Kita pernah mengenal seorang Diego bernama Maradona yang begitu kelam dan hitam, tetapi juga begitu dipuja. Kini, muncul Diego lainnya; Simeone.
Untuk beberapa alasan, kita memang bisa menyebut Maradona begitu hitam. Dia adalah seorang pecandu, pengemplang pajak, pencetak gol curang, dan juga seorang pemain yang pernah terlibat keributan di atas lapangan. Tapi, semuanya termaafkan begitu Maradona meliuk-liuk lalu melewati satu, dua, dan tiga pemain.
Sebagian boleh menganggap Maradona setengah dewa. Namun, dengan segala tabiatnya, sebagian boleh juga menilai Maradona sebagai anti-hero paling terkenal dalam jagat lapangan hijau, seorang "penjahat" yang begitu mengundang simpati. Dia dicaci dan dielu-elukan pada saat bersamaan. Di balik segala keagungannya, Maradona justru sangat humanis; punya cela, punya salah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada film dokumenter 'Class of 92' Beckham memang mengaku sudah bertindak bodoh. Dia terjatuh ketika Simeone menerjangnya dari belakang, lalu dalam keadaan telungkup di atas lapangan mengangkat kakinya untuk menyandung Simeone. Kejadian selanjutnya bisa ditebak, Simeone memegangi kakinya seolah-olah kesakitan lalu meminta wasit Kim Milton Nielsen untuk mengeluarkan kartu.
Insiden ketika itu membuat pers Inggris mengeluarkan headline '10 Heroic Lions, 1 Stupid Boy' untuk menggambarkan betapa nistanya Beckham akibat perbuatan bodohnya itu. Padahal, kalau mau jujur, Inggris juga bisa menyalahkan Paul Ince dan David Batty yang gagal mengeksekusi penalti dengan baik atau mengutuki keberuntungan mereka kalau sudah berurusan dengan babak tos-tosan.
Suporter Manchester United sendiri lebih suka menyoroti Simeone. Pada film yang dikeluarkan untuk membahas perjalanan United di musim 1998/1999, ada sebuah adegan di mana Beckham dan Simeone bersalaman jelang laga perempatfinal Liga Champions antara United dan Inter --klub Simeone ketika itu. Beckham tersenyum kecil menerima jabat tangan Simeone dan narator mengatakan, "Itu adalah awal dari malam di mana dendam dibalas dengan manis."
====
Simeone mungkin tidak terlalu ambil pusing dengan segala tetek-bengek yang timbul akibat insiden di Piala Dunia itu. Yang dia tahu, tugasnya ketika itu adalah memimpin timnya melewati sebuah pertandingan dan menang.
El Cholo, kabarnya Simeone dijuluki demikian karena gaya mainnya yang trengginas --mirip dengan gaya main Carmelo Simeone yang juga punya julukan sama--, disebut Manajer Real Madrid Carlo Ancelotti punya gaya main tangguh, fokus, dan sempurna secara taktik, sesuatu yang terefleksi pada gaya main Atletico Madrid kini. Jauh sebelum menjadi menukangi Atletico, Simeone sudah menunjukkan tanda-tanda bakal jadi manajer bagus.
Mantan striker Atletico yang juga mantan rekan setim Simeone dulu, Kiko Narvaez, menyebut bahwa Simeone adalah pemain yang begitu vokal dan tidak ragu melakukan protes. Ketika para pemain Atletico diminta untuk tidur siang sebelum sebuah pertandingan penting, Simeone angkat bicara. Bagaimana mungkin seorang pemain kepikiran untuk tidur sebelum berlaga di sebuah laga penting.
Simeone disebut tidak hanya mampu membawa tim, tetapi juga menyatukan pemain-pemain yang punya sifat berbeda-beda. Oleh karenanya tidak heran ketika dia ditunjuk menjadi kapten dari tim nasionalnya. "Ketika masih jadi pemain, dia sudah seperti seorang pelatih," ucap mantan asisten pelatih Atletico, Oscar Ortega, kepada Guardian.

Di luar itu, sebagai seorang gelandang bertahan, Simeone juga mampu membaca pertandingan dengan baik. Dia mampu mengimbangi permainan gelandang kreatif sekaligus memiliki kemampuan untuk membuat keputusan dengan cepat. Kemampuan yang terakhir disebut itu memang dibutuhkan oleh seorang gelandang bertahan.
Bukan kebetulan pula, menurut Jordi Cruyff, putra dari maestro Johan Cruyff, jika pelatih-pelatih bagus masa kini seperti Simeone, Paulo Sousa, Pep Guardiola, Rudi Garcia, dan Roberto Martinez sebelumnya adalah gelandang bertahan. Antonio Conte yang juga sukses di Juventus pun dulunya adalah seorang gelandang tengah.
