Bab-bab Menarik El Clasico dan Sejarah El Bano del Siglo

Bab-bab Menarik El Clasico dan Sejarah El Bano del Siglo

- Sepakbola
Kamis, 23 Okt 2014 14:16 WIB
Getty Images/Clive Mason
Jakarta -

Ada banyak bab menarik dalam sejarah El Clasico dan salah satu yang pernah dituliskan adalah 'El Baño del Siglo'. Namun, buat Barcelona, ini bukanlah bab yang menyenangkan untuk dibaca.

Bab-bab menarik dalam sejarah El Clasico juga melibatkan perpindahan pemain dari Real Madrid ke Barcelona atau sebaliknya. Mereka yang mengikuti perjalanan sejarah ini tentu tahu cerita mengenai Luis Figo yang pindah dari Barca ke Madrid pada tahun 2000. Ketika akhirnya Figo kembali Camp Nou setelah pindah ke Madrid, 23 Oktober 2000, atmosfer mengerikan diterimanya.

Untuk melihat seberapa mengerikan perlakuan yang diterima Figo, laporan pertandingan wasit bisa memberikan sedikit penggambaran. Selain menerima cercaan dan sebutan "Judas!", Figo juga dilempari berbagai macam benda tiap kali dia berada dekat dengan tribun suporter Barca. Setidaknya ada tiga telepon genggam, beberapa belah batu bata, rantai sepeda, hingga hujan koin diarahkan kepada Figo --demikianlah yang tertulis di laporan pertandingan wasit waktu itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lantaran banyak objek dilemparkan padanya, Figo yang selalu menjadi eksekutor sepak pojok akhirnya memilih untuk tidak mengambil sepak pojok ketika itu. Kebencian Barca beralasan. Figo ketika itu sedang berada dalam puncak permainannya. Dia konsisten secara permainan dan digadang-gadang sebagai salah satu legenda Barca di masa depan.

Namun, seperti dituliskan dalam laporan The Guardian, Figo yang terkenal konsisten itu mati kutu. Tidak ada tanda-tanda dia bermain sama sekali.

Pada kesempatan kedua bermain di Camp Nou dengan seragam Madrid, 23 November 2002, Figo akhirnya memberanikan diri untuk mengambil sepak pojok. Hasilnya? Seonggok kepala babi dilemparkan kepadanya.

"Saya khawatir ada orang gila yang bakal hilang kendali waktu itu," ujar Figo dalam buku yang ditulis oleh Sid Lowe, 'Fear and Loathing in La Liga: Barcelona vs Real Madrid'.



Figo memang bukan satu-satunya pemain yang menyeberang dari Barca ke Madrid atau sebaliknya. Michael Laudrup juga pernah menyeberang dari Barca ke Madrid pada 1994 ketika dia berseteru dengan Johan Cruyff. Bahkan, pelatih Barca saat ini, Luis Enrique, dulunya adalah pemain Madrid.

Tapi, Enrique tidak mengalami masalah yang sama seperti Figo. Dia tidak terganggu dengan status "pengkhianat". Enrique bahkan berhasil menciptakan gol ke gawang Madrid dan tiap kali mencetak gol dia tidak ragu-ragu mencium bendera Catalan di logo Barcelona --padahal dia bukan orang Catalan.

Enrique juga tidak ragu-ragu menyatakan bahwa dia menikmati hidup di kota Barcelona. Dia menggambarkan kota tersebut begitu "hidup" dan punya keterbukaan yang tidak bisa dia rasakan di Madrid. Sebagai ibukota, Madrid digambarkan Phil Ball dalam tulisannya di The Observer sebagai kota yang elite dan angkuh, di mana pelayan-pelayan restorannya begitu dingin.

Enrique memang akhirnya menemukan kehidupan yang dia cari-cari di Barcelona. Dia pensiun di klub itu, jadi pelatih untuk tim B di klub tersebut, dan akhirnya jadi pelatih kepala di klub itu.

Figo dan Enrique adalah setitik penggambaran dari rivalitas Madrid dan Barca yang begitu mendarah daging. Penggambaran lain yang paling terkenal, tentu saja, adalah soal keberpihakan rezim Jenderal Franco terhadap Madrid. Franco yang ultranasionalis kerap digambarkan bertentangan dengan semangat separatis Catalan.

Madrid adalah kawan dekat dari fasisme, sementara Barca adalah simbol dari kebebasan dan demokrasi. Kendati ini dibantah oleh Phil Ball dalam 'Morbo: The Story of Spanish Football'. Ball menyebut, rezim Franco memang kerap memberikan interfensi demi keuntungan Madrid, namun kesuksesan Madrid tidaklah semata-mata karena beking pemerintah. Franco disebut Ball juga kerap membiarkan Madrid dan Barca berkompetisi secara adil.

Sementara, dalam El Clasico: Football's Greatest Rivalry, Richard Fitzpatrick menyinggung-nyinggung soal El Baño del Siglo atau The Drowning of The Century. Bab yang satu ini mengisahkan pertemuan Madrid dengan Barcelona pada semifinal Copa del Rey 1943.

Ketika itu, Copa del Rey diberi nama baru, yakni Copa del Generalisimo untuk menghormati Franco. Barca menang 3-0 pada pertemuan pertama yang dihelat di kandang lama mereka, Les Corts, dan sebelum kick-off laga kedua di Madrid, para pemain Barca mendapatkan tamu tak diundang di ruang ganti mereka.

Tamu tak diundang itu adalah Jose Finat y Escriva de Romani yang memiliki gelar Count of Mayalde. Siapakah dia? Jose Finat tak lain dan tak bukan adalah kepala dari state of security dari pemerintahan Franco.

"Jangan lupa," Jose Finat memperingatkan, "bahwa beberapa dari kalian bisa bermain karena kemurahan hati rezim yang melupakan kurangnya patriotisme dalam diri kalian."

Fitzpatrick menulis, ucapan itu menyinggung tiga anggota tim Barca ketika itu, Josep Raich, Josep Escola, dan Domingo Balmanya. Ketiganya pergi meninggalkan Spanyol ketika Civil War terjadi untuk menghindari nasib naas seperti yang dialami oleh Josep Sunyol. Sunyol adalah mantan presiden Barca yang juga merupakan anggota dari Esquerra Republicana de Catalunya, partai nasionalis sayap kiri Catalan.

Pada Agustus 1936, Sunyol tengah berkendara di Guadarrama, kawasan pegunungan di luar Madrid. Dia kemudian diduga ditangkap oleh pasukan Franco dan ditembak mati. Tubuhnya tidak pernah ditemukan.

Ucapan Jose Finat di ruang ganti Barca itu menggema sampai lapangan. Dalam perayaan 100 tahun klub, Madrid menuliskan El Baño del Siglo sebagai salah satu cerita paling menarik dalam sejarah klub mereka. Namun, Fitzpatrick memberikan penggambaran lain.

Akibat ucapan Jose Finat itu, para pemain Barca tampil loyo dan tampak tidak ingin bermain sama sekali. Hasilnya, Barca kalah. Madrid menang dengan skor mencengangkan: 11-1 pada laga tersebut.

=====

*penulis adalah wartawan detikSport. Beredar di dunia maya dengan akun @Rossifinza.

(roz/din)

Hide Ads