Jika Anda rajin membeli tiket saat tim kesayangan bertanding, semestinya Anda punya hak untuk lebih didengarkan. Jika tidak, mungkin suporter memang tak punya posisi strategis untuk klub.
"Bukanlah manajer orang yang terpenting di dalam sebuah tim sepakbola. Tentu bukan. Saya selalu bilang, yang paling penting di klub adalah suporter. Nomor dua pemilik lalu pemain, baru manajer (pelatih)."
Ucapan itu dilontarkan oleh orang sekaliber Jose Mourinho, menjawab dugaan bahwa dia adalah yang teragung-agungkan di "republik" Chelsea FC saat ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan ratusan juta poundsterling yang dia keluarkan, orang Malaysia itu mungkin merasa mudah untuk me-rebranding identitas Cardiff. Warna tradisional kostum digantinya dari biru menjadi merah, logo klub diubah dari burung "walet" menjadi naga terbang. Julukan Bluebirds ingin disulap menjadi The Red Dragon.
Anda bayangkan, sebuah klub yang sudah berdiri ratusan tahun -- Cardiff dibentuk tahun 1899 -- dengan begitu saja diganti identitasnya oleh si empunya duit. Ada sejarah yang ingin dilupakan, kata suporter mereka.
Maka kebijakan sang pemilik layak dilawan. Dan hanya suporter yang bisa melawan. Mereka memprotes direksi, menggelar aksi demonstrasi, dan juga membuat gratifi-gratifi ketidaksenangan di areal stadion. Mereka tetap datang ke stadion dan membela tim kesayangannya bertanding, tapi tetap pula dengan berbaju biru.
Anda tahu efek dari sikap suporter Cardiff itu? Penjualan jersey (merah) klub tidak menggembirakan, sementara bisnis merchandise adalah salah satu pos pemasukan yang signifikan untuk sebuah klub Eropa -- seperti halnya penjualan tiket pertandingan.
Tekanan yang konsisten dari suporter membuat Tan melunak. Mulai tahun 2015 mereka kembali menjadikan kaus biru menjadi jersey pertama, sedangkan yang merah adalah kostum tandang. Logo pun dikompromikan. Naga merah tetap bertengger, tapi burung biru disisipkan di bagian bawah.

Cardiff City hanya sebuah kasus yang mempertegas posisi suporter untuk timnya. Fans pula yang menolak proposal direksi mengubah nama belakang klub dari Hull City menjadi Hull Tigers. Lebih dari 20 ribu suporter Everton menandatangani petisi untuk menentang ide klub mendesain ulang logo mereka.
Mengutip deklarasi Mourinho, suporter semestinya lebih punya derajat bagi sebuah tim. Mereka rela menyisihkan uang hidupnya untuk membeli tiket pertandingan dan membeli beberapa potong jersey -- setiap musim klub itu berganti desain baju. Mereka rela jauh-jauh meninggalkan kota mereka hanya untuk menemani para pemain bertanding di markas lawan. Jika tim mereka dalam keadaan tertinggal oleh lawan, tanpa diminta mereka menyanyikan lagu-lagu pembangkit semangat. Jika para pemain menangis tersedu-sedu tatkala kalah di final, suporter menepuk-nepuk pundak mereka dan mengatakan, "Tidak apa-apa, kawan. Kamu sudah main bagus, kamu sudah berusaha. Kamu sudah bikin kami bangga."
Sekali lagi, tanpa diminta suporter akan selalu ada di belakang tim kesayangannya. Sampai lampu-lampu stadion dipadamkan. Sampai mati, kalau perlu. (Bukankah sudah banyak suporter kita yang tewas hanya karena sepakbola?)
**
22 Februari 2015. Sekitar 1.000 suporter Parma menggelar aksi unjuk rasa di depan stadion Ennio Tardini. Mereke memprotes manajemen klub yang membuat gaji para pemain mereka tak terbayarkan berbulan-bulan, tak sanggup membayar listrik untuk memanaskan air untuk mandi pemain, tak sanggup pula membayar polisi untuk mengamankan pertandingan.
Sang kapten, Alessandro Lucarelli, meradang, mewakili teman-temannya. Dia menuding FIGC (PSSI-Italia) dan operator Serie A yang lalai memeriksa kondisi Parma, sampai-sampai menunggak gaji para pemainnya sepanjang musim.
19 Maret 2015. Pengadilan hanya butuh 10 menit untuk memutuskan bahwa Parma dinyatakan bangkrut. Presidennya, Giampietro Manenti, ditangkap karena diduga melakukan pencucian uang yang ilegal.
Jika Parma hingga kini masih bisa mengikuti kompetisi, itu karena otoritas Serie A dan klub-klub bersepakat untuk menunjukkan "solidaritas" mereka. Parma diberi "sedekah" sebesar 5 juta euro sampai akhir musim, yang uangnya diambil dari denda-denda yang dipungut oleh otoritas liga dari klub-klub.
**
Di luar sana, yang katanya kita terus belajar dari mereka, klub-klub yang bermasalah harus menanggung akibatnya sendiri. Suporter pun tak tinggal diam manakala melihat dengan jelas kesalahan manajemen klub mereka.
Di sini, jika suporter telah membeli tiket dan senantiasa mendampingi pemain, dan ketika klub menunggak gaji para pemain, maka yang salah bukanlah klub. Di sini, jika ada pemain yang tak punya uang untuk berobat ke rumah sakit, maka suporter mengumpulkan koin untuk menalangi. Mulia sekali, bukan?
Tak heran jika saat ini pemerintah melakukan verifikasi dengan ketat, dan kemudian didapati fakta bahwa banyak klub tidak mengurus pajak, menunggak gaji pemain, dan mengabaikan banyak aspek kelayakan sebagai sebuah klub profesional, yang dimarah-marahi adalah pemerintah. Jika Anda di-bully orang lain karena klub kesayangan Anda menunggak gaji pemain, tidak mengurus NPWP, lalu siapakah yang sesungguhnya bersalah?
Kecuali kalau suporter memang cuma suporter yang bertugas merogoh kocek untuk membeli tiket dan jersey, dan patungan mengobati pemain yang sakit, itu soal lain. Kecuali jika yang suporter mau semata-mata "mendapat tontonan dan hiburan", dan setelah itu pulang ke rumah dengan perasaan lupa, termasuk bahwa pemain-pemain yang sudah jadi kawannya itu belum digaji, ya itu soal lain. Kecuali jika suporter kita tak pernah beli tiket untuk masuk stadion, dan bikin onar saja kerjanya, ya itu soal lain. Kecuali jika suporter senang-senang saja bahwa kostum klubnya berganti warna menyesuaikan dengan partai politik tertentu, ya itu lagi-lagi soal lain.
Jika pilihan itu yang diambil, mungkin kita tak boleh mengeluh kalau timnas kita tak pernah berjaya, dan sepakbola kita takkan pernah beranjak ke mana-mana. Tetaplah di sini, sampai lampu-lampu stadion mati, sampai orang-orang lain semakin jauh meninggalkan kita.
====
* Penulis adalah redaktur pelaksana detiksport. Akun twitter @sururi10.
(a2s/din)