Yang membedakan Simeone dari pelatih-pelatih lainnya di atas, mungkin hanya filosofi. Sousa, Guardiola, Garcia, hingga Martinez semuanya menyukai sepakbola indah. "Saya menyukai sebuah operan yang wanginya seperti parfum," ucap Sousa ketika masih bermain dulu. Hanya Simeone yang tidak ragu untuk menepikan sepakbola indah dan menampilkan sepakbola agresif --seperti ketika dia masih bermain dulu.
Lewat agresivitas itu pula Atletico bisa menaklukkan La Liga dan Liga Champions 2013/2014. Mereka melangkah di atas tim-tim yang notabene lebih mengagungkan sepakbola menyerang seperti Barcelona.
Simeone dengan bebas dan tidak terkungkung membiarkan Atletico menerabas dan melakukan tekel terhadap lawan. Tidak ada yang protes ketika mereka hanya menang tipis 1-0 atau 2-1 secara berurutan. Bayangkan jika hal-hal seperti ini dilakukan Barcelona ataupun Guardiola di Bayern Munich. Orang akan terheran-heran dan mengira ada yang salah.
Di sisi lain, tidak ada yang salah dengan Simeone dan Atletico. Simeone hanya menjadi Simeone, Atletico hanya menjadi Atletico.
====
Ada kutipan menarik yang diutarakan salah satu pahlawan rock n' roll, Johnny Cash, mengenai warna hitam. Dalam pandangan Cash, warna hitam adalah lambang dari pemberontakan, perlawanan akan stagnansi, dan penentangan terhadap status quo. "Warna hitam adalah perlawanan terhadap orang-orang yang benaknya tertutup untuk ide-ide lain," katanya.
Dan di sanalah Simeone berdiri, dengan rambut licinnya, dengan setelan serba-hitamnya, berdiri meneriaki pemainnya dari pinggir lapangan.

Tampilan Simeone tidak ubahnya simbol dari apa yang dia ejawantahkan terhadap pemainan Atletico. Licin, agresif, dan tanpa basa-basi. Di tengah banyaknya klub menerapkan taktik modern dengan melakukan penjagaan zonal untuk menutup gerak lawan, Simeone memilih cara lama: tekel.
Tekel yang mulai dianggap sudah ketinggalan zaman itu dibuktikan sebaliknya oleh Simeone. Anggap saja ini adalah "ide-ide lain" dalam kutipan Cash tadi. "Possession bukanlah segalanya," ucap Simeone dan dia menunjukkannya. Atletico dibuatnya jadi segala sesuatu yang tidak bisa Anda asosiasikan dengan sepakbola Spanyol yang penuh penguasaan bola itu.
Dalam catatan yang dilansir oleh Zonal Marking, Atletico rata-rata membuat lebih dari 25 tekel per pertandingan. Jumlah ini jauh mengungguli tim-tim lainnya di La Liga.
Simeone juga membuat timnya bermain begitu rapat dengan dua pemain depannya, Diego Costa dan David Villa, mundur agak ke dalam untuk menjaga supaya bola tidak dialirkan terlalu jauh dari tengah. Kedua sayap mereka, Arda Turan dan Koke, juga diplot untuk tidak terlalu melebar. Gaya main Atletico ini juga terlihat ketika mereka bertahan dengan amat rapat.
"Kami adalah tim yang kolektif. Kami bertarung untuk memperebutkan bola pada setiap menit di dalam pertandingan," ucap Arda Turan dalam wawancara dengan FourFourTwo.
Agresivitas Atletico ini membuat mereka disebut seperti palu yang siap untuk menghantam siapa pun oleh manajer Levante, Joaquin Caparros. Dan inti dari Atletico ini berdiri di pinggir lapangan, berteriak dan bergemuruh seperti badai. Simeone rela menghitam, menerjang pandangan-pandangan yang dianggap ideal, hanya untuk Atletico.
Hanya untuk sesaat saja dia tenang. Diceritakan oleh jurnalis yang berbasis di Spanyol, Sid Lowe, Simeone biasa menyendiri di dalam ruang ganti ketika para pemainnya melakukan pemanasan di lapangan. Saat-saat tenang itu digunakannya untuk membuat tiga panggilan telepon, di mana setiap panggilan ditujukannya untuk anak-anaknya yang berada di Argentina.
Ah, begitulah.. Akan selalu ada putih untuk setiap hitam.
====
*penulis adalah wartawan detikSport. Beredar di dunia maya dengan akun Twitter @Rossifinza
*Foto-foto: Getty Images
(roz/a2s)











































