Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia sesungguhnya dianugrahi banyak talenta-talenta sepakbola di usia sangat belia. Tapi mereka jadi terbuang sia-sia karena pembinaan yang ala kadarnya.
"Kalau diibaratkan seperti yang sedang jadi tren sekarang ini, batu akik, itu di Indonesia sebenarnya banyak batu. Begitu juga dengan talenta. Tinggal bagaimana menggosoknya, supaya batu itu jadi indah. Jadi bagus kalau dipakai," cetus Kurniawan Dwi Yulianto.
Kurniawan melontarkan pernyataan tersebut saat menjadi scout dalam rangkaian kegiatan CLEAR Ayo! Indonesia Bisa Academy di Bandung. Bertugas menjaring 11 pemain terbaik dari seluruh Indonesia bersama coach Zaenal Abidin, Kurniawan melihat sendiri bagaimana anak-anak Indonesia sebenarnya punya potensi besar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Contoh, di Aceh hal-hal kecil seperti stretching harusnya stretching dinamis tapi ini malah pakai streching statis. Saya juga melihat setelah pertandingan mereka tidak ada yang melakukan cooling down. Itu 'kan penting," lanjut mantan striker Indonesia itu.
Kesalahan-kesalahan mendasar itu disebut Kurniawan bukan dibebankan pada pelatih. Di pelosok daerah para pelatih SSB belum punya pengetahuan tinggi soal membina pemain muda, dan karena itulah harus ada bantuan yang diberikan pada mereka.
"Talenta luar biasa tapi membina dan me-maintenance tidak benar. Tidak bisa disalahkan pelatihnya juga, pengetahuan mereka kan terbatas. Artinya, ya dari mulai pusatnya. Padahal ini 'kan grass root (anak-anak) elemen paling penting. Mereka harusnya dapat penyeragaman, edukasi pelatih, bahwa pembinaan yang benar caranya seperti ini lho, metodenya seperti ini lho, modulnya seperti ini lho."
"Rata-rata Bagus tapi gak cukup di situ doang, skill doang nggak cukup. Tapi harus diarahkan. Sayang banget itu 'kan. Kita punya batu giok bongkahan, tapi kalau tidak diolah jadinya buat apa?" tuntas dia.
(din/roz)











































