Lebih Memalukan dari 'Maracanazo'

Lebih Memalukan dari 'Maracanazo'

- Sepakbola
Rabu, 09 Jul 2014 11:07 WIB
Lebih Memalukan dari Maracanazo
Getty Images/Jean Catuffe
Jakarta -

Daripada menggambarkan kekalahan Brasil dari Jerman dengan kata 'kejam', rasa-rasanya memilih kata 'memalukan' lebih tepat. Sebab 'memalukan' identik dengan aib, aib yang akan selalu dikandung dan dikenang-kenang secara tidak enak sepanjang masa.

Sebagai seseorang yang bukan berkebangsaan Brasil, saya tentu mudah saja melabeli kegagalan tim nasional Brasil dengan berbagai kata, termasuk kata 'memalukan' tadi. Tapi, jika memandangnya dari perspektif berbeda tentu akan lain. Anggap saja Brasil adalah Indonesia dan Piala Dunia diselenggarakan di tengah kondisi negara yang tengah berantakan. Jangan heran ketika tim nasional gagal total, kritik-kritik akan berdatangan.

Brasil demikian. Sudah banyak demonstran mengatakan bahwa mereka lebih membutuhkan jaminan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik ketimbang Piala Dunia. Toh, tetap saja Piala Dunia berlangsung. Mungkin saja, Brasil berpikir bahwa jika tim nasional mereka menjadi juara, protes-protes itu bisa sedikit reda.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sialnya, hal itu tidak terjadi. Selasa, 8 Juli 2014 waktu setempat, Estadio Mineirao di kota Belo Horizonte menjadi saksi bagaimana sekelompok pria dewasa yang sehari-harinya berprofesi sebagai pemain bola seperti dikembalikan ke bangku sekolahan. Tim nasional Brasil --pria-pria dewasa tadi itu-- dipermak 1-7 oleh tamu dari seberang lautan, Jerman.

Banyak yang lantas menyama-nyamakan kekalahan tersebut dengan tragedi paling besar dalam sejarah sepakbola Brasil, yakni 'Maracanazo'. 'Maracanazo' merujuk pada kekalahan Brasil dari Uruguay pada final Piala Dunia 1950 di Stadion Maracana, Rio de Janeiro. Bahkan ada juga yang menyebut tragedi di Estadio Mineirao lebih menyakitkan daripada 'Maracanazo'.

"Ini lebih buruk dari tahun 1950. Kalah ketika bertarung mati-matian satu hal, dan dipermalukan habis-habisan itu hal lainnya," ujar Fernando Hazzan, seorang suporter Brasil yang menyaksikan laga tersebut dari kota tempat tinggalnya di Sao Paulo, kepada Reuters.

"Pertandingan ini juga akan dikenang sebagai sebuah sejarah," lanjut Hazzan.

Hazzan bisa jadi benar. Tragedi Mineirao lebih parah atau lebih memalukan dari 'Maracanazo'. Ada beberapa hal yang bisa menjadi alasannya, selain skor kekalahan Brasil di kedua pertandingan tersebut. Jika di Mineirao Brasil sampai kalah begitu telak, pada tragedi 'Maracanazo' Brasil "hanya" kalah 1-2.

Tapi, alasan paling kuat bukanlah itu. 'Maracanazo' terasa menyakitkan lantaran seluruh penduduk Brasil ketika itu betul-betul menyambut perhelatan Piala Dunia 1950. Ketika akhirnya tim nasional mereka berhasil melaju ke final, pesta kemenangan sudah disiapkan, seolah-olah Selecao pasti keluar sebagai pemenang.

Stadion Maracana sudah penuh sesak dua jam sebelum pertandingan berlangsung. Sebanyak 200.000 orang tercatat datang ke pertandingan itu, tapi hanya 173.830 di antaranya yang membeli tiket. Sisanya, hanya mereka yang untung-untungan bisa masuk ke dalam stadion.

Dengan antusiasme sebesar itu, wajar jika kemudian Brasil berduka melihat timnya dibekuk Uruguay. Begitu peluit panjang dibunyikan, kesunyian yang mematikan menghantui seluruh penjuru Maracana. Satu per satu isak tangis mulai terdengar. Bahkan, dua orang dikabarkan meloncat dari tribun yang penuh sesak untuk bunuh diri.

FIFA pun sampai tidak enak hati ketika harus memberikan trofi juara kepada Uruguay. Tidak ada prosesi atau seremoni ketika FIFA memberikan trofi kepada Uruguay waktu itu. Mereka sudah tertelan oleh atmosfer pilu Maracana.

Melihat antusiasme penduduk Brasil ketika itu, Piala Dunia 2014 dengan segala protes dan demonstrasinya jadi jomplang. Dua-duanya memang berujung pada kekecewaan, tapi Piala Dunia 2014 adalah Piala Dunia yang awalnya tidak diinginkan oleh para penduduk tuan rumahnya.

Tragedi Mineirao jadi lebih menyakitkan karena sudah tidak disambut dengan hangat, dihelat dengan egoisme para petinggi negaranya tanpa mau mendengarkan protes, pada akhirnya berujung dengan hasil yang tidak karuan pula. Tragedi Mineirao akan menjadi aib --belum pernah Brasil kalah sebesar itu di Piala Dunia.

Meski banyak pendukung tetap menonton Brasil berlaga di dalam stadion, antusiasme mereka pada akhirnya tetap berubah menjadi isak tangis. Reuters menyebut, mereka yang tidak menyaksikan langsung di Mineirao juga merasakan pahit yang sama. Mereka menangis, mereka tampak kecewa.

Sebagian suporter terlihat sudah meninggalkan arena di akhir babak pertama. Ketika itu Brasil sudah tertinggal 0-5, mereka sudah merasa bahwa timnya tidak punya harapan lagi untuk membalikkan keadaan. Beberapa orang yang masih bertahan di dalam stadion tidak bisa menyembunyikan raut getir dan bahkan menangis melihat gawang Julio Cesar dibobol bergantian oleh pemain-pemain Jerman. Sementara, di beberapa titik, suporter melakukan protes (lagi) dengan membakar bendera Brasil.

Kekecewaan tak terperi kemudian mewujud pada siulan-siulan dan suara-suara mencemooh yang ditujukan fans Brasil kepada beberapa pemain mereka.

Sungguh ironis, mengingat jauh sebelum Piala Dunia dimulai, pelatih Luiz Felipe Scolari amat optimistis timnya bakal melangkah ke final dan jadi juara. Dia kemudian kembali mengulangi pernyataan penuh keyakinannya itu sebelum laga perempatfinal kontra Kolombia. Scolari berkata demikian:

"Apakah kami sudah menaruh satu tangan di trofi? Ya. Jangan lupakan statemen saya itu. Semua pemain fantastis dan statemen saya tidak berubah sampai saat ini."

Ah, andai memasukkan bola ke dalam gawang semudah mulut berucap...

====

*penulis adalah wartawan @detikSport. Beredar di dunia maya dengan akun @Rossifinza



(roz/cas)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads