Simon tentang Kontrak di Timnas dan Indonesia Raya Membuatnya Emosional

Simon tentang Kontrak di Timnas dan Indonesia Raya Membuatnya Emosional

Femi Diah - Sepakbola
Selasa, 08 Okt 2019 18:29 WIB
Foto: Rifkianto Nugroho/detikSport
Jakarta - Simon McMenemy belum genap setahun menangani Timnas Indonesia. Dia membeberkan awal mula kontrak dengan PSSI dan kedekatannya dengan Surabaya.

Simon diikat PSSI untuk menjadi pelatih Timnas Indonesia sejak pertengahan Januari 2019. Dia ditugaskan untuk mendampingi Skuat Garuda dalam dua ajang penting: Kualifikasi Piala Dunia 2022 dan Piala AFF 2020. Selain itu, Simon diminta untuk mengantarkan Timnas Indonesia masuk 120 besar.

Tujuh bulan menangani Timnas, Simon merasakan tekanan besar dari suporter. Dia diminta untuk meninggalkan posisinya sebagai pelatih setelah Timnas memetik dua kekalahan dari Kualifikasi Piala Dunia, kandas di tangan Malaysia dan Thailand.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kini, Simon bersama Timnas menatap laga ketiga, versus Uni Emirat Arab (UEA). detikSport berkesempatan mewawancarai Simon sebelum Timnas terbang ke Dubai.

Simon tentang Kontrak dengan PSSI dan Indonesia Raya Membuatnya EmosionalFoto: Agung Pambudhy/detikcom


Berikut petikan wawancara detikSport dengan Simon:

detikSport (d): Simon, kalau kembali ke belakang, bisa diceritakan proses perekrutan PSSI mencari pelatih Timnas?

Simon McMenemy (S): Banyak rumor waktu itu, setelah saya sukses dengan Bhayangkara FC. Saya diminta mengikuti rapat dan presentasi oleh PSSI untuk masa kontrak dua tahun Presentasi tentang target dan strategi. Saya beruntung menjadi juara Liga, sukses dengan Bhayangkara. Waktu berlalu, PSSI mereka membutuhkan pelatih.

d: Waktu itu, apa yang membuat Simon bersedia menerima lamaran PSSI?

S: Saya ingin membuat perbedaan, membuat perbedaan positif untuk sepakbola Indonesia. Banyak hal menunjukkan banyak yang harus dilakukan di lapangan. Seperti Greg Nwokolo, dia cedera-enggak cedera. Saya profesional, Greg profesional. Saya tetap harus menyiapkan Timnas, kami harus makin profesional. Ini yang tidak dilihat suporter, namun kami tetap harus meningkatkan profesionalitas dalam tim.

d: Simon membutuhkan waktu berapa lama untuk membuat perbedaan yang diinginkan?

S: Tergantung siapa yang menilai perbedaan itu. Kalau Anda melihat perbedaan dengan indikator memenangi pertandingan, so saya enggak bisa menjawab pertanyaan itu. Kalau dari sisi staf saya, yang tahu apa yang kami lakukan, mereka tahu rencana, mereka tahu strategi. Tapi kalau suporter, saya enggak tahu.

d: Bagaimana rasanya setelah resmi dikontrak sebagai pelatih Timnas?

S: Rasanya masih sama, bangga, respek terhadap negara ini. Saya rasa saya memahami kultur dengan baik. Ada beberapa hal yang masih saya belum pahami, utamanya soal suporter. Tapi tetap perasaannya masih sama, saat berdiri di SUGBK dan Indonesia Raya dikumandangkan saya tetap emosional. Anak saya lahir di negara ini, dia senang nasi goreng dan senang lari-larian tidak pakai sepatu, jadi dia setengah Indonesia. Saya memiliki perasaan kuat terhadap negara ini dan respek dan tampil bersama negara ini merupakan kehormatan besar untuk saya.

d: Setelah menjadi pelatih Timnas apakah itu menjadi pekerjaan yang sulit?

S: Tidak sulit. Itu sangat sulit, karena kalau mudah, kita sudah juara Piala AFF, kita sudah lolos Kualifikasi Piala Dunia, kita sudah... Ini sulit sekali. Banyak hal yang harus dilakukan, harus diseimbangkan, banyak tantangan.

d: Menyangka enggak sih tekanan suporter terhadap Timnas akan sebesar itu, apalagi saat menghadapi Malaysia?

S: Kita tidak bisa komplain terhadap suporter. Kamu enggak bisa mengeluhkan masalah (Timnas) masa lalu. Setelah teken kontrak, saya tidak bisa bilang,"ini enggak bisa. itu enggak bisa". Saya harus mencoba yang lebih baik, mencoba hal lain, lebih baik, menciptakan role model, itulah kenapa kami memilih pemain ini, bukan yang itu, kenapa Manahati tak main lawan Yordania, Rizky Pora tidak diikutkan di Timnas. Karena, Timnas harus yang terbaik.


d: Apa pendapat Simon dengan kalimat hidup pria itu dimulai setelah usia 40 tahun?

S: Saya enggak setuju. Sulit untuk membandingkan hidup saya dengan hidup orang lain. Putra saya lahir di Surabaya, so dia Bhayangkara FC. Tiga bulan lalu, di sekolahnya, di hari pertama, gurunya meminta tanda tangan. Dari situ saya menilai hidup itu tidak bisa diprediksi. Tak seorang pun berharap saya di Bhayangkara. Tapi, saya mendapatkan kesempatan itu dan kadang kala itu terjadi, saya diberkati, terima kasih terhadap negara-negara di mana saya bekerja.

d: Andai bisa kembali ke usia 20-an apa yang akan dilakukan Simon?

S: Saya ingin menjadi pemain sepakbola profesional. Bukan menjadi pelatih profesional. Pemain itu lebih gampang, setelah bermain, pemain pulang, kemudian kembali lagi. Saya bilang tadi, pemain adalah prajurit, pelatihnya jenderal. Lebih susah menjadi jenderal ketimbang prajurit.




(fem/din)

Hide Ads