Timnas Jepang akan kembali bermain di Doha, Qatar, setelah peristiwa kelam 29 tahun lalu. Tempat ini menyimpan kenangan buruk buat sepakbola Nippon.
Sakka Nihon Daihyo, biasa disingkat Daihyo, atau Timnas Jepang, pernah merajut mimpi lolos ke Piala Dunia untuk pertama kalinya di Doha pada 1993. Dalam berbagai kesempatan sebelumnya, Jepang selalu gagal lolos ke Piala Dunia sejak pertama kali ikut kualifikasi untuk edisi 1954.
Setelah berulang kali mencoba, harapan untuk lolos ke pentas dunia nampaknya bakal terwujud pada 1993. Jepang menjadi juara Grup F babak pertama Kualifikasi Piala Dunia 1994 Zona Asia, dimana grup itu juga dihuni Uni Emirat Arab (UEA), Thailand, Bangladesh, dan Sri Langka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian para juara grup ini (Grup A-F) yang berjumlah enam tim, termasuk Jepang, melaju ke babak final round yang semuanya digelar di Doha, dengan sistem single round-robin. Dengan begitu, enam tim ini masing-masing memainkan lima pertandingan dalam babak final round di venue netral.
Karena tiket buat wakil Asia cuma dua, maka hanya juara grup dan runner-up yang akan melaju ke Piala Dunia 1994 dari babak final round itu. Jalan Jepang pun tak mulus, mereka cuma meraih dua kali kemenangan, sekali imbang, dan sekali kalah dalam empat laga dengan raihan lima (5) poin, yang kala itu penilaian setiap kemenangan baru dihargai dua poin.
Tapi hasil itu sudah cukup membuat Jepang menjaga peluang lolos ke Piala Dunia karena punya poin yang sama dengan Arab Saudi (5 poin), Irak (4 poin), Iran (4 poin), dan Korea Selatan (4 poin). Sebab persaingannya memang ketat, sebanyak lima tim (kecuali Korea Utara, baru 2 poin), punya peluang lolos ke Piala Dunia 1994.
Maka laga terakhir melawan Irak, di Al-Ahli Stadium (sekarang menjadi Hamad bin Khalifa Stadium), di Doha, pada babak final round akan menjadi penentuan buat Jepang. Dengan kondisi harus menghindari kejaran dari para pesaingnya, Jepang harus meraih kemenangan untuk mendapatkan garansi lolos ke Piala Dunia.
Hari penentuan tiba pada 28 Oktober 1993. Kazuyoshi Miura alias King Kazu sempat memberi harapan dengan membawa Jepang unggul 1-0 saat laga baru berjalan lima menit.
Sang lawan sempat menyamakan kedudukan menjadi 1-1 lewat gol Ahmed Radhi yang memanfaatkan kelemahan koordinasi lini belakang Jepang pada menit ke-55. Jepang kembali unggul lewat gol Masashi Nakayama pada menit ke-69 yang mengubah skor menjadi 2-1.
Kira-kira tinggal 21 menit waktu yang dibutuhkan Jepang untuk mempertahankan keunggulan demi lolos ke Piala Dunia untuk pertama kalinya. Tim asuhan Hans Ooft pun nampaknya akan mewujudkan hal itu dengan kemenangan 2-1 atas Irak.
Baca juga: Jerman Vs Jepang: Nationalelf Tanpa Sane |
Saat waktu normal 90 menit telah berlalu, skor 2-1 pun masih bertahan. Sampai akhirnya Jaffar Omran mencetak gol penyeimbang lewat sundulannya pada injury time yang mengubah skor menjadi 2-2.
Sontak gol tersebut membuat para pemain Jepang terkulai lemas, beberapa langsung tersungkur di atas lapangan karena kecewa dengan yang terjadi. Skor 2-2 itu akhirnya bertahan sampai usai, Jepang mengakhiri final round dengan enam (6) poin dengan selisih gol +3.
![]() |
Doha no Higeki
Bagi Jepang, gol Jaffar Omran mengubur impian mereka ke Piala Dunia yang sudah di depan mata. Padahal tinggal mempertahankan keunggulan 2-1, tapi akhirnya impian itu sirna lantaran kebobolan di menit akhir.
Kegagalan itu tak lepas dari hasil yang diraih dua pesaingnya yakni Arab Saudi dan Korsel. Arab Saudi menang 4-3 atas Iran di laga lainnya di waktu yang sama.
Kemenangan itu membuat Arab Saudi meraih tujuh (7) poin sekaligus menggusur Jepang dari posisi pemuncak klasemen. Sementara Korsel menang dalam derby Korea atas Korea Utara dengan skor 3-0.
Korsel pun menempati peringkat kedua dengan raihan enam (6) poin. Tapi Hong Myung-Bo unggul selisih gol (+5) atas Jepang (+3), sehingga berhak untuk posisi runner-up final round, sekaligus menemani Arab Saudi mewakili Asia di Piala Dunia 1994. Sementara Jepang yang kalah selisih gol dari Korsel harus puas di tempat ketiga.
Publik sepakbola Jepang menamai kegagalan itu dengan sebutan Doha no higeki (ドーハの悲劇). Sementara pemberitaan media-media berbahasa Inggris menerjemahkan 'Doha no higeki' menjadi Agony of Doha atau Agoni di Doha jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
Doha no higeki terus melekat dalam ingatan publik sepakbola Jepang hingga saat ini. Maklum, sepakbola saat itu mulai digemari di Negeri Matahari Terbit dan menyaingi popularitas bisbol yang lebih dulu mendapat tempat di hati masyarakat.
Kehadiran J.League pada 1993 sebagai kompetisi profesional yang menggantikan kompetisi amatir JSL (Japan Soccer League) turut membantu popularitas sepakbola di sana. Buktinya, laga pembuka J.League 1993 antara Verdy Kawasaki (kini bernama Tokyo Verdy) Vs Yokohama Marinos (kini bernama Yokohama F. Marinos) di Kokuritsu atau Stadion Nasional Tokyo, penuh sesak dihadiri penonton yang antusias menyambut kehadiran kompetisi sepakbola profesional.
Hal itu ditambah juga dengan kehadiran sosok-sosok seperti King Kazu, Ruy Ramos, Masashi Nakayama, hingga Masami Ihara yang memperkuat Daihyo. Pemain-pemain tersebut bisa dibilang yang terbaik di posisinya masing-masing jika merujuk ke musim pertama J.League, sehingga mereka memang dinilai pantas untuk mengisi skuad Timnas Jepang.
Kebangkitan sepakbola Jepang akan terasa indah jika dilengkapi dengan lolos ke Piala Dunia untuk pertama kalinya. Tapi impian tersebut harus dikubur dalam-dalam.
[Halaman Selanjutnya: Kebangkitan Jepang di Piala Dunia]