Oranje yang Sedang Biru

Oranje yang Sedang Biru

- Sepakbola
Selasa, 14 Okt 2014 14:53 WIB
VI-Images via Getty Images
Jakarta -

Ketika Jerman gagal jadi juara di hadapan publik sendiri pada Piala Dunia 2006, solusi pun langsung dicari. Konon, DFB (Federasi Sepakbola Jerman) langsung mendorong klub-klub lokal untuk memberi kesempatan lebih banyak kepada pemain-pemain muda.

Sikap yang dilakukan DFB tersebut bukan tanpa alasan. Simak saja skuat Jerman di Piala Dunia 2006 tersebut, tujuh orang di antara 23 nama yang ada sudah berusia 28 tahun ke atas. Malah, Jens Lehmann, sang penjaga gawang, sudah berusia 36 tahun ketika itu.

Untuk proyeksi jangka panjang, hal tersebut jelas bukan sesuatu yang elok untuk dipandang. Maka, bergeraklah DFB melakukan kebijakan yang sudah disebut di atas tadi. Mereka tidak mau regenerasi terhambat yang kemudian bisa berujung pada stagnannya prestasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kegagalan di Piala Dunia 2006 memang jadi pukulan telak buat Jerman. Bukan apa-apa, euforia Piala Dunia yang digelar di negeri mereka sendiri itu terlalu besar. Awalnya, publik tidak terlalu banyak berharap pada tim nasional mereka sendiri. Namun, begitu melihat permainan atraktif yang diperagarakan anak-anak asuh Juergen Klinsmann tersebut, publik pelahan-lahan mulai percaya bahwa mereka bisa menjadi juara.

Sial, cerita tidak berjalan semulus yang diinginkan. Namun, lantaran cerita tidak berjalan mulus itulah solusi mulai dicari.

Tiga tahun setelah Piala Dunia 2006, sekelompok anak muda tampil mewakili Jerman dalam perhelatan Piala Eropa U-21. Di antara 23 nama yang mewakili Jerman pada laga tersebut, ada nama-nama seperti Manuel Neuer, Benedikt Howedes, Jerome Boateng, Sami Khedira, Mats Hummels, Marcel Schmelzer, hingga Mesut Oezil.

Kita kemudian tahu seperti apa masa depan ketujuh anak muda tersebut. Mendapatkan kesempatan berkembang di kompetisi domestik sendiri, para pemuda itu bisa mengembangkan karakter masing-masing dan ujung-ujungnya mencuat jadi tulang punggung klub yang mereka bela.

Tim nasional Jerman jelas mendapatkan untung dari pembibitan ini. Setelah gagal di Piala Dunia 2010 dan Piala Eropa 2012, Die Mannschaft tampil sebagai juara di Piala Dunia 2014. Melihat hal ini, bisalah dikatakan bahwa proses memang butuh waktu dan juga butuh dikelola dengan baik dan memadai.

Di balik perbatasan Jerman, berdirilah sebuah negara bernama Belanda. Rivalitas kedua negara ini, terutama di atas lapangan hijau, merupakan cerita yang terus berdengung menembus zaman.

Ironisnya buat Belanda, ketika Jerman mulai memetik hasil dari apa yang pernah mereka tanam, Belanda justru sedang kesusahan. Sederet pemain yang jadi penggawa dan tulang punggung mereka saat ini rata-rata sudah memasuki usia kepala tiga.

Robin van Persie, sang kapten, saat ini sudah berusia 31 tahun, Arjen Robben yang terus diperas kecepatannya saat ini sudah berumur 30 tahun, Nigel De Jong sudah 29 tahun, dan terakhir Wesley Sneijder yang selalu diplot sebagai pengatur di belakang para penyerang kini sudah berusia 30 tahun.

Ketika Belanda mengalami kesulitan pada laga melawan Kazakhstan di Kualifikasi Piala Eropa 2016 beberapa hari lalu, Guus Hiddink memasukkan Klaas-Jan Huntelaar sebagai pemain pengganti dan harapan untuk memecah kebuntuan. Berapa usia Huntelaar? 31 tahun.

Keputusan memasukkan Huntelaar memang terbukti berhasil. Penyerang milik Schalke 04 tersebut mencetak gol penyama kedudukan yang membuat skor berubah menjadi 1-1. Dirinya terlihat lebih berbahaya ketimbang Van Persie yang sepanjang pertandingan tampak memiliki masalah dengan finishing-nya. Huntelaar pun beberapa kali membahayakan gawang Kazakhstan, meski akhirnya tidak menambah gol lagi. Belanda akhirnya menang 3-1 pada laga tersebut.

Untuk sesaat, Belanda seperti telah melewati masa sulit. Kekalahan 1-2 dari Republik Ceko --juga di laga Kualifikasi Piala Eropa 2016-- telah cukup membuat tim yang menempati posisi ketiga di Piala Dunia 2014 ini dikritik. Namun, kekalahan 0-2 dari Islandia pada Selasa (14/10/2014) dinihari WIB, membuat pertanyaan dan kritik muncul lagi.

Bukankah sebuah alarm ketika seorang pelatih membutuhkan sebuah solusi dan solusi itu ada pada penyerang yang mulai memasuki senja kariernya?

Tentu, ini bukan masalah sepele. Ketika nanti Piala Eropa 2016 dimulai --itu pun kalau Belanda akhirnya lolos--, Van Persie, Robben, De Jong, Sneijder, dan Huntelaar akan lebih tua dari sekarang. Entah apakah Robben masih bisa berlari kencang untuk menyelamatkan Belanda jatuh dari jurang atau tidak.

Sneijder? Kolomnis sepakbola, Michael Cox, pernah menyebut bahwa musim terbaik gelandang bertato itu adalah pada 2009/2010, ketika dia memperkuat Inter Milan dan tim yang dibelanya itu tampil sebagai juara Liga Champions. Setelahnya, Sneijder tampil apik di Piala Dunia 2010. Namun, setelahnya, performa Sneijder menurun.

Sulit mengharapkan Sneijder tampil seperti pada 2010 pada Piala Eropa 2016. Di Piala Dunia 2014 saja dia sudah tampak kepayahan. Andai di Brasil Sneijder tampil semengilap 2010, Louis van Gaal mungkin tidak perlu susah membangun skema yang mengandalkan Robben untuk menyerang lewat sayap. Belanda pun punya opsi lebih untuk menyerang lewat tengah, tidak melulu lewat pinggir.

Lalu, bagaimana? Menariknya, Belanda bukanlah negara yang kesulitan untuk mencari bibit bagus. Setiap musimnya, selalu ada pemain muda bagus bermunculan di Eredivisie. Sebagai gambaran, tidak mengherankan jika klub seperti Ajax Amsterdam rela melepas pemain bintang seperti Luis Suarez, Christian Eriksen, Jan Vertonghen, hingga Siem De Jong dan Daley Blind musim ini. Toh, mereka masih bisa membuat bintang lainnya.

Ajax tidak sendiri. Patut dicermati bahwa mayoritas skuat Belanda pada Piala Dunia 2014 punya akar Feyenoord yang kental. Stefan de Vrij, Bruno Martins Indi, Jordy Clasie, Terence Kongolo dan Daryl Janmaat adalah penggawa Feyenoord ketika itu. Ron Vlaar, Dirk Kuyt, dan Robin van Persie juga pernah merasakan jadi bagian dari Feyenoord.

Eredivisie, sesungguhnya, adalah liga yang bagus bagi seorang pemain muda untuk mengambil langkah awal. Ambil contoh Eriksen. Sebelum memilih untuk bergabung dengan Ajax, dia juga sempat mendapatkan tawaran dari Barcelona. Namun, Eriksen sadar bahwa jika memilih Ajax, kans-nya untuk bermain di tim utama lebih besar dan oleh karenanya tempaan akan dirasakannya lebih awal.

Ini mirip, meski tidak sama, dengan Bundesliga yang juga memberikan banyak kesempatan pada pemain muda. Masalahnya, Eredivisie tidaklah sekompetitif Bundesliga.

Argumen tersebut bisa dilihat dari perjalanan tim-tim Belanda ketika bermain di Eropa. Mereka biasanya gagal berbicara banyak, entah itu di Liga Champions ataupun Liga Europa. Imbasnya, Belanda kini berada di posisi kesembilan dalam daftar koefisien klub UEFA. Mereka bahkan berada di bawah negara-negara seperti Portugal, Prancis, Rusia, dan Ukraina yang wakil-wakilnya biasanya lebih sukses.

Belanda memang belum habis, karena faktanya mereka masih memiliki pemain-pemain muda semodel De Vrij, Martins Indi, Clasie, hingga Memphis Depay, hingga Davy Klasseen dan Daley Blind. Yang dibutuhkan hanyalah memoles mereka untuk menjadi tulang punggung-tulang punggung baru. Kebetulan, dari keenam nama yang disebut itu, hanya Clasie dan Klaassen yang masih bermain di Eredivisie. Sisanya, sudah hijrah ke liga lain. Kendatipun Eredivisie adalah liga yang bagus untuk pemain muda, level kompetitifnya baru sebatas memberikan mereka kesempatan awal. Untuk menempa, memang untuk saat ini ada baiknya menjajal liga lain.

"Eredivisie juga mungkin adalah liga yang bagus untuk memulai karier. Dengan bermain di sana, seorang pemain bisa mendapatkan pengalaman. Tapi, setelahnya mungkin Anda mengincar untuk pindah ke liga yang lebih besar."

"Mungkin orang-orang di Belanda sudah menyadarinya, Eredivisie bukan liga terbaik di dunia. Jadi, mungkin itu bukan masalah buat mereka. Ketika ada pemain muda yang bagus pergi, klub-klub akan langsung mencari pemain muda lainnya," ujar legenda hidup Ajax, Jari Litmanen, ketika bertemu dengan detikSport di Jakarta setahun silam.

Sebagai sebuah bangsa, Belanda digambarkan oleh David Winner dalam buku 'Brilliant Orange: The Neurotic Genius of Dutch Football' amat kreatif, imajinatif, dan punya daya khayal bagus. Ini membuat mereka kerap menghasilkan sesuatu sebagai solusi dari keterbatasan. Total Football dianggap lahir dari daya khayal dan jiwa seni bangsa Belanda. Sementara bendungan lahir dari kreativitas mereka dalam mengakali lahan yang kebanyakan berada di bawah garis laut.

Tentu, seharusnya, ada solusi pula untuk mandeknya permainan mereka di atas lapangan belakangan ini. Supaya Oranje tak kian membiru.

====

*penulis adalah wartawan @detikSport. Beredar di dunia maya dengan akun @Rossifinza

(roz/a2s)

Hide Ads