Momen dan Refleksi La Decima

Momen dan Refleksi La Decima

- Sepakbola
Senin, 02 Jun 2014 10:15 WIB
Getty Images
Jakarta -

Sudah seminggu sejak semuanya terjadi. Hanya dalam lima menit semuanya bisa terjadi. Pada sebuah lakon bernama final Liga Champions, didengungkanlah sebuah ode: Dari raja kembali ke raja.

Untuk setiap taburan konfeti di Estadio Da Luz akhir pekan kemarin, terbersit kegembiraan, baik itu untuk para penggawa Real Madrid, presiden mereka, hingga ratusan ribu fans yang sudah menunggu di Madrid sana.

Marca, pada sebuah artikelnya menulis, Atletico Madrid hanya berjarak 140 detik dari keabadian. Keabadian itu memang kemudian hadir, tapi bukan buat Atletico, melainkan buat tetangga sekota mereka.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keabadian yang dimaksud tidak berarti trofi Liga Champions tersebut selamanya jadi milik Madrid. Tidak pula berarti bahwa itu jadi trofi terakhir Madrid di Eropa. Keabadian yang dimaksud adalah momen di mana atau ketika lakon itu terjadi.

Bayangkan jika yang terjadi adalah sebaliknya; Atletico yang jadi juara. Plaza de Cibeles tidak akan penuh dengan aroma warna putih, melainkan merah dan putih. Buat fans Atletico yang minoritas dan kerap jadi bahan ejekan, itu akan jadi momen yang tidak terlupakan. Momen yang abadi.

Sial buat Atletico, mereka justru kebagian momen yang menyakitkan; unggul 1-0 sepanjang lebih dari 90 menit, mereka akhirnya kebobolan di injury time dan yang terjadi selanjutnya adalah kebobolan, kebobolan, dan kebobolan lagi.

Seringkali momen yang menyakitkan seperti itu justru jadi sesuatu yang lebih diingat ketimbang momen yang menyenangkan.

Pada buku otobiografinya, Sir Alex Ferguson memaparkan dengan amat detil pertandingan terakhirnya bersama Manchester United. Hari itu, Minggu 19 Mei 2013, seluruh keluarganya berkumpul di The Hawthorne untuk menyaksikan laga melawan West Bromwich Albion. Seluruh pemainnya sudah menyiapkan hadiah perpisahan: sebuah arloji.

"Rio Ferdinand yang pecinta arloji yang mengusulkannya," ucap Ferguson. Arloji itu juga disetel dengan jam lahirnya ke dunia ini 72 tahun silam.

Pertandingan itu pun jadi sesuatu yang akan selamanya dikenang pria asal Skotlandia tersebut. Sempat unggul 5-2, United akhirnya harus menerima hasil imbang 5-5. "Ketika kami unggul 5-2, rasanya seperti unggul 20-5. Tapi, bermain imbang 5-5 rasanya seperti kalah 5-20," kata Ferguson.

Dan begitulah, Ferguson yang lebih dari dua dekade menangani United itu tidak hanya mengingat kejayaan-kejayaan yang pernah diraihnya, tetapi juga kekalahan-kekalahan dan hasil yang mengecewakan. Ada alasan kuat mengapa hasil-hasil buruk itu begitu membekas. Hasil-hasil buruk itu akan membantunya buat bangkit di pertandingan berikutnya.

Untuk Atletico, mungkin pengalaman tersebut bisa diambil. Sementara untuk Madrid, La Decima adalah sebuah keabadian lainnya; sebuah pembebesan.

La Decima yang sudah lama mereka incar itu bak sudah jadi obsesi sehingga begitu musim 2013/2014 dimulai yang ada di mulut mereka hanyalah perbincangan soal itu.

Tapi, Madrid sering kali begitu: Buruk di liga, tapi oke di Liga Champions. Sampai-sampai sang presiden, Florentino Perez, menyebut-nyebut kata "DNA" ketika mereka akhirnya sukses mengangkat trofi Si Kuping Besar.

Pada 1997/1998, Madrid juga terseok-seok di liga, tapi mereka bisa memukul Juventus yang pada pertengahan 90-an begitu perkasa di final. Pada 1999/2000, mereka memukul United --yang kala itu statusnya juara bertahan-- dalam perjalanan menuju final.

Waktu itu, setelah bermain imbang 0-0 di Santiago Bernabeu, Madrid menang 3-2 di Old Trafford. Kekalahan tersebut, uniknya, juga jadi alat untuk membuat mata Ferguson melek.

Seperti yang dia katakan, bahwa kekalahan hanya akan membantunya berbuat lebih baik, sejak ditundukkan Madrid itu Ferguson tahu bahwa untuk menaklukkan Eropa timnya tidak bisa bermain dengan gaya yang ortodoks. Dia harus memodernkan permainan skuatnya. Ini kemudian tercapai delapan tahun kemudian ketika sekali lagi dia membawa United menjuarai Liga Champions di Moskow.

Yang tidak kalah menarik adalah bagaimana komentator televisi memperkenalkan kedua tim ketika memasuki lapangan Old Trafford. Dia menyebut United sebagai The Holder (Si Juara Bertahan) dan Madrid sebagai The Keeper (Si Pemilik). Ya, dengan tujuh gelar juara Liga Champions saat itu, Madrid adalah seorang raja.

Tidak salah jika ketika akhirnya mereka menjadi juara tahun ini analogi raja yang merindukan takhtanya layak untuk dikedepankan. Raja yang merindukan keabadiannya.



Kalau mau, bisa juga menyamakan Madrid dengan Jaromir Hladik. Hladik adalah seorang penggubah sandiwara yang hadir dalam fiksi "The Secret Miracle" karangan Jorge Luis Borges. Hladik, yang dituding sebagai seorang Yahudi dan akhirnya ditangkap oleh tentara Gestapo Nazi, punya sebuah utang; Sandiwara karangannya belum selesai.

Maka, jadilah Hladik berdoa kepada Tuhan untuk diberikan waktu satu tahun lagi demi menyelesaikan sandiwaranya. Doa itu kemudian dikabulkan tepat ketika regu tembak hendak mengeksekusinya. Seketika senapan diletuskan, waktu pun berhenti. Waktu "satu tahun" yang dimintanya itu terentang di antara peluru yang baru meletus sampai ke tubuhnya yang terikat.

Dalam keajaiban kecil itu, benak Hladik bekerja. Dia menyelesaikan sandiwaranya babak per babak sampai tuntas di dalam benaknya. Begitu selesai, waktu berjalan lagi... dan abadilah Hladik.

====

*penulis adalah wartawan detikSport. Beredar di dunia maya dengan akun Twitter @Rossifinza

(roz/a2s)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads