Mitos, Sejarah, dan Ajat Sudrajat

Mitos, Sejarah, dan Ajat Sudrajat

- Sepakbola
Senin, 22 Sep 2014 16:13 WIB
detikFoto/Oris Riswan Budiana
Jakarta -

Seorang teman pendukung Persib bercerita tentang posisi Ajat Sudrajat dalam khasanah sejarah persepakbolaan Persib. Tentang pendukung Persib yang masih memujanya. Tentang bendera besar bergambar pemain tahun 80’an yang berkibar di Stadion Jalak Harupat hingga sekarang.

"Ia mah dewa."

Cukup tiga kata. Referensi pemujaan yang tak perlu dijelaskan arti superlatifnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Anda tahu, pernyataan tadi menyeberangkan Ajat Sudrajat dari sebuah noktah sejarah menjadi mitos.

Ia bukan lagi sekadar Ajat yang nyata. Ia telah menjadi Ajat yang khayali, yang lentur untuk dimasukkan dalam cerita apa saja. Fakta dan konteks menjadi relatif berhadapan dengan dirinya.

Misal, dari dilihat dari segi prestasi, dengan tidak bermaksud mengecilkan, selama sekitar 15 tahun berkarir ia hanya dua kali membawa Persib juara Liga (Perserikatan) Indonesia: 1986 dan 1990.

Tetapi selalu muncul argumen bahwa tanpa Ajat, yang dua itupun tak bakal teraih. Muncul pembelaan yang pada intinya mendudukkan Ajat sebagai pusat alasan kesuksesan Persib. Sementara ketidaksuksesan disebabkan oleh sekian macam faktor diluar Ajat yang (seperti) berkonspirasi untuk menggagalkan.

Juga, ingatkah ketika ia memalingkan muka dari Persib dan pindah ke Bandung Raya ketika berselisih dengan pengurus. Pemaknaan pendukung Persib adalah Ajat berjuang membuka "kebobrokan" pengurus Persib. Fakta sebenarnya tidak menjadi penting atau (sengaja) diabaikan.

Dari segi ketrampilan dan visi dalam permainan, alasan pertama mengapa ia dipuja, mungkin ia hebat. Tetapi hebat tentu saja berkonteks: dibandingkan dengan siapa, posisinya, kompetisinya, maupun tentu saja jamannya.

Kalau bercermin pada mereka yang memenuhi Jalak Harupat sekarang, seberapa banyak yang pernah melihat secara langsung Ajat pada puncak kejayaannya? Kemungkinan besar tak terlalu banyak. Hanya cerita dari ingatan yang semakin kabur dari fakta yang kemungkinan beredar. Atau bagi mereka yang mempunyai akses ke Youtube atau semacamnya, cuplikan-cuplikan yang tentu saja selektif memperlihatkan kehebatan pemain ini.

Banyak Ajat-Ajat lain di dunia sepakbola (dan lebih banyak lagi dalam kehidupan). Dalam skala yang lebih besar tentu saja ada nama seperti Pele, Maradona, Johan Cruyff, Franz Beckenbauer, dan sekian nama yang lain yang mungkin tidak dikenal penggemar bola Indonesia.

Bahkan bukan sekadar menyangkut individu atau tokoh sebetulnya. Coba perhatikan, bukankah ada klub-klub yang menikmati posisi meng-Ajat di dunia persepakbolaan. Ada juga persaingan-rivalitas antar klub yang juga meng-Ajat.

Semuanya, baik individu-klub-rivalitas antar klub mempunyai keseragaman bahwa mereka mentransenden dari sekadar noktah sejarah menjadi mitos. Ketika konteks menjadi kabur. Ketika catatan faktual –dan kemungkinan kekurangan– terabaikan atau cenderung tidak diperhitungkan.

Anda tahu, mitos lahir dari tradisi ketika manusia mengandalkan alat inderawi: intuisi, perasaan, bau, sentuhan, pendengaran, penglihatan untuk mengarungi hidup.



