Dalam beberapa bulan terakhir, sepakbola Indonesia kembali terungkap masih kotor. Pengaturan skor masih menggeliat di Liga 3 dan Liga 2.
Kasus itu bahkan menyeret beberapa petinggi PSSI seperti Johar Lin Eng (Asprov Jateng), Dwi Irianto (anggota Komdis), wasit Nurul Safarid, mantan anggota Komisi Wasit Priyanto, mantan wasit futsal Anik Yuni Kartikasari, dan terakhir pengelola klub PS Mojokerto Putra (PSMP) Vigit Waluyo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akmal Marhali, dari kelompok pegiat sepakbola Save Our Soccer (SOS), menilai maraknya match fixing bisa jadi disebabkan karena masih banyak yang merangkap jabatan di sepakbola Indonesia. Dia mencontohkan Vigit Waluyo, yang mengelola Aceh United dan PSMP sekaligus.
"Ya ada pengaruhnya juga, kan di FIFA juga dilarang misalnya coownership terkait kepemilikan ganda. Aturan-aturan itu banyak dilanggar oleh PSSI. Orang-orang bola kita, orang-orang di PSSI maupun yang selama ini punya pengaruh kan pegang klub banyak banget sehingga bisa menjadi sekoci yang bisa juga jadi alat untuk pengaturan skor," kata Akmal saat dihubungi detikSport, Rabu (16/1/2019).
"Sebagai contoh kan Aceh United dan PSMP dimiliki orang yang sama, Vigit Waluyo, yang pada gilirannya bisa mengatur segalanya. Hal-hal semacam ini kan di FIFA dilarang, tapi di PSSI diabaikan. Kenapa? Karena kongkalikong, tahu sama tahu, sesama orang yang ada di PSSI ataupun orang yang selama ini berpengaruh di sepakbola Indonesia. Orang-orang PSSI jadi semuanya bukan untuk mejaga sekuritas atau keamanan sepakbola, tapi sekuritas kepemilikan kelompok bisnis mereka saja," sambungnya.
Disinggung apakah masalah rangkap jabatan ini akan dibahas di Kongres Tahunan PSSI di Bali pada 20 Januari 2019, Akmal menyebut sebaiknya PSSI bisa membenahi internalnya dulu.
"Yang pertama PSSI harus reformasi diinternal. Banyak pengurus yang gak aktif atau cuma nama tapi gak kerja. Sebagai contoh Sport Intelligence, harusnya kan bekerja keras memerangi match fixing. Kemudian komite Fair Play dan tanggung jawab sosial. Dari bentuk kejahatannya, match fixing ini kejahatan sosial, hampir sama dengan pembunuhan dan korupsi, tapi dibiarkan," jelasnya.
"Artinya perlu ada orang-orang baru yang berani mengatakan kita harus perang terhadap kejahatan sepakbola. Ini penting untuk mengembalikan trust PSSI yang semakin turun di mata masyarakat. Kalau lihat Satgas [Anti Mafia Bola] bekerja luar biasa tapi PSSI-nya diam saja. Diam saja bisa dua kemungkinan, diam gak tahu untuk melakukan sesuatu, atau diam karena ga enak yang terlibat orang-orang dalam juga," kata Akmal lagi.
(cas/cas)