[Baca bagian pertama: Tentang Salat dan Keyakinan-Keyakinan dalam Hidupnya]
Jam 11 malam lewat sedikit. Saya menunggu di lobi hotel yang sebagian lampunya mulai dimatikan. Wide, manajer Kurniawan, lebih dulu menemui saya. "Sebentar Si Kurus turun. Baru abis mandi," katanya.
Tak lama Kurniawan turun. Terlihat lebih segar, berkaus putih celana pendek. Tetap santai. Kami bertiga sudah duduk bareng, berbagi cigaret. Terbayang akan berapa lama obrolan ini akan berlangsung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Laki-laki kelahiran Magelang, Jawa Tengah, ini merintis karier sepakbola di diklat Salatiga. Waktu itu ia baru duduk di bangku SMP. Dari situ pula ia kemudian mendapat julukan "Si Kurus", merujuk pada bodinya yang kerempeng untuk ukuran pemain bola.
"Dalam karier gue, yang paling susah itu justru pas mau masuk Salatiga. Waktu itu cuma gue yang dari Magelang. Yang diseleksi sekitar 200 orang, yang diambil cuma 8 plus 2 kiper. Alhamdulillah masuk."
Dari sana, katanya, motivasinya mulai berubah. Di kelas 3 dia menerima beasiswa dan dapat uang saku. "Gue pengen kuliah di UGM ((Universitas Gajah Mada), karena dulu banyak pemain yang kuliah di sana."
Cita-cita mengecap bangku perguruan tinggi tak pernah terwujud. Kurniawan semakin terseret dalam sepakbola. Dari Salatiga ia "terseret" ke ibukota, kala direkrut diklat Ragunan. Dari Ragunan, ia "terseret" lagi ke .... Italia!
Dalam usia yang masih sangat muda Kurniawan terpilih dalam seleksi proyek tim PSSI Primavera yang didanai oleh pengusaha penggila bola, Nirwan Bakrie, bersama klub Pelita Jaya. Tim itu dititipkan ke Sampdoria, bermain di level Serie C2 selama dua tahun. Teman-teman Kurniawan antara lain Anang Maruf, Kurnia Sandy, Sumardi, dan lain-lain.
"Setelah di Primavera pikiran gue baru terbuka semua. Gue pengen terus di bola. Gue harus dapat sesuatu dari sepakbola," ungkap pria kelahiran 13 Juli 1976 ini.
Dan Kurniawan mulai mendapatkan sesuatu itu, termasuk perhatian publik Indonesia ketika dia dilibatkan Sampdoria melakoni tur musim panas di tahun 1994, dan Senayan termasuk yang dikunjungi. Kurniawan tampil sebagai starter, bermain bersama Attilio Lombardo, Roberto Mancini, dan lain-lain. Di depan 120 ribu penonton, Kurniawan mencetak gol! Orang pun manggut-manggut. "Oooo, jadi ini toh yang namanya Kurniawan."
"Waktu itu Sampdoria tur ke empat kota di Asia. Setiap habis dari satu tempat, di atas pesawat kami dibagi-bagi uang saku. Waktu gue raba amplopnya, langsung deg-degan. Ngerasa tebel banget. Apalagi pemain inti ya, hehehe...
"Asli gue gak sabar untuk buru-buru tahu isinya. Kalo dibuka di tempat, malu lah sama yang lain. Makanya gue buka di toilet. Gilaaa.. 1.000 dolar, Man! Hahahaa..."

Dengan mata berbinar-binar Kurniawan mengisahkan sebuah cerita lain dari pengalaman turnya bersama Sampdoria. Di Hong Kong, para pemain sempat jalan-jalan dan shopping. Banyak pemain termasuk Mancini, Attilio Lombardo, David Platt, dan Sinisa Mihajlovic, membeli oleh-oleh berupa jam tangan mewah.
"Terus ada teman yang tanya. 'Kurniawan, kamu tidak beli jam juga, buat orangtua kamu?' Gue cuma bisa ketawa. Dalam hati, gile aja beli Rolex. Susah-susah bisa dapet 4.000 dolar, Man... mending gue tabung dulu lah."
Sudah masuk pas tengah malam, belum ada tanda-tanda kami akan menghentikan obrolan. Masih ada cerita dari Swiss yang harus dikisahkan Kurniawan kepada saya.
Seperti diuraikan di bagian pertama tulisan ini, dua tahun menimba ilmu di Italia, termasuk satu tahun di tim Primavera Sampdoria, Kurniawan pun rindu kampung halaman. Ia ingin pulang.
Namun, entah kenapa rencana kepulangannya jadi persoalan. Si Kurus dianggap tidak tahu berterima kasih, diserang oleh media massa, dan juga ditolak masuk tim nasional. Itulah salah satu dari dua yang disebut Kurniawan sebagai momen yang paling bikin dia down dalam kariernya.
Tapi Kurniawan tidak patah arang. Dia tahu, usianya masih sangat muda. Ada jalan panjang di depan yang harus ia lalui. Ditemani pelatih Danurwindo, Kurniawan pun mengikuti trial ke beberapa klub Eropa, dan dia diterima di klub Swiss, FC Luzern.
"Buat gue, Om Danur adalah pelatih Indonesia terbaik. Kalau ada yang bilang dia tidak terlalu berhasil melatih tim-tim Indonesia, gue bilang itu karena otak pemain kita tidak mampu mengikuti ilmu sepakbola Om Danur," cetus pria yang kini beristrinya wanita Malaysia dan tinggal di Serawak.
Di Luzern, jalan Kurniawan juga tidaklah mudah. Ia sering dibekap cedera karena antara lain faktor cuaca, dan lebih banyak menghabiskan waktunya di bangku cadangan. Tapi tekad keras dan ambisi untuk menunjukkan kepada masyarakat Indonesia, bahwa dirinya punya sesuatu, terus ia jaga. Sudah ada mentalitas Eropa yang Kurniawan dapatkan di Italia, dan ia tahu tak boleh gampang menyerah.
Jika dalam hidup selalu ada satu kesempatan saja, satu kesempatan, yang bisa mengubah banyak hal, itu terjadi pada 9 April 1995. Luzern bermain di kandang melawan tim kuat, FC Basel, di pertandingan liga divisi utama.
Pelatih Luzern kala itu, Jean-Paul Brigger, di luar dugaan memasang Kurniawan sebagai starter. Anak yang belum genap 19 tahun, dari negara yang tak banyak dikenal di Eropa, menjadi pemain inti dalam sebuah derby penuh gengsi.
Momen emas itu datang di menit 23. Kurniawan mencetak gol pembuka skor! Ketika ia diganti di menit 87, ia mendapat applause panjang dari penonton. Luzern menang 2-1.
"Rasanya ... gue gak bisa gambarkan dengan kata-kata. Gue nangis di lapangan, saat itu juga.
Begitu ekspresif Kurniawan menuturkan kisah itu. Ada getaran-getaran kebanggaan dalam wajahnya mengenang sebuah momen yang sangat indah itu.
"Habis itu gue langsung telepon teman baik gue di Indonesia, wartawan senior, biar dia mengabarkan ada orang Indonesia yang bisa bikin gol di Eropa," sambungnya, masih dengan nada bersemangat.
Sejak itu, sejak mencetak gol ke gawang Basel itu, Kurniawan merasa keberadaannya mulai lebih dipandang. Nama dia mulai lebih sering diucapkan orang-orang Luzern. Indonesia pun disebut-sebut media setempat.
"Gue selalu punya keyakinan bahwa gue bisa."
Keyakinan. Bukankah itu yang membuat seseorang mampu bertahan?
Wide, sang manajer, lalu teringat sesuatu pula. Dia bilang, belum lama ini dia terlibat pembicaraan dengan seorang warga Swiss. Ketika Wide menyebut Indonesia, orang Swiss itu berkata, "Ya ya. Saya ingat, pernah ada pemain Indonesia bermain di negara kami."
Saya berkeyakinan, Anda pasti senang mendengarnya juga, bukan?

Hanya satu setengah musim Kurniawan bermain di Luzern. Di awal musim berikutnya non-Eropa, yang membuat Kurniawan sulit mendapatkan tempat. Ia pun kembali ke tanah air, melalui jalan panjang yang kelak menjadikannya legenda. Dia tercatat sebagai pencetak gol terbanyak untuk timnas Indonesia (33 gol), setelah Bambang Pamungkas.
"Dulu gue itu pemalu, minderan. Tapi waktu di Italia gue benar-benar belajar tentang profesionalisme. Yang bisa menghargai kita adalah diri kita sendiri," ucap Si Kurus tentang nilai-nilai yang ia bawa pulang setelah berjibaku di benua biru.
"Menjadi pemain profesional adalah bagaimana kita menghargai diri sendiri. Segala sesuatu yang bikin lo hebat, gak perlu diingatkan orang lain. Bagaimana mau profesional kalau untuk makan teratur saja harus diingetin orang lain?
"Untuk jadi pemain bintang, kita harus bersikap sebagai bintang juga. Di dalam lapangan elu dielu-elukan penonton, tapi di mall elu jalan-jalan pakai sendal jepit. Value lo di mana? Maksudnya, tetaplah menyesuaikan diri dengan keadaan. Pemain bola profesional tahu bagaimana menempatkan dirinya di dalam masyarakat. Jangan salah, atlet itu juga role model," tutur Si Kurus.
"Sekali lagi, kita harus punya value. Hargai diri sendiri. Jangan pernah merendahkan diri sendiri. Jika pemain merasa punya kemampuan, tunjukkan siapa kita. Kalau klub menunggak gaji kita berbulan-bulan, lalu mereka nego untuk membayar sebagian saja, di mana value kita, kawan?"
Jam 1 dinihari. Lampu lobi hotel sudah dimatikan. Tiba-tiba datang dua pemain muda Persiram Rajaampat -- habis bertanding melawan Persipura sehari sebelumnya -- bergabung dengan kami. Sambil tersipu-sipu mereka menyalami Kurniawan. Mereka tampak kagum. "Kita ikut ngobrol-ngobrol ya, Bang."
Dan obrolan kami masih berlanjut, tentang seorang pemain senior yang menularkan pengalaman-pengalamannya, tentang seorang kakak yang memberi wejangan kepada adik-adiknya, tentang bagaimana seorang pemain profesional harus berani bersikap dan menghargai diri sendiri.
[Bersambung]
====
* Penulis adalah redaktur pelaksana detiksport. Akun twitter @sururi10.
* Baca juga bagian pertama: Tentang Salat dan Keyakinan-Keyakinan dalam Hidupnya
(a2s/krs)











































