calculated risk). Memanfaatkan kecilnya probabilitas Barcelona mencetak gol dari umpan silang. Taktik yang sangat sederhana, namun sangat jitu mematikan tiki taka Barcelona yang kesohor itu.
Tetapi ketika kita harus menjelaskan mengapa ada gaya bermain tiki taka, dan mengapa Barcelona yang memperkenalkannya dan bukan klub lain, maka kemudian kita tidak bisa menyandarkan persoalan pada analisa kuantitatif. Kita akan berbicara kultur, sejarah, evolusi permainan dan lain-lain.
Sama halnya ketika kita berbicara tentang total football, kick and rush, jogo bonito (samba), catenaccio atau julukan-julukan gaya permainan lainnya. Kita harus mencari jawaban atau penjelasan keluar lapangan untuk melengkapi apa yang terjadi di lapangan. Atau bahkan sama sekali mencari jawabnya dari luar lapangan.
Biasanya data kuantitatif memang akan mudah digunakan untuk menjelaskan fenomenon (kecenderungan yang khusus-tunggal) dalam sepakbola tetapi tidak cukup untuk menjelaskan fenomena (kecenderungan yang bersifat banyak-besar). Seperti kasus Barcelona-Inter Milan tadi.
Kalaupun kemudian ada yang mencoba melakukan analisa kuantitatif untuk menjelaskan fenomena, pada akhirnya juga hanya akan menjadi satu bagian saja dari penjelasan. Sebuah perspektif dari sekian penjelasan lain. Sebuah pengayaan.
Berikutnya adalah persoalan selera. Bagi saya perilaku memang bisa disimbolkan ke dalam angka seperti dalam kecenderungan penelitian kuantitatif, tetapi pada akhirnya tidak bisa direduksi semata sebagai angka.
Saya termasuk dalam kubu yang berpegang pada paham karena permainan sepakbola adalah cermin perilaku manusia di luar lapangan, maka sudah semestinya kita menggunakan data kualitatif dan bukan kuantitatif untuk menjelaskannya. Setidaksempurnanya penjelasan itu.
Itulah sebabnya berulang kali ditanya mengapa Inggris yang menjadi tempat lahirnya sepakbola tetapi baru sekali saja menjadi juara dunia, saya tidak pernah bisa memberi jawaban definitif. Dan mungkin tidak diperlukan juga jawaban yang demikian. Atau mengikuti logika kualitatif, jawaban begitu beragam tinggal pilih yang mana.

Saya mencoba bercerita tentang penetrasi industri dan komersialisasi persepakbolaan Inggris, persaingan antarklub, sikap insular orang Inggris, pengkotakan kelas sosial yang tajam, medianya yang kejam dan lain sebagainya. Mencoba untuk menjelaskan bahwa kegagalan yang terjadi di lapangan bukan semata-mata karena persoalan di lapangan.
Mungkin terlalu genit, dan mencoba mencari penjelasan yang terlalu rumit. Padahal kalau mau jujur persoalannya sederhana saja, (sangat kuantitatif): Inggris selalu gagal ya karena kalau bermain lebih sering gawangnya kebobolan sementara tidak mampu membobol gawang lawan. Karenanya kalah dan tersingkir.
17 tahun tinggal di Inggris dan mengikuti sepakbolanya dari dekat, kesimpulan "tidak bermutu" itu yang mungkin semestinya saya kemukakan. Tetapi betapa kering dan tidak menariknya kemudian. Juga sebuah sikap yang abai. Seolah sepakbola Inggris (atau juga sepakbola negara lain) hidup dalam ruang vakum ketika kita semua mengerti bahwa tidak demikian halnya.
Bagi saya pribadi, kalaupun pengalaman saya tidak cukup untuk menjelaskan hal itu atau juga tidak cukup berguna untuk orang lain, setidaknya pemahaman yang bersifat kualitatif tentang sepakbola telah membuka banyak pintu ke bidang kehidupan lain.

Ia memberi jalan masuk untuk menelusuri keindahan dan kekayaan kesusastraan Inggris, secara tidak langsung belajar dinamika kehidupan sosial-politik-ekonomi dan kebudayaan Inggris, belajar untuk menertawakan ketidaksempurnaan diri kita sendiri, dan menyerap filosofi kehidupan yang serba paradoks dan mendua.
Sepakbola juga mendorong saya untuk menelusuri pelosok-pelosok Eropa, mencoba mengerti beragamnya kehidupan yang terpantul dari gaya bermain, mentalitas dan apa yang terjadi di dalam stadion sepakbola. Bertemu, berkenalan dan bersahabat dengan banyak sekali sesama penggemar bola dari berbagai negara.
Sepakbola hanyalah permainan. Tetapi saya sangat berterima kasih dengan keberadaannya. Ia, sepakbola (Inggris), telah memperkayaβmemberi warna--hidup dan kehidupan saya selama tinggal di Inggris. Bahkan bukan sekadar memperkaya hidup selama di Inggris, tetapi juga hidup saya pada umumnya.
Kini telah tiba saatnya bagi saya untuk mengamati persepakbolaan Inggris dari jauh, tapi kini berdasar cerita dari teman sesama penggemar bola di Inggris, buku, media, kunjungan sekali-sekali ke Inggris, dan sekelumit kenangan dalam benak yang semoga tidak lekas pudar.

======
* Foto-foto: Getty Images dan dok. pribadi
* Penulis pernah menjadi wartawan di sejumlah media dalam dan luar negeri. Sejak tahun 1997 tinggal di London dan sempat bekerja untuk BBC, Exclusive Analysis dan Manchester City. Penggemar sepakbola dan kriket ini sudah pulang ke tanah air dan menjadi Chief Editor portal CNN Indonesia. Akun twitter: @dalipin68
(a2s/roz)











































