Error Si Meneer

Error Si Meneer

- Sepakbola
Senin, 12 Jan 2015 13:41 WIB
Error Si Meneer
AFP/Oli Scarff
Jakarta -

Suatu kali, Meneer Louis van Gaal pernah berucap bahwa dia jarang sulit tidur lantaran membuat kesalahan. Entah bagaimana kali ini.

Si Meneer mungkin lupa bahwa sebagaimana alamiahnya bernafas, kesalahan juga bisa dilakukan siapa pun --termasuk seorang manajer tim sepakbola. Bahkan seorang Alex Ferguson yang sedemikian legendarisnya pun tidak luput dari kesalahan.

Pada September 1998, Ferguson memimpin pasukannya berjalan menuju London untuk bertanding di atas tanah yang kini sudah menjadi kompleks apartemen, Highbury. Pertandingan waktu itu terbilang penting untuk Ferguson dan pasukannya mengingat lawan yang dihadapi adalah musuh bebuyutan di liga waktu itu, Arsenal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Manchester United, pasukan Ferguson itu, sedang berada dalam mood bagus. Usai mengalami dua hasil imbang berutun di liga, mereka memperbaikinya dengan dua kemenangan beruntun atas Charlton Athletic dan Coventry City di kandang sendiri. Salah satu faktor yang mendukung dua kemenangan itu adalah Dwight Yorke yang baru saja didatangkan dari Aston Villa. Yorke sukses mencetak tiga gol dalam dua laga tersebut.

Yorke kemudian dikenal sebagai partner sehati dari Andy Cole sepanjang musim tersebut. Namun, sebelum duet Yorke-Cole terbentuk dan menyatu, tandem Yorke pada dua laga pertamanya untuk United adalah Ole Gunnar Solskjaer. Dengan bagusnya performa Yorke dan Solskjaer di lini depan, mudah untuk menebak bahwa Ferguson akan menurunkan keduanya di Highbury.

Namun, ternyata tidak demikian. Ferguson memilih untuk menaruh Solskjaer di bangku cadangan dan memainkan pola 4-4-1-1. Yorke dibiarkan sendirian jadi penyerang di lini depan, sementara satu orang yang ditaruh di belakang Yorke adalah Ryan Giggs --yang berposisi asli sebagai pemain sayap. Posisi sayap kiri yang menjadi pos asli Giggs diisi oleh Jesper Blomqvist.

Mungkin, Ferguson berniat untuk menggunakan kecepatan Giggs sebagai alat untuk mendobrak pertahanan Arsenal dari tengah sekaligus menyokong Yorke. Sayang, rencana tinggal rencana. Yang terjadi di atas lapangan tidak demikian.

United malah kesulitan untuk menembus lini belakang Arsenal dengan pola demikian. Sebaliknya, The Gunners justru leluasa mengeksploitasi pertahanan United. Hasilnya, Arsenal unggul dua gol di babak pertama. Kartu merah Nicky Butt di awal-awal babak kedua kemudian memperburuk semuanya. United akhirnya kalah 0-3 pada laga tersebut.

Mengubah Giggs, yang biasa menyisir dan menusuk masuk dari sisi sayap, menjadi salah satu ujung tombak adalah salah satu kesalahan Ferguson pada laga tersebut. Mengubah habit (kebiasaan) seorang pemain begitu saja tidaklah semudah imajinasi yang ada di benak seorang manajer.

Sekitar 17 tahun setelah pertandingan tersebut, Minggu (11/1/2015), kesalahan yang nyaris-nyaris mirip dilakukan oleh Van Gaal. Si meneer sedang berada dalam mood bagus setelah mengklaim bahwa timnya mengalami peningkatan dari pekan ke pekan --terlepas dari fakta bahwa United hanya meraih satu kemenangan dalam empat pertandingan terakhir di liga.

Van Gaal juga tengah bahagia lantaran pemain-pemain andalannya sudah pulih dari cedera. Kini, hanya Ashley Young satu-satunya pemain yang berada di dalam ruang perawatan (luar biasa! --kata Van Gaal). Dengan pemain-pemain semodel Angel Di Maria, Daley Blind, dan Luke Shaw bisa dimainkan, Van Gaal pun berimajinasi: mungkin, ada baiknya memainkan Di Maria yang punya kecepatan itu sebagai penyerang di belakang Robin van Persie.

Di Maria memang beberapa kali mengkreasikan peluang di babak pertama, namun kita semua tahu bahwa dia bisa lebih berbahaya jika dimainkan di lini tengah dan memaksimalkan kecepatannya untuk mendobrak dari lini tersebut. Sebaliknya, Van Gaal malah mengandalkan Juan Mata dan Wayne Rooney --plus Michael Carrick-- sebagai gelandang di lini tengah.

Rooney boleh jadi beberapa kali tampil impresif sebagai gelandang tengah dalam formasi 3-5-2 yang belakangan dimainkan oleh Van Gaal. Pada satu momen, Rooney bisa berada di belakang membantu pertahanan, pada momen berikutnya dia sudah berada di depan kotak penalti lawan untuk menyambut umpan.

Sial buat Van Gaal, pola serupa tidak berlaku ketika menghadapi lawan di Minggu malam itu, Southampton. Formasi 3-5-2 di mana Rooney tampil merajalela hanya bekerja melawan tim yang bertahan ogah-ogahan --seperti Liverpool di Old Trafford pada Desember silam. Namun, kali ini Southampton bertahan rapat. Nyaris tidak ada peluang untuk mendobrak dari tengah.

Satu-satunya jalan pun hanya melepaskan umpan dari sayap. Sialnya, ini tidak dilakukan dengan baik oleh kedua wingback United pada laga tersebut, Luke Shaw dan Antonio Valencia. Shaw kerap kali berlari menusuk sebelum selesai menyisir sisi lapangan, lalu mengirim umpan dari sisi yang lebih dalam. Sementara Valencia seringkali menghentikan larinya, lalu mengoper bola ke sisi dalam.

Umpan dari sisi kiri baru membaik ketika Shaw diganti dan Daley Blind ditaruh sebagai wingback kiri di babak kedua. Valencia juga lebih banyak mengirimkan umpan silang ke kotak penalti menjelang babak kedua berakhir. Tapi, semuanya terlambat untuk United dan juga Van Gaal.

Sejak awal, pemilihan Di Maria sebagai penyerang di belakang Van Persie dipertanyakan. Sama seperti Giggs 17 tahun lalu, kemampuan terbaiknya jadi tidak muncul. Demikian pula dengan penempatan Mata yang terlalu dalam. Padahal, Mata jauh lebih berbahaya ketika dia berada dekat dengan kotak penalti. Banyaknya peluang yang didapatkan Mata menjelang akhir babak kedua --ketika posisinya diubah menjadi lebih ke depan-- membuktikan hal itu.

Van Gaal bersalah lantaran mengubah habit pemainnya begitu saja. Dia juga dianggap bersalah karena memainkan formasi 3-5-2 yang belakangan jarang membuat United tampil impresif. Laga melawan Yeovil Town di babak ketiga Piala FA mempertontonkan bagaimana monotonnya United kala bermain dengan formasi tersebut, namun berubah menjadi lebih baik di babak kedua ketika Van Gaal mengubah bentuk tim dan memainkan formasi 4-1-4-1.

***

Usai pertandingan, pelatih Southampton, Ronald Koeman, mengatakan bahwa dia tahu, begitu United buntu melakukan serangan dari tengah, mereka akan memasukkan Marouane Fellaini dan mulai membombardir pertahanan timnya dengan umpan silang. Koeman terbukti benar.

Agaknya, Van Gaal dibuat kecele oleh junior dan mantan muridnya itu. Ketika memasang formasi 3-5-2 pada starting XI, dia beranggapan bahwa Southampton akan tampil terbuka dan bermain menyerang seperti ketika bermain di St Mary's Desember lalu. Tentu, menggunakan 3-5-2 melawan tim yang bermain terbuka akan memudahkan United --lagi-lagi lihat Liverpool sebagai contohnya.

Namun, Koeman justru meminta timnya bermain dalam di belakang sembari menunggu kesempatan untuk mencuri gol. Indikasi bahwa Van Gaal tidak menyangka Southampton akan bermain seperti itu ada pada komentarnya setelah pertandingan. Si Meneer mengatakan, Southampton ternyata datang untuk bermain imbang, bukan untuk menang.

Mau tidak mau, Van Gaal harus mengakui Koeman mengalahkannya kali ini. Tiga hasil imbang dan satu kekalahan dalam lima laga terakhir jelas bukan catatan bagus. Pesaing-pesaing mereka untuk memperebutkan zona Liga Champions kini merapat. Van Gaal punya pekerjaan rumah besar --yang mungkin, kali ini, bisa mengganggu tidurnya.

====

*penulis adalah wartawan detikSport, beredar di dunia maya dengan akun @Rossifinza.

(roz/a2s)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads