Lalu sesi ketiga dilanjutkan dengan pemaparan para calon anggota Exco. Ophan Lamara melihat pengelolaan sepakbola dijalankan secara tak transparan. Ia bertekad untuk menjalankan PSSI secara transparan, karena dinilainya federasi merupakan milik publik.
Hasani Abdulgani dan Paulus Kia berbicara soal timnas dan kompetisi, Djamal Aziz menekankan kejujuran, sementara Tigor Shalom menyoroti pentingnya untuk melakukan perubahan/update statute PSSI secara berkala.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya belum menemukan kejujuran dalam mengelola PSSI. Saya belum melihat PSSI yang transparan, terutama dari sisi keuangan. Berhentinya Liga 2 karena uangnya PT LIB habis. Publik tidak bodoh. TV rights dan sponsorship itu tidak kecil. Saya bicara bicara seperti ini karena dulu bantu PSSI di Departemen Marketing dari 2003 sampai 2005, lalu generasi pertama BLI atau Badan Liga Indonesia," kata Ophan Lamara.
"Saat itu untuk menyiarkan pertandingan kompetisi dan tim nasional PSSI yang harus bayar ke TV, sekarang sebaliknya dan nilainya jauh lebih besar. Lalu kalau kita bicara pembinaan, kita butuh kejujuran. Jangan pernah mimpi timnas berprestasi, kalau pembinaan dan kompetisi masih belum. Sampai hari ini hanya Indonesia negara besar, merdeka, dan menuju modern yang kompetisi sepakbolanya masih terganggu seperti Pilkada dan Pemilu," ujarnya.
"Dalam berorganisasi itu kita harus bekerja serius dan dengan hati dan perlu kedewasaan juga dalam berorganisasi. Pembinaan juga harus jelas. Ada yang salah di sini. Sedih juga kita punya 200 juta rakyat, tapi kita masih harus naturalisasi. Naturalisasi ini seharusnya kita ambil usia yang berkembang sehingga bisa untuk jangka panjang. Regulasi dan aturan dari Liga 1 sampai Liga 3 harus jelas. Selama ini ada ketidaksinkronan antara PSSI dan pemerintah daerah. Di Indonesia itu belum selaras dan sepemikiran.," ucap Paulus Kia.
"Kejujuran bukan hanya pengurus, tapi pada pemain wasit harus jujur. Karena salah satu segmen tak jujur, semua kena. Begitu pengurus ga jujur, langsung pemain & wasit dan hasilnya mengecewakan banyak orang. Pengurus ke depan, lebih baik ada visi misi tertulis. Tapi biasanya sulit," ucap Djamal Aziz.
"Sebaiknya ada guidance, masing-masing punya apa. Orang perlu tahu, ketua itu cuma simbol, tak mutlak. PSSI itu ada Exco, pemilihannya kolektif kolegial. Kalau ketua mentang-mentang, ya dilawan. Giliran nanti piala (juara), ketua yang teriak. Giliran dicaci maki, Exco yang kena," lanjut Djamal Aziz.
"Perubahan statuta, sudah siapkan draf statuta baru. Salah satunya kategori membership atau anggota dan kualifikasi orang-orang yang berhak jadi Exco. Prinsipnya dalam federasi itu ada tiga, yaitu integrity, transparansi, dan akuntabilitas. Kalau ketiga itu dijalankan, program akan berhasil. Pembaharuan statuta terakhir tahun 2019 sedangkan FIFA dan AFC berubah setiap tahun," tutur Tigor.
"Persoalan di kita, memilih Exco & ketua itu masing masing. Ini kayak Eropa. Di Indonesia masih susah, di sini lebih ke paket. Tapi kalau paket dianggap banyak manipulasi. Soal timnas, saya belum melihat ada gagasan di dalam masalah sepakbola yang sebenarnya terjadi. Saya riset, ada dua yang fundamental, industrinya belum jalan, sedangkan itu jadi barometer. Yang paling dasar itu masalah grassroot. Indonesia sampai U-16 bagus, kenapa di bawahnya nggak bagus?" ucap Hasani.
Setelah sesi ketiga, para pakar diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada para calon Exco. Menariknya, Hamka Hamzah yang vokal untuk kelanjutan Liga 2, menanyakan hal ini kepada Hasani yang notabene anggota Exco aktif, selaku pengambil keputusan dihentikannya kompetisi level 2 itu.
"Saya awalnya termasuk yang tidak setuju liga diberhentikan, tapi setelah dipaparkan LIB, saya akhirnya memutuskan ikut setuju untuk diberhentikan. Alasannya, LIB telah siapkan dana awal sekitar Rp 30 miliar untuk Liga 2. Tapi tiba tiba ada kejadian, yang dampaknya soal perizinan dan standarisasi yang diberikan oleh keamanan, itu jadi kendala menjalankan normal," jawab Hasani soal dihentikannya Liga 2.
"Dampaknya ada beberapa klub datang ke LIB, dimana minta diadakan tapi bubble Ini terjadi kenaikan 150 persen dari Rp 30 miliar tadi. Tambahan Rp 50 miliar lagi. Kalau Rp 80 miliar, sedangkan LIB telah menyarankan wanprestasi karena Liga 2 tak sempurna. Karena itu kan kontrak, jumlah pertandingan dikali harga, maka harus men-deliver. Tapi situasi yang terjadi, jadi tak bisa," ujarnya menjelaskan.
Kemudian acara ini ditutup dengan pernyataan Djamal Aziz yang mendorong untuk maksimalisasi Inpres No 3 Tahun 2019 soal percepatan sepakbola. Menurutnya ini adalah kesempatan emas buat memajukan sepakbola Indonesia yang selama ini mandek.
"Kedewasaan itu penting. Kalau belum dewasa, jangan masuk. Jaga integritas. Integritas itu jangan ngomong buat proposal dll, begitu menjalankan tak bisa, ini tak boleh. Saya berharap voters memilih dengan hati nurani. Kalau memilih karena uang, nanti ganti rezim dan KLB lagi. Saya ingin yang disampaikan, Asprov punya suara harus melakukan pembinaan-pembinaan di daerah masing-masing. Ada Inpres No 3 Tahun 2019, itu bisa diatur supaya daerah mau peduli dengan pembinaan di daerah," ucap Djamal Aziz yang sekaligus menjadi penutup acara.
(ran/pur)