Peristiwa 16 tahun silam terlanjur menjadi salah satu catatan terburuk dalam sejarah sepakbola Indonesia, dan Mursyid Effendi ada di dalamnya sebagai pelaku gol bunuh diri di turnamen Piala Tiger 1998.
Kala itu, saat Indonesia bertanding melawan Thailand di fase grup, Mursyid yang berposisi bek dengan sengaja menceploskan bola gawang timnya sendiri di menit-menit terakhir, yang membuat laga berkesudahan 3-2 untuk Thailand. Diyakini kedua tim tidak berniat menang demi menghindari sebagai juara grup, karena di semifinal akan bertemu tim kuat, Vietnam.
Ironisnya, Indonesia pun tak bisa mengalahkan Singapura di semifinal. Bersama Thailand, yang juga ditekuk Vietnam, keduanya tersingkir sebelum ke final.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bertahun-tahun kemudian, dari banyak kisah yang diangkat media massa, Mursyid mengalami kegelisahan akibat skandal tersebut. Dia merasa jadi korban dan dikorbankan oleh pihak-pihak tertentu. Ketika peristiwa itu diungkit, seakan-akan pelaku tunggal adalah dirinya.
Ketika pertandingan sepakbola gajah terjadi di kompetisi Divisi Utama beberapa hari lalu, antara PSS Sleman melawan PSIS Semarang, di mana 5 gol tercipta di menit-menit terakhir dan semuanya adalah gol bunuh diri (!), Mursyid terkenang kembali dengan apa yang pernah ia alami dan kemudian dampaknya dirasakan bertahun-tahun lamanya.
Kepada detiksport bapak tiga anak ini mengungkapkan sebagian cerita masa lalunya itu, dikaitkan dengan skandal PSS-PSIS saat ini. Berikut penuturan pria 42 tahun yang kini melatih Mitra Surabaya itu pada Selasa (28/10/2014) petang WIB:
"Yang terlibat bukan hanya pelatih dan pemain. Ada dalang di balik itu semua. Bukan hanya di balik pertandingan PSS dan PSIS, tapi siapa oknum yang ada di belakang Divisi Utama ini yang perlu dicari.
"Yang bekerja di lapangan memang pelatih dan pemain. Mereka yang kepanasan, kehujanan. Jangan lagi pemain dan pelatih jadi korban. Wasit juga cuma ikut perintah. PSSI tidah salah, adalah oknumnya yang bermain-main.
"Menilik pengalaman saya sendiri di Vietnam waktu itu, semua komponen--ya manajer, pelatih, dan pemain--satu suara, setuju. Tak lama setelah pertandingan mereka masih memberikan dukungan, siap bertanggung jawab. Makanya psikologis (saya) masih oke saja usai pertandingan itu. Bahkan sempat ada permintaan maaf kepada keluarga setelah kembali ke tanah air. Tapi jarak sebulan, semua cuci tangan. Pelaku yang akan menanggung cacian dan hujatan seumur hidup.
"Seperti saya ini, pedih setiap kali mengingat hukuman itu. Lebih menyakitkan karena saya tak pernah sekalipun menerima surat yang menyatakan nama saya sebagai terhukum. Entah kepada siapa PSSI dan FIFA menyerahkan surat itu. Apalagi ketika anak saya masih selalu mendapatkan pertanyaan tentang gol bunuh diri bapaknya?
"Jangan sampai pemain dan pelatih dikorbankan. Coba ditelusuri oknum itu. Siapa aktor di belakang Divisi Utama. Juga siapa saja di balik tim-tim yang lolos ke babak ini. Adakah kesamaaan organisasi dan partai politik? Runut setiap pertandingan yang sudah dijalani tim-tim yang sampai di babak ini. Ada data fakta di lapangan, penilaian bisa lebih fair. Memang dalam pertandingan sulit untuk100 persen fair, tapi kalau kurang dari 75 persen itu ... (Mursyid tertawa).
"PSSI dalam hal ini, dan Komisi Disiplin harus tegas! Lagi-lagi jangan sampai para pesepakbola yang rata-rata dari kalangan tak mampu dan memilih sepakbola sebagai jalur mengubah hidup, justru dimatikan oleh oknum sepakbola."
(fem/a2s)