Jika cinta sudah melekat, tahi kucing pun rasa cokelat. Sudah sering kejadian dan jamak terjadi di mana-mana, sepakbola mendapatkan prioritas tertinggi dalam hidup.
Maka, jangan heran jika sudah mabuk kepayang dengan sepakbola, ada-ada saja tindakan bodoh yang dilakukan. Apakah Piala Dunia Brasil yang tetap dihelat meski negara sedang karut-marutnya termasuk tindakan yang bodoh? Di satu sisi, ya. Di sisi lain, tetap saja Piala Dunia itu menghadirkan kemeriahan. Orang suka-suka saja menyaksikan dan merayakan keberhasilan tim dukungannya.
Layaknya jatuh cinta pada kebanyakan orang, jangan bertanya soal nalar di sini. Seorang pria memrioritaskan menonton klub kesayangan tiap akhir pekan ketimbang jalan dengan kekasihnya adalah hal yang biasa. Mereka memilih untuk melewatkan malam di tribun ketimbang di meja makan malam nan romantis. Mereka lebih memilih berjingkrakan dan berangkulan dengan kawan-kawan manakala gol tercipta ketimbang memeluk hangat kekasih.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saya pernah mampir ke sebuah forum pendukung klub Premier League yang sedang hangat-hangatnya membahas tema "Suport Your Local Team". Pada dasarnya, beberapa orang yang memberikan pandangan dalam forum tersebut memahami bahwa sah-sah saja klub mereka mencari dukungan sampai ke pelosok dunia mana pun. Sebab, tanpa dukungan fans global, klub mereka bakal kesulitan untuk membayar gaji para pemain bintangnya.
Awalnya, saya sedikit skeptis soal tema tersebut dan sedikit beranggapan bahwa itu hanya sekadar gaya-gayaan atau arogansi pendukung lokal saja. Sampai saya membaca sebuah argumen yang menyatakan, mendukung klub lokal tidak hanya berarti mendukungnya secara permainan, tetapi juga mendukungnya karena ada kedekatan kultural. Beda klub, beda wilayah, biasanya beda juga kebiasaan atau kulturnya. Kultur-kultur inilah, kata mereka, yang tidak akan bisa dikenali oleh pendukung dari luar.
Silakan setuju atau tidak setuju dengan argumen tersebut. Tapi, di Indonesia sendiri pun kadang ada yang begitu. "Saya orang Jakarta, makanya dukung Persija." atau "Orang Bandung mah dukung Persib." Kadang tidak ada alasan khusus mengapa mendukung kedua klub itu. Ketika ditanya mengapa, maka jawabannya adalah asal-muasal tempat tinggal orang tersebut.
Namun, ada kalanya orang beranggapan bahwa kecintaan kepada klub tidak bisa dipilih-pilih atau ditolak-tolak. Alamiah saja. Kadang kalau sudah dijodohkan suka dengan satu klub tertentu, ya terjadilah. Biarpun satu keluarga Anda mendukung klub tertentu, bisa saja Anda mendukung klub rival mereka.
Ambil contoh cerita vokalis The Stone Roses, Ian Brown, soal kecintaannya pada Manchester United. Kepada FourFourTwo, Brown mengisahkan bahwa di daerah tempatnya dibesarkan setiap rumah adalah rumah pendukung Merah atau Biru (United atau City). Rumahnya adalah Rumah Biru. Mulai dari nenek, orang tua, hingga saudara-saudaranya adalah pendukung City.
Sampai suatu ketika pamannya --seorang pembelot keluarga, pendukung United-- datang membawakannya match programme dari final Piala Champions 1968. Sang paman menyaksikan langsung pertandingan tersebut dan langsung saja menularkan antusiasmenya kepada Brown. Begitu Brown memegang match programme tersebut, tanpa ada nalar yang bermain di situ, dia langsung tahu klub apa yang akan didukungnya kelak.
Tentu, pembelotan Brown mendapatkan tentangan dari keluarganya. Dia mengaku, neneknya sempat membelikannya berbagai pernak-pernik City supaya mengubahnya kembali menjadi Biru. Tapi, Brown dengan keras menolaknya. "Tidak mungkin. I'm a Red!" sergahnya.
Pada 1971, ketika usianya baru delapan tahun, Brown dengan bangga bergabung dengan pendukung-pendukung United lainnya di Stretford End untuk menyaksikan United mengalahkan Southampton 4-1. Brown mengaku masih ingat dengan jelas hari itu sampai dia sekarang tua. Buatnya, hari itulah dia dibaptis sebagai pendukung United.
Brown tinggal di London bersama sang istri, Fabiola, dan anak mereka, Emilio. Entah kena batunya atau bukan, Emilio tumbuh besar bukan sebagai pendukung United. "Harusnya dia jadi pendukung Merah, tapi semua temannya adalah pendukung Chelsea dan mereka bilang Man United sampah. Jadi, sepertinya dia akan mendukung mereka. Sulit untuk menerimanya jika benar kejadian. Tapi, mau bagaimana lagi? Buat dia itulah klub lokalnya," kata Brown.
Sama seperti kebanyakan suporter dan pecinta sepakbola di Inggris lainnya, Brown memahami kebanggaan mendukung tim lokal. Oleh karenanya, dia tidak heran jika sang anak justru mendukung Chelsea. Sebaliknya, dia justru heran melihat Badly Drawn Boy --nama beken dari musisi Inggris lainnya, Damon Gough-- manggung dengan syal Manchester City di lehernya.
"City? Dia dari Bolton!" sembur Brown.
Rekan Brown di Stone Roses, Mani Mounfield, lebih gila lagi. Mani adalah pendukung United yang lebih fanatik daripada Brown dan mengaku sudah menganut paham Merah kota Manchester sejak berusia empat tahun. Pada tahun 2000, ketika klub sedang pelit-pelitnya mengeluarkan uang untuk membeli bintang, Mani tidak ragu-ragu memaki presiden klub waktu itu, Martin Edwards.
Mani menyebut Edwards hanya menggunakan United untuk memperkaya dirinya sendiri. Menurutnya, sebuah klub tidak seharusnya hanya menguntungkan bos-bos mereka, tetapi juga pendukung --dalam bentuk performa dan prestasi di atas lapangan. Sebuah klub, kata Mani, seharusnya dijaga sebagai warisan turun-temurun untuk pendukungnya.
"Kalau memeperkan Kue Kipling di kostum tim bisa membuatnya lebih kaya, dia pasti melakukannya. Kita seharusnya bisa mendapatkan Batistuta, Salas ataupun Rivaldo, tapi dia terlalu pelit!"
Begitulah, kalau sudah cinta mau apalagi. Menghardik bos klub yang tidak disukai pun jadi halal. Sudah sering pendukung sepakbola menyaksikan timnya terpuruk dan kalah berulang kali, tapi masih datang ke stadion keesokan pekannya. Kalau tidak puas, yang paling banter dilakukan adalah meminta klub untuk segera memecat manajer yang mereka anggap tidak becus.
Mencintai dan memberikan kasih sayang kepada sepakbola memang begitu: Tidak ada jaminan bakal berbalas. Pada 2012, ketika menyaksikan Piala AFF di Kuala Lumpur, saya sempat menemui beberapa pendukung asal Makassar yang rela menggadaikan motor dan laptop demi mengongkosi diri terbang ke Malaysia. Tujuannya apalagi kalau bukan mendukung tim nasional Indonesia. Bahkan, beberapa lainnya rela bolos kuliah atau membawa pakaian secukupnya supaya tas yang mereka bawa muat dengan spanduk yang akan dibentangkan di tribun.
Pada kesempatan lainnya, dalam perjalanan ke stadion Bukit Jalil dengan menggunakan kereta, saya bertemu dengan beberapa pendukung Indonesia lainnya yang kebetulan bekerja di Kuala Lumpur. Salah seorang di antaranya mengaku berbohong sedang sakit kepada bosnya supaya bisa menyaksikan timnas main melawan Singapura.
Padahal, peluang Indonesia waktu itu sedang tidak bagus. Konflik dualisme liga membuat pemain-pemain tebaik 'Merah-Putih' tidak dilepas klub. Dan benar saja, Indonesia akhirnya tersingkir di fase grup begitu kalah 0-2 dari Malaysia di laga terakhir. Jangan ditanya bagaimana dongkolnya ketika para pendukung Malaysia di tribun sebelah berteriak-teriak kepada Anda karena tahu Anda adalah pendukung timnas Indonesia.
Tapi, ya sudah. Memang begitulah perih dan risikonya menjadi pendukung tandang. Justru di situlah kecintaan kita sedang diuji-ujinya.
====
*penulis adalah wartawan detikSport, beredar di dunia maya dengan akun @Rossifinza
(roz/mrp)