Manusia, Rasa Malu, dan Bebal Tak Berbatas

Manusia, Rasa Malu, dan Bebal Tak Berbatas

- Sepakbola
Sabtu, 29 Nov 2014 09:12 WIB
Manusia, Rasa Malu, dan Bebal Tak Berbatas
Stanley Chou/Getty Images
Jakarta - Definisi siapa sesungguhnya manusia ini telah disodorkan begitu banyak orang bijak dan pemikir.

Untuk mengutip beberapa, Aristoteles dari jaman Yunani kuno misalnya, menyebut manusia adalah hewan yang mempunyai daya pikir.

Ernst Cassirer, pemikir Jerman, di sekitar tahun 1930-an berbicara tentang manusia sebagai hewan yang mampu berabtsraksi dan menciptakan simbol. Kemampuan yang menurutnya membuat manusia berbeda dengan hewan, membuat manusia mampu berbahasa, mengapresiasi keindahan dan mengembangkan ilmu dan teknologi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ali Syariati, cendekiawan Iran, memberi ilustrasi simbolik tentang makhluk yang terjebak tarik menarik antara dua kutub penciptaan: tanah liat yang kotor dan roh tuhan yang suci. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang terhuyung-huyung dengan kaki berpijak ke kubangan yang serba kotor sementara otaknya menyundul langit mencoba menggapai ruh maha suci (tuhan).

Itu hanya tiga yang saya ingat begitu saja. Tetapi yang jamak saya temui, seperti tiga yang tersebut, definisi tentang manusia selalu saja menekankan kemampuan nalar dan penalaran. Saya tidak berani menyalahkan atau membenarkan. Hanya sering merasa kurang: bagaimana dengan rasa malu?

Tidakkah rasa malu layak disisipkan sebagai bagian dari definisi apa dan siapa manusia itu? Tidakkah rasa malu bisa dijadikan sebagai pembeda manusia dengan hewan atau makhluk lain di muka bumi ini?

Memang rasa malu bersifat relatif. Tidak sejajar universal. Apa yang memalukan di satu masyarakat belum tentu memalukan di masyarakat lain. Ia terkait dengan nilai dan norma sosial di lingkup manusia berkehidupan.

Tetapi rasa malu sebegitu penting dalam berkehidupan sehingga manusia –apapun pengelompokan budayanyaβ€”merasa perlu untuk melakukan pengelolaan. Salah satunya bagaimana manusia merasa perlu untuk membuat mekanisme penebusan aib, melebur rasa malu.

Di dunia ini salah satu mekanisme penebusan aib yang paling terkenal mungkin adalah hara-kiri di Jepang. Sebuah proses bunuh diri yang penuh tata cara rumit untuk menebus rasa bersalah dan malu. Hara-kiri terkenal mungkin karena penebusan aibnya sangatlah ekstrim.

Menghitung dan menempatkan rasa malu dan mekanisme penebusannya menimbulkan persoalan dalam menyikapi kekalahan 0-4 Indonesia dari Filipina di Piala AFF 2014.

Pertama, apakah kekalahan dari Filipina itu memalukan? Tidakkah menang kalah dalam pertandingan sepakbola itu lazim adanya? Kedua, apakah yang harus dilakukan untuk menebus rasa malu itu kalau kekalahan itu memang benar memalukan?

Kalau dalam konteks pertandingan, walau kalah 4-0 sangat menyesakkan dada dan mengecewakan, bolehlah kita mengatakan kalah-menang adalah biasa. Persoalannya adalah ketika kekalahan itu ditarik ke konteks yang lebih luas.

Ini hanya kekalahan kedua Indonesia dari Filipina dalam 24 pertandingan antara kedua negara. Satu-satunya kekalahan lain yang dialami Indonesia adalah saat kedua negara untuk pertama kalinya bertemu tahun 1934. Kedua negara belum merdeka, jadi mungkin belum bisa dihitung. Sesudahnya Indonesia sangat sering mengalahkan Filipina bahkan dengan skor telak termasuk 12-0 tahun 1972 dan 13-1 tahun 2002.

Filipina bukanlah negara bola. Sepakbola mungkin mempunyai sejarah panjang di Filipina tetapi bola basket adalah olahraga pertama mereka.

Minimnya minat penggemar bola di negara itu membuat kompetisi profesional yang pertama kali digelar tahun 2008 tidak banyak membuat gaung. Sulit hidup malah. Berbagai inisiatif klub-klub Eropa untuk membantu sejak tahun 2000-an belum mampu menghidupkan budaya bola negara itu.

Dalam konteks ini kekalahan itu karenanya memalukan. Semestinya Indonesia unggul segalanya: budaya bola, jumlah pemain profesional, kualitas pemain, prestasi, dan dukungan penggemar yang luar biasa.

Karenanya kalau sampai ada yang mengatakan kekalahan Indonesia disebabkan Filipina mengalami kemajuan yang luar biasa, sulit untuk diterima akal. Yang lebih tepat adalah Indonesia mengalami regresi, kemunduran, yang luar biasa.

Mungkin saya yang tak paham dengan kebiasaan di Indonesia atau mungkin saya berharap terlalu banyak. Sepertinya ada semacam pola: begitu ada sedikit prestasi maka pengurus PSSI berebut bicara; begitu ada persoalan, tidak ada yang bersuara kecuali terpaksa.

Saya menunggu-nunggu pernyataan yang segera dari PSSI, sekadar semacam permintaan maaf. Tak kunjung ada, kecuali melalui akun twitter seorang petingginya. Menunggu pengakuan akan adanya yang salah dalam kebijakan, terlebih lagi, juga tidak ada. Akan sangat menentramkan kalau ada pengakuan kesalahan, inkompetensi, dan semacamnya.

Pengakuan itu adalah langkah pertama dari mekanisme peleburan aib/rasa malu. Konsekuensi pengakuan itu tentu kemudian terserah pada mekanisme kultural yang ada. Kita tentu tidak menunggu ada yang kemudian melakukan hara-kiri. Tetapi seperti layaknya mekanisme penebusan rasa malu, maka sesudah rasa malu ditebus, tersedia ladang yang bersih untuk memulai yang baru.

Tanpa pengakuan dan mekanisme peleburan rasa malu itu maka kita hanya akan terus terantuk pada persoalan yang sama terus menerus: bebal dan dungu. Sulit untuk menyimpulkan yang lain kecuali bahwa di sepakbola Indonesia memang ada kebebalan untuk tidak mau mengakui malu dan dungu karena tidak mengerti bahwa itu jalan pertama untuk maju.

Tak mengherankan Indonesia lalu tertinggal oleh Thailand, Malaysia, dan Singapura. Sekarang Vietnam juga pelan-pelan menjauh. Filipina kini sudah bisa mengalahkan Indonesia.

Tadi malam, Indonesia β€œresmi” tersingkir di Piala AFF. Celakanya, sudah dua edisi berturut-turut, dalam rentang waktu dua tahun, kita cuma bertahan di babak grup. Lolos ke empat besar dari 8 negara saja tidak.

Terkadang menyelusup pertanyaan yang menggelitik: apakah sebenarnya kita ini bebal bersama-sama? Pengurus sepakbolanya bebal. Rakyat sepakbolanya tak kalah bebalnya.

Kalau tidak, mengapa kondisi persepakbolaan di Indonesia tak kunjung membaik? Ini bukan persoalan setahun, dua tahun atau lima tahun. Tetapi puluhan tahun. Lintas generasi.

Kalau mau jujur, pengurus sepakbola yang sekarang adalah mereka yang dulunya kemungkinan ikut meneriakkan adanya perbaikan sekian tahun silam. Yang mereka gantikan juga yang sebelumnya menginginkan perbaikan dari generasi pengurus sebelumnya. Bukankah hanya keledai --hewan yang kita anggap bebal dan dungu-- yang terjerembab dua kali di tempat yang sama?

Jangan-jangan Indonesia mempunyai pengurus sepakbola yang bebal karena memang rakyat sepakbolanya layak mendapat pengurus yang demikian karena mereka sendiri memang bebal juga adanya.

Haruskah sepakbola dilarang dulu, dihentikan dulu, dimoratorium dari bumi Indonesia agar terjadi putus generasi dan tersedia ladang yang betul-betul bersih untuk bersemai bibit baru? Ini tentu saja mengada-ada. Tetapi apa yang harus dilakukan ketika kita menghadapi bebal yang tak berbatas?

====

*Penulis pernah menjadi wartawan di sejumlah media dalam dan luar negeri. Sejak tahun 1997 tinggal di London dan sempat bekerja untuk BBC, Exclusive Analysis dan Manchester City. Penggemar sepakbola dan kriket ini sudah pulang ke tanah air dan menjadi Chief Editor CNN Indonesia. Akun twitter: @dalipin68

(a2s/roz)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads