Leicester dan Statistik Buruk yang Menyeret Menuju Jurang Degradasi

Leicester dan Statistik Buruk yang Menyeret Menuju Jurang Degradasi

Doni Wahyudi - Sepakbola
Jumat, 10 Feb 2017 15:34 WIB
Foto: Reuters / Darren Staples
Jakarta - Sukses Leicester City menjuarai Premier League adalah salah satu capaian terbesar di sejarah sepakbola. Kini The Foxes berjuang menghindari jeratan degradasi.

Sudah banyak cerita tentang bagaimana Leicester musim lalu membalikkan prediksi 1:5000 untuk bisa menjuarai Premier League. Di musim tersebut Claudio Ranieri membuat keajaiban saat mengantar timnya memenangi persaingan dengan Manchester United, Manchester City, Chelsea, Liverpool, Tottenham Hotspur, dan Arsenal untuk menguasai puncak klasemen akhir musim.

Kalau boleh berharap, pendung Leicester mungkin ingn cerita dongeng mereka berakhir dengan diangkatnya trofi Premier League. Bahwa itulah halaman terakhir kisah heroik mereka menundukkan Inggris. Tapi tentu saja ada bab baru dari kisah itu. Bab berjudul Premier League 2016/2017.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Leicester sejak musim panas sudah diprediksi tidak akan mampu mempertahankan titelnya. Bahkan Ranieri mengakui itu sebelum pekan pertama digulirkan. Itu terbukti kini. Tapi mungkin tidak banyak yang menyangka kalau sang juara bertahan akan berjuang susah payah untuk menghindari jebakan degradasi.

Setelah kalah dari Manchester United di akhir pekan lalu, Jamie Vardy dkk kini hanya unggul satu angka dari Hull City sebagai klub teratas di zona degradasi. Sang juara bertahan kini dalam ancaman serius terlempar dari level teratas.

Menilik performa di musim ini dan dibandingkan dengan musim lalu, Leicester mengalami kemerosotan yang signifikan. Saat menjuarai Premier League rata-rata konversi tebakan ke gol mereka adalah 18,6%, sementara musim ini hanya 13,1%. Sejauh ini cuma ada empat tim yang nilai konversinya lebih rendah.

Dua nama yang bersinar terang di Leicester musim lalu adalah Riyad Mahrez dan Vardy, di mana masing-masing melesakkan delapan dan enam gol yang menjadi penentu kemenangan. Sedangkan di 2016/2017 ini kedua pemain itu baru sekali menjadi penentu kemenangan melalui golnya, yakni ketika Vardy membuat hat-trick ke gawang City.

Di lini belakang, kehilangan Kante amat dirasakan Leicester. Musim lalu Kante rata-rata membuat 4,61 tekel dan 4,11 intersepsi per pertandingan.

Sedangkan musim ini jumlah tekel Leicester menurun lima per pertandingan. Sementara jumlah intersepsi turun tujuh per pertandingan. Di lapangan tengah, Leicester hanya memenangi 39% duel, drop dari musim lalu yang sebesar 51%.

Duo bek tengah The Foxes juga tampil kurang solid. Prosentase kemenangan aerial duel Robert Huth turun dari 62,24% di musim lalu menjadi 51,52% musim ini. Sementara Wes Morgan merosot dari 58,71% ke 53,76%.

Dalam hal passing, jumlah yang dilepaskan pemain Leicester di musim lalu dan musim ini tak jauh berbeda (74% : 76%). Sementara rata-rata jarak umpan juga tak berubah banyak dari 17 meter musim lalu menjadi 16 meter di musim ini.

Itu bisa diartikan bahwa Leicester tidak mengubah gaya mainnya dengan mencoba memecah pertahanan lawan menggunakan direct play yang dibangun cepat. Namun ketiadaan Kante menyulitkan Leicester.

Dikutip dari Dailymail, Leicester juga mengalami penurunan dalam penciptaan peluang. Tahun ini Leicester hanya membuat rata-rata 7,58 peluang per laga, sementara musim lalu angkanya mencapai 10,16 peluang setiap pertandingan.

Sebagai catatan, Leicester sama sekali belum mencetak gol di Premier League pada tahun 2017 ini. (din/fem)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads