Eric yang Bukan Malaikat

Eric yang Bukan Malaikat

- Sepakbola
Senin, 26 Jan 2015 14:39 WIB
Getty Images/Anton Want
Jakarta -

Beberapa orang tercipta untuk kemudian menjadi orang baik-baik, lainnya menjadi brengsek, dan sisanya abu-abu. Malaikat tinggal di surga, iblis menetap di neraka, manusia berada di tengah-tengah.

Wajar kalau kemudian beberapa manusia digambarkan sebagai makhluk yang rumit. Tidak pernah benar-benar hitam, tidak pernah benar-benar putih. Manusia-manusia yang demikianlah yang sulit untuk dideskripsikan. Manusia-manusia yang bukan malaikat, bukan juga iblis.

Manusia-manusia demikian kerap kali mewujud menjadi sosok-sosok enigmatik. Tidak bisa diterka. Kadang kita dibuat terheran-heran olehnya: Dia senyata-nyatanya bukanlah orang yang benar-benar baik, tapi mengapa kita tetap mengelu-elukannya?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di antara sosok-sosok yang enigmatik itu, tersebutlah Eric Cantona. Le Roi --atau The King-- demikian dia biasa dijuluki oleh para penggemar Manchester United. The King of Old Trafford, kata mereka. Entah orang macam apa yang bisa dijuluki The King ketika masa pengabdiannya untuk klub hanya lima tahun. Ryan Giggs yang main sampai lebih dari dua dekade saja tidak sampai dapat jejuluk demikian.

Cantona hanya punya empat trofi Premier League --Rio Ferdinand saja punya trofi lebih banyak: 6 trofi. Cantona juga tidak punya trofi Liga Champions di kabinetnya --masih lebih banyak koleksi Giggs dan Paul Scholes: dua trofi. Lalu, mengapa sedemikian hebatnya Cantona? Konon, Cantona adalah kepingan terakhir yang dibutuhkan Alex Ferguson. Tanpa pembeliannya, Ferguson tidak mungkin pecah telur. Gelar juara Premier League pertama dan beberapa selanjutnya tidak mungkin didapat.

Penjabaran mengenai Cantona memang lebih dari sekadar trofi-trofinya. Masih banyak pemain yang lebih bergelimang trofi. Tapi, memang kadang trofi tidak dijadikan tolok ukur dari kelegendarisan seorang pemain. Untuk Cantona, dia akan dikenang dari kharisma dan enigmanya, dari kerah terangkat di kostumnya --selayaknya mahkota buat dia.

***

"Ada dua Eric Cantona," ujar Michel Platini kepada The Independent belasan tahun silam. "L'un qui existe, et l'un qui s'exprime --si manusianya sendiri, dan si manusia lainnya yang dibicarakan. Anda paham maksud saya?" lanjut Platini.

Legenda hidup sepakbola Prancis itu hendak menjabarkan Cantona sebagai sosok yang kompleks. Si manusianya sendiri adalah sosok Cantona sebenarnya yang dikenal di Prancis sebagai pemain paling kharismatik se-generasinya, sementara si manusia yang berbicara adalah Cantona yang dikenal bermasalah dan kerap bertindak tanpa berpikir panjang.

Cantona pergi dari Prancis pada 1991 dengan sederet catatan indisipliner. Cantona adalah sosok yang dikenal semau gue di Prancis, sampai-sampai komisi disiplin di Prancis menganggapnya patut dikhususkan. Menilai Cantona tidak bisa sama dengan menilai pemain-pemain lainnya. Ada jejak sulfur yang dia tinggalkan ke mana pun dia melangkah.

Lucunya, seperti yang dikatakan oleh Platini, seburuk-buruknya Cantona orang tidak akan tidak mengelu-elukannya. Jurnalis Inggris, Jeff Maysh, dalam salah satu tulisannya "Cantona sebagai Anti-Hero", mengisahkan salah satu kartu merah paling awal yang pernah diterima Cantona. "Anda tak bisa melihatnya di YouTube," tulis dia.

Maysh merekam kartu merah itu sebagai adegan yang komikal di tulisannya: Tak sampai sedetik setelah melakukan pelanggaran keras terhadap lawan, Cantona langsung membuang kostumnya dan keluar lapangan dengan bertelanjang dada. Dia tak butuh untuk tahu apa keputusan wasit terhadapnya. Si wasit, yang merasa harus memberikan ganjaran kepada Cantona, tergopoh-gopoh mengejarnya seraya mengacung-acungkan kartu merah. Cantona cuek dan tidak menoleh.

"Rasanya saya ingin memberikan aplaus untuknya," tulis Maysh.



Aneh memang jika sebuah pelanggaran keras--yang merupakan tindak kriminal di atas lapangan-- malah membuat orang yang menyaksikannya malah ingin memberikan aplaus. Kecuali, jika Anda adalah pendukung dari tim yang dibela Cantona, maka ceritanya tentu saja jadi lain. Tapi, tidak semua pemain mendapatkan perayaan atas tindakan kriminalnya di atas lapangan.

Cantona memang bukan penjahat biasa --penjahat yang menyukai puisi dan filsafat, di luar musik, tentunya bukan penjahat biasa. Cantona mengagumi lukisan Nicholas de Stael dan menyukai puisi Arthur Rimbaud. Untuk kupingnya, dia biasa mendengarkan suara Jim Morrison. Dia menetap di council house di belahan barat laut Inggris, bukan rumah mewah selayaknya pesepakbola kelas bintang. Dia tinggal dengan istrinya yang mengajar bahasa Prancis di Universitas Leeds.

Satu atau dua kali, Cantona akan mengeluarkan komentarnya terhadap isu politik, sastra, dan keberpihakannya kepada minoritas. Dia pernah menyuarakan kegetirannya ketika Manchester United dibeli oleh Malcolm Glazer dan menyisakan segudang utang untuk dipanggul. Dia mengatakan, tidak akan kembali ke klub jika Glazer masih jadi pemilik.

Cantona juga menyuarakan kerisauannya akan Islamofobia di Prancis pasca-penyerangan majalah Charlie Hebdo di Paris. Entah penjahat macam apa yang memikirkan hal-hal semacam ini.

Cantona biasa berbicara dengan suara yang berat, tidak dalam tempo yang cepat, seraya memikirkan kata demi kata yang sesuai untuk diucapkan berikutnya. Tangannya bergerak-gerak menciptakan gestur seiring dengan suara yang keluar dari mulutnya, layaknya membuat lukisan tidak terlihat untuk menggambarkan ekspresinya. Dengan jenggot dan kumis, Cantona yang kini berusia 48 tahun lebih mirip seorang filsuf ketimbang mantan pemain bola.



***

Cantona pensiun ketika usianya masih 30, usia yang dianggap belum tua-tua amat untuk ukuran pesepakbola. Setelah pensiun, dia menekuni seni teater dan sosoknya tampil di berbagai film.

Ada beberapa versi mengapa Cantona memilih untuk pensiun di usia yang belum tua-tua amat itu. Salah satu versi menyebutkan bahwa dia memutuskan gantung sepatu mumpung masih berada di puncak. Versi lain menyebutkan, dia pensiun karena merasa sudah tidak ada lagi yang perlu dibuktikan.

Versi yang terakhir itu berpangkal pada kasus tendangan kung fu terhadap suporter Crystal Palace, Matthew Simmons, pada tahun 1995. Kemarin, Minggu, 25 Januari 2015, tepat 20 tahun kasus tendangan kung fu itu terjadi. Sampai saat ini, tendangan kung fu tersebut terus diceritakan ulang seperti sebuah folklore.



Imbas dari tendangan tersebut, Cantona berubah menjadi pesakitan. Manchester United mendenda dan menghukumnya empat bulan larangan bertanding, FA pun ikut melarangnya bertanding selama delapan bulan. Akibat dinilai melakukan penyerangan terhadap orang --yang merupakan tindak kriminal-- Cantona sempat nyaris dihukum dua minggu penjara. Hukuman tersebut kemudian diubah menjadi kewajiban melakukan kerja sosial selama 120 jam.

Usai menjalani hukumannya, Cantona menyepi ke Prancis. Konon, Alex Ferguson sampai harus menyusul dan membujuknya untuk kembali bermain. Cantona sempat menolak, namun Ferguson meluluhkan hatinya lewat sebuah perbincangan yang tidak membicarakan apa-apa soal sepakbola, melainkan membicarakan soal sastra dan filsafat.

Cantona kembali dan untuk dua musim beruntun setelahnya, dia mengantarkan United menjadi juara Liga Inggris. Merasa sudah tidak punya utang di atas lapangan dan membuktikan bahwa dia bisa bangkit dari keterpurukan, Cantona akhirnya pensiun.

Cantona meninggalkan lapangan dengan berbagai impresi. Beberapa mungkin menilainya cukup aneh untuk seorang manusia dan cukup absurd sebagai pesepakbola. Tapi, Cantona tidak terlalu peduli. Seperti yang diucapkannya dalam "Looking for Eric", ada kalimat yang pas untuk menggambarkan dirinya:

"I am not a man, I am Cantona!"

====

*penulis adalah wartawan detikSport, beredar di dunia maya dengan akun @Rossifinza

*Foto-foto: Getty Images dan Manchester Evening News

(roz/a2s)

Hide Ads