Insomnia Eusebio Di Francesco, Impian AS Roma

Insomnia Eusebio Di Francesco, Impian AS Roma

Novitasari Dewi Salusi - Sepakbola
Jumat, 13 Apr 2018 17:59 WIB
Eusebio Di Francesco membawa AS Roma menjungkalkan Barcelona (REUTERS/Albert Gea)
Jakarta - Seorang manajer klub Inggris pernah berkata bahwa pekerjaan sebagai pelatih sepakbola itu 24 jam. Meski tak sedang di atas lapangan hijau, pelatih dituntut untuk terus memutar otak memikirkan apa langkah yang harus diambil berikutnya.

Malam itu, tidur Eusebio Di Francesco tak nyenyak. Ada sesuatu yang mengusik pikiran pelatih berkacamata itu. Apalagi kalau bukan tugas untuk membalikkan keadaan atas Barcelona di perempatfinal Liga Champions.

Misi yang harus dihadapi pun tak tanggung-tanggung: mengejar defisit tiga gol melawan Barcelona yang belum tersentuh kekalahan plus diperkuat salah satu pemain yang kerap menghadirkan keajaiban di atas lapangan, Lionel Messi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk menggambarkan beratnya tugas Roma, jumlah gol yang harus mereka ciptakan dalam satu pertandingan itu sama banyaknya dengan jumlah gol yang bersarang di gawang Barca dalam sembilan pertandingan yang sebelumnya sudah dimainkan Barca di Liga Champions musim ini.



Maka Di Francesco pun bangkit dari tempat tidurnya. Pukul lima pagi di hari Minggu, beberapa jam setelah Roma dikalahkan Fiorentina di kandang sendiri, ia mengambil alat tulisnya. Bukan untuk menuliskan rapalan doa dan harapan untuk kemudian dibakar, melainkan menggambar sebuah skema.

***

Melihat beratnya tugas yang harus dihadapi di Liga Champions, wajar jika hawa pesimisme menyelimuti sebagian suporter Roma. Apalagi Roma musim ini masih dihinggapi penyakit lama yang tak kunjung sembuh bernama inkonsistensi. Melihat tipisnya harapan di kompetisi tertinggi antarklub Eropa itu, sepertinya lebih rasional apabila Roma fokus ke Serie A, mengamankan posisi empat besar, dan merebut tiket ke Liga Champions musim depan.

Terlebih Roma sudah ditunggu pertandingan yang tak kalah krusial setelah melawan Barca yaitu Derby della Capitale melawan Lazio. Laga derby tersebut tak cuma memperebutkan gengsi ibu kota, melainkan juga tiket Liga Champions. Ya, Lazio dan Roma saat ini sama-sama punya 60 poin dan berturut-turut ada di peringkat tiga dan empat klasemen Serie A.

Mengingat laga derby tersebut, pilihan yang (terasa) rasional untuk Di Francesco adalah mengistirahatkan pilar-pilar utamanya saat melawan Barca dan turun dengan kekuatan penuh melawan Lazio. Namun sepertinya hari itu Di Francesco tak menemukan kata rasional dalam kamusnya.



Hari Senin, sehari setelah menggambar skema itu, Di Francesco menjalani sesi konferensi pers seperti yang wajib dilakukan jelang pertandingan. Salah satu pertanyaan dari jurnalis, tentu saja, adalah apakah ia yakin Roma bisa membalikkan keadaan.

"Saya pikir kami harus memilih line-up terkuat besok. Itu penting dan kami harus percaya. Ayo tampil dengan hati dan gairah. Kami harus menghormati lambang klub kami, jadi kami akan memberi segalanya dan kami pantas mendapat kesempatan untuk meraih sesuatu yang besar," jawab Di Francesco.

"Kenapa tidak percaya sampai akhir dan berharap kami bisa meraih sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya? Kami tertinggal tiga gol, jadi ini benar-benar tugas yang berat, tapi kami punya tugas untuk mencoba. Jadi, tim terbaik kami akan turun besok dan kemudian kami akan memikirkan derby."

Insomnia Eusebio Di Francesco, Impian AS RomaAS Roma menjungkirbalikkan prediksi saat mendepak Barcelona dari Liga Champions (Catherine Ivill/Getty Images)


Pernyataan Di Francesco sekilas seperti ucapan yang klise. Pelatih tentu merasa optimistis dengan timnya sendiri.

Namun sepertinya Di Francesco memang bukan seseorang yang asal bicara. Ia rupanya sudah benar-benar menyiapkan rencana permainan dengan matang. Kita sebagai penonton tak tahu kalau mantan pelatih Sassuolo itu sudah menyusun perencanaan untuk meredam Barca.

Di Francesco tak punya banyak waktu untuk menerapkan skema yang ia rencanakan ke dalam sesi latihan. Sejak hari ia mendapat gagasan, Di Francesco cuma punya dua hari untuk melatih skema yang ia rancang pada pukul lima pagi itu dan menjejalkannya ke kepala Daniele De Rossi dkk.

***

Selasa, 10 April, di hadapan puluhan ribu suporter di Stadion Olimpico, Di Francesco menyingkirkan formasi 4-3-3 yang biasa ia pakai. Pelatih berusia 48 tahun itu memilih untuk memakai skema 3-4-1-2. Itu adalah formasi yang pernah mengantar Roma meraih scudetto pada 2000/2001.

Alisson Becker tentu masih menjadi andalan untuk mengawal gawang. Di lini pertahanan, Kostas Manolas dan Federico Fazio ditemani oleh Juan Jesus. Di lini tengah, Kevin Strootman dan Daniele De Rossi diapit Alessandro Florenzi di sisi kanan dan Aleksandar Kolarov di sisi kiri.

Di Francesco dengan berani memberikan debut Liga Champions kepada Patrik Schick. Striker muda Republik Ceko itu diduetkan dengan Edin Dzeko serta dengan disokong oleh Radja Nainggolan.



Sejak kick-off, Roma tampil agresif. Mereka dengan berani memberi tekanan untuk merusak aliran permainan Barca. Garis tinggi yang diterapkan Roma juga berarti meninggalkan tiga pemain belakang untuk menghadapi Luis Suarez dan Messi.

Mendengar kalimat 'Juan Jesus menghadapi Messi', tentu ada citra tertentu yang akan muncul dalam bayangan Anda. Kenyataannya, Messi mampu diredam oleh Juan Jesus - bek yang kerap jadi sasaran bully suporter dalam dua musim terakhir. Messi sendiri malam itu seperti tenggelam di Olimpico.

Barca benar-benar dibuat tak nyaman oleh Roma. Tim arahan Ernesto Valverde itu bahkan akhirnya memilih memainkan bola-bola panjang. Barca tampak lebih memilih untuk mempertahankan keunggulan 4-1 yang sudah mereka raih ketimbang memainkan permainannya dan mengincar hasil.

'Ketakutan' Barca itu pun mampu dimanfaatkan oleh Roma. Dzeko membuka harapan dengan mencetak gol cepat di menit keenam. Rasa frustrasi Barca kemudian juga terwujud dalam pelanggaran Gerard Pique terhadap Dzeko yang berbuah penalti. De Rossi sukses mengeksekusinya dan semakin membuka harapan Roma.

Kisah heroik ini tak berhenti sampai di situ. Giliran Kostas Manolas - yang juga mencetak gol bunuh diri di Camp Nou - menjebol gawang Marc Andre ter Stegen lewat sundulan usai memanfaatkan sebuah sepak pojok.

Olimpico pun bergemuruh.

Roma di jalur menuju comeback sensasional. Hampir semua pemain merayakan gol bersama Manolas yang berlari kesetanan ke pinggir lapangan. Sementara itu, apa yang dilakukan Di Francesco? Ia mencoba mencegah para pemainnya yang ada di bangku cadangan agar tak ikut berhamburan. Ia tahu misinya belum tuntas.

Insomnia Eusebio Di Francesco, Impian AS RomaFoto: Tony Gentile/Reuters


Pada akhirnya, Roma mampu mempertahankan keunggulan 3-0. Malam itu, Roma dan Di Francesco mendapat imbalan atas keberaniannya dalam bermimpi.

Setelah wasit meniup peluit panjang, semua pemain dan staf berlari ke lapangan. Sementara itu, Di Francesco langsung berjalan menuju lorong ruang ganti.

***

Di pintu ruang ganti Roma, Di Francesco sudah menunggu. Ia memeluk satu per satu pemainnya dan staf Roma sambil memasang senyum lebar. Misinya sukses. Insomnia Di Francesco pada malam itu menjaga mimpi Roma.

"Saya tidak bisa tidur, plus saya sedikit gila. Jadi saya bangun dari tempat tidur dan menggambar kemungkinan skema untuk pertandingan melawan Barcelona, tampilan berbeda yang akan membuat mereka berada di bawah tekanan dalam cara yang berbeda. Dan inilah yang muncul di kepala saya. Andai saja ini tidak berhasil, Anda mungkin sudah membunuh saya," kata Di Francesco soal formasinya itu.

Di Francesco memang layak mendapat pujian untuk keberaniannya. Para pemain Roma juga tahu ke mana kredit harus dilayangkan atas kemenangan bersejarah itu.

Barcelona dibuat tak berdaya di OlimpicoBarcelona dibuat tak berdaya di Olimpico Foto: Alberto Lingria/Reuters


"Jalan yang panjang dari kekalahan itu (1-4) menuju kemenangan 3-0 dan tidak kebobolan di kandang. Tapi kredit untuk pelatih. Ia menemukan formasi ini dua hari lalu, menjejalkannya terus-menerus ke kepala kami, dan itu menghasilkan keajaiban," kata sang kapten De Rossi.

Sudah sampai semifinal, Di Francesco tak mau berhenti. Ia mau Roma terus percaya. "Percaya bisa sampai ke final? Kenapa tidak? Itu harus jadi target kami," ucapnya.

Apapun yang terjadi di semifinal nanti, apa yang dilakukan Roma memang patut diapresiasi dan dirayakan. Suara-suara sumbang seperti 'belum juara' atau 'paling nanti di semifinal juga dibantai' harus mengingat bahwa Roma bukan Real Madrid atau Bayern Munich yang langganan ke semifinal Liga Champions. Roma menunggu 34 tahun untuk momen ini.

Malam 10 April 2018 pun akan melekat dalam memori para pemain, staf, sampai suporter Roma. Momen-momen seperti inilah yang akan abadi dan bisa jadi pengingat sekaligus penguat ketika momen-momen sulit kembali.

Sementara itu, Di Francesco mungkin akan menunggu malam-malam insomnianya berikutnya.


======

Penulis adalah reporter detiksport. Beredar di dunia maya melalui akun @ndsalusi (nds/din)

Hide Ads