Mitos, seperti juga sejarah, adalah sebuah upaya untuk mencatat/mengingat/menuturkan sebuah peristiwa. Tetapi tidak sekadar itu, mitos dimaksudkan penuturnya untuk juga memberi kerangka pemahaman akan dunia, bagaimana memaknai peristiwa. Ia sebuah tuturan untuk mengarungi kehidupan yang sebisa mungkin harmonis/menyesuaikan diri dengan alam.

Tidak mengherankan bahwa yang bernama mitos selalu saja mempunyai injeksi pesan moral dan kebijakan menyatu di dalamnya. Juga yang tak kalah penting universalitas, dalam pengertian bisa berlaku untuk siapa saja dalam lingkaran komunitas yang dituju. Karenanya fakta dan konteks bukanlah yang paling penting dalam mitos.

Mitos adalah persoalan pegangan hidup. Dimaksudkan untuk abadi.

Sementara sejarah merupakan bagian dari tradisi yang berkembang dengan mengandalkan intelektualitas dan rasionalitas. Sebuah tradisi (keilmuan) yang dengan sengaja di abad ke 16 dan 17 merasa harus meninggalkan dunia inderawi dan menggantikannya dengan kepastian matematis.

Tradisi baru ini merasa harmonisasi dengan alam bukanlah dicapai dengan cara manusia menyesuaikan diri. Alam harus diatur dan ditata oleh manusia lewat daya pikir dan logika. Alam dipahami untuk ditaklukkan.

Mitos, seperti juga segala sesuatu yang mengandalkan inderawi, bagi para pengusung rasionalitas tidak bisa dipercaya. Terlalu direcoki oleh ketidakpastian, subyektifitas, bahkan fiksional dan tahayul.

Sejarah, dalam pandangan ilmuwan, lebih bisa dipercaya. Ia menampilkan catatan fakta yang dingin, masuk akal, dan obyektif. Ia tidak berpretensi untuk merumuskan moralitas dan kebijakan, dua hal yang menurut para ilmuwan harus diserahkan pada interpretasi masing-masing individu. Sejarah bersifat kontekstual dan sementara.

Jadi walau sejarah dan mitos pada dasarnya merupakan cara untuk menjelaskan (menuturkan) sebuah peristiwa, tetapi keduanya berasal dari akar pemahaman yang sangat berbeda.

Persoalannya adalah ketika mitos dan catatan sejarah jumbuh menjadi satu. Ketika mitos menjadi sejarah dan sebaliknya.

Tiba-tiba saja yang faktual, obyektif, rasional, khayali, subyektif, kontekstual, non kontekstual, sementara, dan abadi berbaur menjadi satu. Tinggallah kita ummat manusia sering kali tergagap-gagap tak mampu mengurai sejarah dari mitos.

Sehingga seorang Napoleon Bonaparte, entah bercanda, serius atau putus asa, sempat mengatakan, "Sejarah adalah sebuah mitos yang diyakini kebenarannya oleh umat manusia."

Beruntunglah sepakbola, kalau mau, bisa menjadi dunia yang tidak serius-serius amat. Biarlah kalau mitos dan sejarah sulit dipilah, setidaknya pengaruh pada kehidupan tidak terlalu merepotkan. Cukup menjadi perbincangan di warung kopi.

====

*Foto: Ritual pemandian patung Persib di Jalan Tamblong, Bandung, untuk merayakan hari ulang tahun Viking pada 2012 silam. (detikFoto/Oris Ridwan Budiana).

* Penulis pernah menjadi wartawan di sejumlah media dalam dan luar negeri. Sejak tahun 1997 tinggal di London dan sempat bekerja untuk BBC, Exclusive Analysis dan Manchester City. Penggemar sepakbola dan kriket ini sudah pulang ke tanah air dan menjadi Chief Editor portal CNN Indonesia. Akun twitter: @dalipin68

(roz/a2s)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads