Takdir dan perpisahan siapa yang tahu. Tapi, kalaulah boleh meminta, ketika takdir memutuskan perpisahan janganlah mengasihani. Cukuplah mengenang saja.
Sekelebat, itulah yang diminta oleh Morrissey dan juga Roy Keane ketika mereka mengucapkan salam perpisahan masing-masing. Yang satu mengutarakannya dengan sedikit sedih di hadapan ribuan orang yang memadati O2 Arena, London, di ujung November. Sementara yang lainnya mengucapkan salam perpisahan kepada Aston Villa dengan nada yang lebih kalem beberapa hari sebelumnya.
"Remember me, forget my fate," ucap Morrissey, seakan-akan meminta dirinya untuk tidak dikasihani, terlepas dari apapun yang akan terjadi padanya setelah malam itu. Lantas, dengan iringan piano dia menyanyikan balada milik The Smiths, yakni Asleep. "Sing me to sleep, sing me to sleep. I'm tired and I want to go to bed."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melankolia merebak. Beberapa yang menyaksikan konser tersebut secara langsung tak bisa mengenyahkan pikiran bahwa bisa jadi itulah terakhir kalinya menyaksikan Morrissey bernyanyi. Sudah beberapa bulan terakhir dia berjuang melawan kanker, menyebabkan konsernya di sana-sini batal. Takdir memang tidak bisa diterka, jadi lebih baik dilupakan saja.
Sesungguhnya, melankolia bukanlah hal yang aneh dari Morrissey. Selama bertahun-tahun, dirinya terbiasa menulis lirik yang puitis tapi nyeleneh, atau indah sekaligus miserable. Sekali waktu dia akan menulis soal penolakan, di lain waktu dia menulis bagaimana indahnya mati bersama ditabrak bus tingkat.
Tahun 1997 dia menulis lagu soal tukang bersih-bersih jendela paling rupawan dan paling menarik yang pernah dia lihat. Morrissey memberi judul "Roy's Keen" untuk lagu yang dibuatnya itu. Dari desas-desus yang sempat berkembang, judul lagu itu merupakan permainan kata dari "Roy Keane". Keane yang dulunya seorang gelandang enerjik digambarkan pria kelas menengah yang sanggup melakukan apa saja.
Pada satu kesempatan, Morrissey dengan sengaja mengubah bagian "We've never seen a keener window-cleaner" pada lagu tersebut, menjadi "We've never seen a keener midfielder". Kita tidak pernah melihat gelandang sebersemangat itu sebelumnya. Dan memang begitulah Keane dulu.

Sama seperti Morrissey, Keane tidak pernah ragu untuk mengungkapkan apa yang dia pikirkan. Jika Morrissey kerap menyindir kolotnya tatanan hidup di Inggris sana, atau mengritik keluarga kerajaan, maka siapalah yang tidak pernah dikritik oleh Keane. Sebagai pemain dan kapten Manchester United, dia membuat perpisahan dengan mengritik terang-terangan rekan satu timnya sampai membuat kuping sang pelatih merah.
Sang pelatih, Sir Alex Ferguson, bukan orang sembarangan. Sepanjang kariernya, dia terbiasa melakukan protes terhadap keputusan wasit manakala dirasa merugikan timnya. Imbasnya, Ferguson berkali-kali mendapatkan hukuman dari federasi. Jika Ferguson yang tukang protes saja sampai merah mendengar kritik Keane, entah bagaimana rekan-rekannya waktu itu.
Dengan alasan untuk menjaga situasi tim tetap kondusif, Ferguson pun memutuskan untuk meminta Keane pergi. Kapten yang pernah memberikannya treble pada 1999 itu dilepasnya jauh lebih ke Utara, ke Glasgow, untuk bermain bersama Celtic.
Keane yang waktu itu sudah memasuki senjakala kariernya tidak bermain lama bersama Celtic. Setelah hanya bermain 10 kali di Liga Skotlandia bersama Celtic, Keane memutuskan untuk pensiun. Laga testimonialnya untuk United digelar pada tahun itu juga, pada 2006, dan kabarnya jadi laga testimonial paling ramai ditonton di Inggris Raya.
Dengan kepergian Keane, tak ada lagi kapten pemarah di kubu United. Tak ada lagi kapten yang menghardik rekan-rekannya dengan sebutan "sudah kehilangan gairah karena tenggelam di dalam Rolex dan mobil mewah" tiap kali tim bermain tanpa gairah. Ya, sekeras apapun seruannya, atau semerah apapun kuping dibuatnya, seruan Keane acap kali benar.

Selepas jadi pemain, Keane mencoba jadi peruntungan sebagai manajer. Namun, perjalanan kariernya sebagai manajer relatif lebih sepi. Satu-satunya kesuksesannya adalah membawa Sunderland promosi ke Premier League pada 2007, selebihnya tak ada lagi. Tak ada ingar bingar trofi seperti ketika dia bermain dulu.
Kendati demikian, ingar bingarnya sebagai seorang manusia masih tetap ada. Bagaikan sebuah mesin yang selalu panas, bahan bakar Keane untuk bisa terus hidup adalah semangat serta rasa bebasnya untuk bersikap dan berkata apa yang dia mau. Bahkan ketika sudah tidak menjadi seorang manajer pun, Keane tidak lepas dari sorotan. Otobiografi teranyarnya, yang mengritik banyak orang yang pernah bersinggungan dengannya, hanyalah sebuah contoh kecil.
Ketika masih menjadi asisten Paul Lambert di Aston Villa, Keane dengan wajah lurus dan nyaris tak berekspresi menolak jabat tangan dari Jose Mourinho. Sebabnya sederhana, pertandingan belum selesai waktu itu, meskipun Chelsea sedang berada dalam posisi unggul. Usai pertandingan, Keane mengatakan bahwa Mourinho pasti sudah kena jotos jika berlaku seperti itu di Sunday League --liga non-profesional yang dimainkan tiap hari Minggu.
Keane kini tak lagi menjadi asisten Lambert di Villa. Lewat pernyataannya pekan lalu, dia mengaku tidak bisa fokus total dengan jabatan ganda yang kini dipegangnya: sebagai asisten manajer di Villa dan sebagai asisten manajer di tim nasional Republik Irlandia. Akhirnya, Keane memilih untuk melepas jabatannya di Villa.
Di timnas Irlandia pun dia bukannya adem-adem saja. Sebelum laga melawan Skotlandia, dia dikabarkan terlibat keributan dengan fans di depan hotel tim sampai-sampai sebuah ambulans didatangkan ke lokasi kejadian. Namun, Keane dinyatakan tidak bersalah pada keributan itu. Kubu timnas Irlandia pun langsung memberikan klarifikasi dan pembelaan terhadap Keane.
Keane bakal tetap jadi Keane: Seorang gelandang yang enerjik, pria pemarah, dan seorang pembersih jendela paling menarik yang pernah ada di lagu Morrissey. Ceritanya masih tertuang di mana-mana, kendatipun kini dia tak lagi ada di tengah hiruk-pikuk Premier League. Banyak yang bertanya, apa yang akan diambil Keane setelah ini --setelah ceritanya sebagai manajer tidak cemerlang dan kisahnya sebagai asisten manajer juga sama tidak indahnya.
Tapi, seperti halnya perkataan Morrissey, nasib atau takdir yang ada di depan sana bukanlah untuk ditebak-tebak dan dikasihani. Cukuplah kenang saja apa yang sudah diberikan oleh seseorang selama ini. Kira-kira, inilah jawaban yang pas untuk nasib Keane ke depannya. Toh, bukan berarti dia akan hilang dari kabar selamanya.
Baru-baru ini, Keane mendapatkan sebuah pertanyaan, apakah dia akan berdamai dengan Ferguson suatu hari nanti?
Keane pun menjawab dengan santai. "Jika Alex Ferguson datang kepada saya dan meminta maaf sembari berbincang-bincang minum teh, saya akan memaafkannya. Kami akan melupakan semuanya."

====
*penulis adalah wartawan detikSport, beredar di dunia maya dengan akun @Rossifinza
(roz/mfi)











































