Kegilaan Manchester

Kegilaan Manchester

- Sepakbola
Minggu, 02 Nov 2014 14:12 WIB
Kegilaan Manchester
Getty Images/Alex Livesey
Jakarta -

Sekitar awal Februari, matahari masih enggan untuk menunjukkan dirinya di atas kota Manchester. Cuaca dingin masih menyelimuti kota di barat laut Inggris itu, membuat siapa pun yang berlalu-lalang minimal mengenakan jaket untuk melindungi diri dari kebekuan.

Manchester bukanlah kota yang gemerlap layaknya London. Jika matahari sedang malas untuk bersolek dan menunjukkan dirinya, jadilah Manchester kota yang dihiasi langit abu-abu. Rasanya salut juga melihat Angel Di Maria meninggalkan Madrid yang diberkahi sinar matahari dan memilih untuk tinggal di kota yang seperti ini.

Salah seorang teman --atau tepatnya temannya teman saya-- pernah bilang begini: "Di sini, kalaupun musim panas, kayaknya orang-orang seperti kita akan tetap memakai jaket. Mereka (orang-orang Manchester) sih masih bisa pakai celana pendek. Tapi, kita nggak."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saya belum pernah mendatangi Manchester ketika musim panas. Tapi, di tengah kedinginan dan pemberontakan keras menentang kebekuan dengan menggosok-gosokkan tangan, saya percaya saja apa yang dia bilang.

"Tapi, kalau suka musik," dia melanjutkan lagi, "pasti senang tinggal di sini."

Ucapannya itu menjentikkan sedikit kesadaran di benak saya. Kesadaran yang sedikit itulah yang membuat saya membalasnya dengan sebuah pertanyaan: "Kamu tahu The Hacienda di mana?"

Saya hanya pernah mendengar tempat itu disebutkan di berbagai tulisan, tapi tidak pernah melihatnya secara langsung. Jauh sebelum saya menjejakkan kaki di Manchester, saya mendengar bahwa tempat itu sudah berubah menjadi sebuah apartemen.

Dan begitulah, ketika saya diunjukkan tempat yang saya tanyakan itu, saya melihat sebuah apartemen dengan dinding batu bata merah dan kamera pengawas tepat di pintu masuknya. Tempat yang cuma pernah saya dengar-dengar itu berdiri dengan tegas dan kaku di depan mata saya.

***

The Hacienda pernah menjadi bagian dari sebuah masa di mana jantung kota Manchester berdegup amat kencang. Pada era "Madchester" di akhir 1980-an dan awal 1990-an, The Hacienda adalah sebuah kelab malam yang dijadikan pusat banyak orang untuk menghabiskan waktu untuk bersenang-senang.

Di Inggris, "Madchester" dikenal sebagai masa di mana segala hal yang berbau Manchester adalah sesuatu yang dianggap keren, terutama dalam hal musik. Mereka yang mengenal The Stone Roses, Happy Mondays, dan New Order akan menganggap band-band tersebut sebagai aktor-aktor yang paling bertanggung jawab terhadap berkembangnya "Madchester".



"Madchester" dianggap tidak hanya memengaruhi kultur musik di Inggris kala itu, tetapi juga kehidupan dan derajat kota Manchester secara keseluruhan. Dari yang tadinya merupakan kota industri dan tidak terlalu mewah, Manchester mendadak dikenal jadi sentral kehidupan malam paling gemerlap.

Manchester Evening News pernah menulis bahwa dampak dari era tersebut masih terasa sampai sekarang. Banyaknya orang yang ingin tinggal dan bersekolah di Manchester membuat harga sewa apartemen dan kamar di Manchester melonjak. Mereka bahkan menyebut, lonjakan itu berangsur-angsur masih terjadi sampai sekarang.

Era "Madchester" memang tidak berlangsung lama. Sekitar tahun 1992, era itu meredup lalu perlahan-lahan mati. Tapi, yang namanya kegilaan biasanya memang tidak akan punah begitu saja, akan selalu ada sisa-sisa dari kegilaan itu yang akan menular dan menjalar ke mana-mana.

