Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyebut pemindahan venue final Liga Champions dari Turki ke Porto, Portugal bersifat politis. Ia menyebut keadaan tiba-tiba berubah saat dua wakil Inggris, Manchester City dan Chelsea lolos ke final.
Pemindahan venue laga final disebut-sebut terjadi akibat keputusan Turki menginvasi etnis Kurdi di perbatasan Syria. Sikap politik Turki kemudian diikuti oleh munculnya petisi untuk membatalkan final Liga Champions 2020/2021 di Istanbul.
Menguatnya penolakan dari petisi yang beredar, membuat UEFA bereaksi. Melalui wakil presidennya, Michele Uva, induk organisasi sepakbola Eropa tersebut mengultimatum Turki agar mengubah sikap politiknya jika ingin tetap menjadi penyelenggaraan final Liga Champions.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasan keamanan menjadi pertimbangan utama memindahkan venue final Liga Champions dari Istanbul ke Portugal. Pihak UEFA mengaku harus melakukan sejumlah upaya pencegahan agar penyelenggaraan babak pamungkas tersebut berjalan aman.
UEFA kemudian menggelar pertemuan khusus bersama pihak Turki dan Inggris. Disebutkan, seluruh pihak dalam forum tersebut tidak mencapai kata mufakat.
"Saya yakin mereka mengambil keputusan politik tentang Formula 1 dan UEFA. Saya menyebutnya keputusan politik karena beberapa tahun lalu, kami diberi tahu bahwa final akan dimainkan di Turki, tetapi keadaan tiba-tiba berubah ketika dua klub Inggris lolos ke final", ujar Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dalam rekaman yang dimiliki Reuters, Rabu (19/5/2021).
Erdogan memberi sinyalemen adanya intervensi pemerintah Inggris dalam penentuan venue final Liga Champions. Sementara, pemimpin tertinggi Turki tersebut mengaku tidak bisa berkomunikasi langsung dengan Perdana Menteri Inggris.
"Faktanya, kami tidak bisa menghubungi Perdana Menteri Inggris, sementara dia memberikan banyak tekanan pada masalah ini", pungkas Erdogan.
(/)