Bayern sedang menepi di Marakesh ketika sebuah kabar tiba. Dia tersenyum lebar mendengar kabar itu. Natal tiba lebih cepat rupanya.
Bagaimana tidak, ketika sedang berusaha menaklukkan satu lagi perang di tanah orang, dua musuhnya yang terus merongrong-nya selama ini menderita kekalahan. Dengar-dengar, dua musuhnya itu berencana untuk mengambil takhtanya ketika dia sedang pergi ke tanah orang.
Bayern puas bukan main. Betapa bodohnya mereka, dia pikir. Tidak ada yang lebih memuaskan daripada ini. Satu lagi upaya pemberontakan telah gagal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bayern ingat beberapa tahun silam ketika si Keras Kepala itu dengan digdayanya mencoreng wajahnya terang-terang. Warna kuning jelek itu, pikirnya... Betul-betul membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. "Berani-beraninya mereka berpikir bisa menjatuhkanku," amarah Bayern menggerung-gerung. Tapi, kali ini bukan amarah biasa. Ini adalah amarah penuh dengan kepuasan.
Hari itu, matahari di Marakesh bersinar terang. Ini sebuah pertanda bagus untuk sebuah hari yang indah, mungkin. Keesokan harinya dia berangkat berperang dan satu lagi takhta berhasil dia jatuhkan; Takhta Dunia. Betul-betul perang yang mudah.
====
Kejatuhan dapat membuat manusia jadi manusia(*). Tapi, Bayern bukan manusia. Atau setidaknya dia merasa demikian. Dia tidak pernah suka dijatuhkan. Itu takhtanya, hanya miliknya.
Dia ingat ketika mendepak seorang panglima bernama Otto Rehhagel. Ah, Otto... Bayern terkenang. Orang itu berhati batu, namun terlalu naif. Dia mengira dirinya tahu lebih banyak dari Bayern. Dipintanya serdadu Bayern menunduk patuh-patuh kepadanya.
"Tapi, apa yang dia perbuat? Dia membuatku kalah dari si Kuning Keras Kepala itu."
Bayern kemudian membuang Otto jauh-jauh -- jauh sekali. Tapi, sialannya, orang itu kembali lagi bersama serdadu dari kota kecil. Serdadu-serdadu laknat, gumam Bayern lagi. Mereka berhasil menggerogoti takhta Bayern waktu itu, dan Bayern pun mengutuk kencang-kencang. Bukan mengutuki dirinya, tapi mengutuki Otto. Sebab, bukankah dia tidak pernah salah.
Bagi Bayern, keagungan tidak boleh tercoreng. Dia tahu betul di mana kastanya. Keagungan itu tidak akan ada artinya jika dia jatuh dan tidak melawan. Ini adalah perang, semuanya halal di dalam perang. Jika lawan-lawannya tidak menyadari hal ini, celakalah mereka. "Aku akan melangkah di atas mayat mereka satu per satu dengan ringannya," pikir Bayern.
Diambilnya Ottmar dulu, lalu kini dicurinya Matthias. Orang-orang yang pernah penting untuk si Dortmund itu. Diambilnya si hebat itu, direbutnya si hebat ini. Mereka yang pernah penting untuk lawan-lawannya.
"Persetan dengan yang lain," ucap Bayern.
Tidak ada yang benar-benar bisa menghentikannya. Kalaupun ada, itu hanya sementara. Hari ini lawannya menang, besoknya sudah dihancurkan lagi. Besoknya lagi, Bayern sudah berdiri di atas tumpukan mayat lawan-lawannya.
Pemberontakan lawan-lawannya hanya terasa setengah-setengah. Mereka tidak pernah bisa bertahan, terlalu mudah ditebak dan digerogoti. Mereka tidak bisa jadi sekejam Bayern. Padahal kekejaman adalah segala-galanya dalam sebuah perang yang brutal.
"Jangan salahkan aku," pikir Bayern lagi. "Merekalah yang tidak pernah pintar memenangi satu pertempuran ke pertempuran lain. Mereka bodoh dan minim akal. Sekali mereka terjatuh dalam sebuah pertempuran, aku akan melahap lalu meninggalkan mereka jauh-jauh. Salah mereka sendiri."
Kekalahan-kekalahan lawan-lawannya akibat tersandung kaki sendiri adalah upeti tahunan buat Bayern. Serdadu-serdadu terbaik yang dia ambil dari lawan-lawannya adalah harta rampasan perang. Kalaupun bukan harta rampasan, mungkin mereka adalah pengkhianat yang dengan sukarela berpindah haluan.
"Masih menyebut ini salahku?"
Ada cengiran sinis di wajah Bayern seketika dia menggumamkan pertanyaan retoris itu. Cengiran sinis yang sudah lama berusaha dihapus lawan-lawannya, namun tak kunjung berhasil.
====
Berbulan-bulan setelah menaklukkan tanah orang, tidak jauh dari Marakesh, Bayern menemukan takhtanya di rumah aman. Sekali lagi dia merasa terbenarkan.
Dia mendengar pasukan si Keras Kepala itu dijangkiti virus entah apa sehingga mereka menjadi pincang. Sementara Leverkusen terlalu polos ketika mereka berpikir bisa mengendap-endap dari belakang untuk menikamnya.
Dipikirnya, Leverkusen terlalu labil. Bahkan sebelum berhasil mendekati Bayern pelan-pelan, Leverkusen sudah berkubang panah dari pertempuran-pertempuran yang dia hadapi dengan lawan yang lainnya.
Ini adalah saatnya untuk berpesta sampai pagi. Sampai terkapar pun tak apa. Hari ini dia bergembira, sebelum besok-besok mengayun kaki lagi untuk menginjak-injak tanah orang.
Bayern berharap si tuan tanah tidak cukup pemarah untuk menentangnya. Tidak ada yang lebih dia sukai dari kepasrahan dan kesukarelaan. Penentangan hanya akan membuat kepalanya tambah mendidih. Dia tidak suka kepalanya dibuat mendidih oleh mereka yang ingin dia injak.
Tapi, Bayern paham betul. Menganggap enteng si kecil hanya akan membuatnya bernasib sama dengan Goliath. Pesta sampai pagi hanya untuk hari ini saja. Ketika cahaya mengetuk-ngetuk paksa matanya untuk membuka lagi, Bayern tahu dia harus memasang wajah bengisnya lagi.
Hari itu, dia bangun dengan keengganan yang penuh-mutlak. Sampai kemudian kasimnya mengingatkan satu hal.
"Satu orang lagi dari serdadu si Keras Kepala itu membelot, tuan."
Siapa, tanya Bayern. Dia tidak cukup kuat untuk mengingatnya.
"Si pengayun pedang dari Polandia itu, tuan," jawab kasimnya.
Ada senyum mengembang. Cukup senyum saja. Tapi, sesungguhnya Bayern sebisa mungkin menahan diri untuk tidak tertawa terbahak-bahak.
====
(*) dikutip dari kalimat milik Sindhunata di sebuah catatan sepak bola-nya, "Sense of Crisis ala Otto Rehhagel".
*Penulis adalah wartawan detikSport. Beredar di dunia maya dengan akun @Rossifinza
(roz/rin)