Dan begitulah "Madchester", era dari kegilaan Manchester ini menghadirkan legacy (warisan) yang tidak hanya ada di dunia musik, tetapi juga kultur pop. Meredupnya band-band dari era "Madchester" ditanggapi dengan lahirnya band-band lain yang terpengaruh dari era tersebut. Yang paling terkenal, tentu saja, adalah Oasis dan beberapa lainnya adalah The Verve dan The Chemical Brothers.

Kelak, Oasis dan yang lainnya akan menjadi bagian dari kultur pop lainnya yang berkembang di era 1990-an, yakni "Cool Britannia" di mana segala hal yang berbau Inggris atau Britania Raya adalah sesuatu yang dianggap keren. Berbeda dengan "Madchester", lingkup "Cool Britannia" tidak hanya seputar negara sendiri saja, melainkan sampai ke seluruh pelosok dunia. Baik film, musik, hingga model, aktor, dan aktris Inggris dipandang sebagai sesuatu yang "wah".

Seiring dengan mewabahnya "Cool Britannia", jantung kota Manchester pun masih berdegup. Di tengah makin menanjaknya Premier League, degup kota Manchester waktu itu diwakili oleh Manchester United-nya Alex Ferguson.

Sama seperti "Cool Britannia", anak-anak muda yang menjadi tulang punggung United ketika itu juga bermunculan di akhir era "Madchester". Bahkan, anak-anak muda di dalam skuat United saat itu, entah itu Ryan Giggs ataupun David Beckham, pernah satu atau dua kali menjajal masuk ke dalam The Hacienda.



United merasakan era yang begitu gemerlap di pertengahan sampai akhir 90-an, di mana pada akhirnya mereka sukses memenangi treble. Kegemerlapan ini juga ikut tercermin dengan lingkungan sekitar Old Trafford, di mana daerah-daerahnya tampak makmur. Getar dan degupnya tampak berbeda dengan daerah timur Manchester, tempat Manchester City berada.

Lewat kedua klub itu, Manchester seperti memiliki dua buah jantung, yang satu sedang giat-giatnya memompa darah dan tampak hidup, sementara yang lainnya tampak enggan-engganan. Manchester timur tempat City berada dulunya adalah daerah yang terbengkalai --seterbengkalai prestasi City dahulu.

Seakan-akan tidak rela melihat keadaan yang jomplang seperti itu, keadilan datang lewat sosok Sheikh Mansour. Dialah menyulap City --dan daerah sekitarnya-- menjadi lebih hidup. City kini tak lagi minder di hadapan rival sekotanya. Malahan, mereka sudah berani mengklaim sebagai klub nomor satu di Manchester.

Kegilaan City --dan dalam hal ini kegilaan Sheikh Mansour juga-- dalam menghamburkan dana untuk membangun tim maha-kuat pada akhirnya terjustifikasi dengan raihan dua gelar juara Premier League dalam tiga musim terakhir. Sementara, dalam tiga derby terakhir, City tidak sekalipun membiarkan United meraih kemenangan.

Boleh dibilang, degup City sebagai klub belakangan ini memang lebih kencang. Namun, seakan tidak mau dilahap oleh sang tetangga, United menjawabnya dengan kegilaan juga. Mau tidak mau, United harus membangun ulang skuat yang dianggap sudah usang. Maka, dihamburkanlah duit juga dan didatangkanlah pemain-pemain kelas satu.

Mereka yang sudah lama jadi pendukung United tentu tahu betapa hati-hatinya klub itu di era Alex Ferguson. Satu atau dua pemain dibeli di musim panas adalah sesuatu yang wajar, namun biasanya tidak semuanya pemain bintang. Maka, wajar jika kedatangan Juan Mata, Angel Di Maria, hingga Radamel Falcao dalam dua musim terakhir ditanggapi dengan rahang yang ternganga-nganga.

Kegilaan dibalas dengan kegilaan lainnya. Pada akhirnya, jadilah derby Manchester hari Minggu (2/11) sebuah sajian dari dua tim yang dibangun di atas kemewahan dan ego. Yang satu ingin membuat dirinya jadi salah satu yang terhebat di Inggris dan dunia, sementara yang lainnya tak ingin hegemoni yang sudah dibangun bertahun-tahun runtuh begitu saja.

Ini seperti "Madchester" lahir satu kali lagi.

====

*penulis adalah wartawan detikSport. Biasa beredar di dunia maya dengan akun @Rossifinza.

(roz/raw)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads