Edy Rahmayadi terpilih menjadi Ketum PSSI di Kongres yang digelar di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta setahun yang lalu. Dia meraih 76 suara dan mengalahkan kandidat lain, yaitu Moeldoko yang mengantongi 23 suara.
Pada awalnya sosok Edy dinilai tepat memimpin PSSI. Dengan latar belakang anggota TNI, dia dianggap memiliki sikap tegas, disiplin dan disegani.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kompetisi musim ini sudah cacat dari awal karena banyaknya pelanggaran regulasi yang dilakukan baik itu oleh operator kompetisi, PT Liga Indonesia Baru (LIB), maupun peserta. Kompetisi musim ini menjadi antiklimaks karena buruknya penegakkan regulasi," ujar Akmal melalui rilis yang diterima detiksport.
Bahkan yang terbaru adalah masalah yang terjadi di kompetisi Liga 1 terkait munculnya kasus Mitra Kukar yang memainkan Marquee Player Mamadou Sissoko yang dihukum larangan dua kali tampil oleh Komisi Disiplin (Komdis PSSI) saat melawan Bhayangkara FC.
Kasus ini disebutnya tidak terselesaikan dengan baik bahkan terkesan saling lempar tanggung jawab sehingga akhir kompetisi yang harusnya menjadi klimaks malah antiklimaks.
"SOS meminta Pak Edy fokus membenahi masalah PSSI karena saat ini harus diakui hanya beliau yang disegani oleh stakeholder sepakbola nasional. Selebihnya adalah sosok-sosok lama yang bukan menyelesaikan masalah malah justru membuat masalah karena konflik kepentingan."
"Setahun pertama Pak Edy sudah bisa melihat dengan kasat mata masalah sepakbola yang ada. Bahkan, beberapa kali sempat melontarkannya dengan sindiran. Kini, waktunya untuk fokus membenahi semuanya. Punish and reward harus dilakukan untuk perbaikan sepakbola,"
Namun demikian, Akmal menilai Edy juga membuat sejumlah perubahan positif, seperti soal kompetisi dan pembinaan usia muda yang mulai berjalan.
Tim nasional dari senior sampai kelompok umur cukup tertata dengan baik jadwal pelatnas dan agenda uji cobanya. Namun target juara di SEA Games 2017 memang gagal tercapai.
"Jangan sampai publik sepakbola mencap PSSI hanya ganti casing saja, tapi mesin soft ware-nya sudah usang. Perubahan harus benar-benar dilakukan dengan professional dan bermartabat bila sepakbola Indonesia ingin berprestasi dan berkembang pesat," katanya menjelaskan. (ads/din)