Tak Ada Magis Messi di Maracana

Tak Ada Magis Messi di Maracana

- Sepakbola
Senin, 14 Jul 2014 13:49 WIB
Getty Images/Chris Brunskill
Jakarta -

Lionel Messi berdiri menghadapi bola dengan barisan pagar pemain lawan membentang di depannya. Dia mengambil satu langkah, lalu kemudian melepaskan tendangan. Namun, tendangan bebasnya melambung.

Andaikan itu adalah tendangan bebas biasa yang ada di tengah-tengah pertandingan, mungkin efeknya tidak akan terlalu berbekas. Namun, itu adalah tendangan bebas menjelang babak kedua extra time berakhir dan Argentina tengah tertinggal 0-1 dari Jerman. Harapan sudah hampir menguap.

Dengan statusnya sebagai pemain yang diagung-agungkan, wajar jika para pendukung Argentina berharap keajaiban dari tendangan bebas itu. Sudah jadi kodratnya para pendukung atau penonton berdebar-debar tiap kali bola diberikan kepada Messi. Siapa tahu dia bisa menyulap sesuatu dari ketiadaan menjadi sebuah hal yang magis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tapi, tidak ada hal magis dari Messi di Maracana malam itu. Ketika tendangan bebasnya melewati pagar pemain Jerman dan melambung tinggi, Messi hanya tersenyum kecil --mungkin getir-- dan menatap ke atas, seolah-olah pasrah menerima nasib yang akan segera diterimanya: Hanya jadi pemain yang dikalungi medali perak.

Ini adalah pemandangan yang ironis sekaligus memilukan. Seorang pemain yang dipasrahi harapan oleh seluruh pendukungnya pada akhirnya hanya bisa berpasrah kepada nasib. Di hadapan nasib, dia tidak ada agung-agungnya. Messi dibuat jadi manusia biasa.

Padahal, untuk semua hal yang sudah pernah diraihnya di atas lapangan, Messi layak disandingkan dengan dewa. Tapi, hanya ada satu dewa dalam folklore sepakbola Argentina: Diego Maradona.

Sehebat apa pun Messi, sebanyak apa pun pemain yang dia lewati dengan gocekannya, orang-orang masih akan mengingat adegan di mana Maradona mengangkat trofi Piala Dunia dan berlari melewati sederetan pemain Inggris pada Piala Dunia 1986.

Andaikan malam itu Messi berhasil mengangkat trofi Piala Dunia di Maracana, maka abadilah dia. Lemari trofinya menggembung. Tapi, status Messi pada akhirnya hanya seperti ketika pertandingan final belum berlangsung; hanya sebatas nyaris, nyaris jadi abadi.

Tidak ada liukan atau gocekan-gocekan dari Messi pada laga melawan Jerman itu. Dia memang masih sempat melepaskan empat tembakan dan satu atau dua kali mendapatkan peluang. Namun, semuanya berujung nihil. Satu tendangannya bahkan melenceng tipis, setipis jaraknya dengan keabadian tadi itu.



Di hadapan Jerman, Messi akhirnya tidak berkutik. Argentina boleh memasrahkan harapan mereka di pundak Messi seorang. Tapi, Jerman memasrahkan harapan mereka ke banyak pundak; ke Thomas Mueller, ke Philipp Lahm, ke Bastian Schweinsteiger, ke Toni Kroos, ke Mesut Oezil, ke Andre Schuerrle, ke Mats Hummels, ke Mario Goetze, ataupun ke Manuel Neuer.

Mueller adalah pencari ruang, Lahm adalah pemimpin sekaligus pemberi umpan, Schweinsteiger adalah dinamo, Kroos adalah pengatur irama serangan bersama Oezil, Schuerrle dan Goetze adalah senjata rahasia yang siap memberi dampak, Hummels adalah colossus di lini belakang, sementara Neuer adalah tembok kokoh paling akhir yang harus ditaklukkan Argentina. Jerman membagi tugas-tugas penting itu ke banyak pemain.

Tengok bagaimana Messi untuk Argentina: Dia adalah pencetak gol, pemberi assist, penyambung dan pengisi jarak di antara lini tengah dan depan tim. Magisnya masih terlihat ketika dia memberi assist untuk Angel Di Maria di babak perdelapanfinal. Namun, setelahnya Messi mulai meredup dan tidak ada pemain Argentina lainnya yang bisa menggantikannya.

Argentina boleh tampil trengginas di lini belakang. Tidak satu pun pemain Jerman mereka biarkan lewat begitu saja. Tetapi, Jerman seakan-akan lebih paham dan lebih bisa membaca narasi pertandingan. Satu celah saja terbuka sudah cukup untuk mereka.

Jerman menyusun kejayaan mereka semalam dari jauh-jauh hari. Jadi semifinalis sejak Piala Dunia 2006 adalah tanda-tandanya. Kata Joachim Loew, pelatih mereka, sejak saat itulah revolusi mereka dijalankan. Bibit-bibit mulai disebar dan kini mereka sudah bisa memetik hasilnya dengan senyum puas.

Banyak pemain ketika Jerman menjuarai Piala Eropa U-21 pada 2009 jadi tulang punggung tim kini; Sami Khedira, Hummels, Neuer, Jerome Boateng, Oezil, hingga Benedikt Howedes.

Argentina memang tidak jelek. Tengoklah bagaimana Lucas Biglia dan Javier Mascherano bahu-membahu sampai mempertaruhkan badan untuk melakukan blokade terhadap serangan Jerman. Namun, sepakbola adalah permainan tim. Satu atau dua pemain bagus saja tidak akan cukup untuk menundukkan lawan yang punya kualitas tim secara menyeluruh.

Dan begitulah, Messi bisa dibilang tidak hanya kalah oleh nasib, tetapi juga seluruh skuat Jerman yang dibangun perlahan-lahan.

Tidak ada senyum bisa dikembangkan Messi selain senyum kecut setelah tendangan bebas itu. Wajahnya datar bahkan ketika mengangkat trofi Pemain Terbaik Turnamen. Trofi tersebut tidak sama artinya dengan Piala Dunia.

Messi kemudian turun dari podium untuk menghampiri rekan-rekannya, lalu memimpin mereka untuk menaiki anak-anak tangga lagi untuk dikalungi medali perak sebagai pihak yang kalah. Ini bukan seperti apa yang dia inginkan, tentunya. Maka, ketika dia menuruni anak-anak tangga itu lagi, Messi memilih untuk tidak memedulikan tangan-tangan yang meminta untuk dijabat.

Satu-satunya yang ingin dia jabat dan dia genggam malam itu adalah trofi Piala Dunia. Tapi, trofi itu sudah dijamah oleh tangan-tangan lain.



====

*penulis adalah wartawan @detikSport. Beredar di dunia maya dengan akun @Rossifinza



(roz/a2s)

Hide Ads