Padahal kalau ditengok dari segi infrastruktur klub, mereka ini sejajar sengan klub elit manapun yang ada. Dari fasilitas klub, suporter, kualitas pemain, manajer, sampai dana, segalanya kualitas nomor satu. Prestasi mereka belakangan, kecuali memenangi Liga Champions 2004/2005 dan beberapa piala kelas dua, sungguh kering untuk klub sebesar Liverpool.
Ada yang mencoba berteori dengan menunjuk kesalahan utama Liverpool adalah memotong, entah sengaja atau tidak, keterkaitan mereka dengan Skotlandia. Maksudnya, kesuksesan Liverpool sangat erat kaitannya dengan koneksi Skotlandia-nya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia merevolusi cara bermain sepakbola Liverpool. Sahabat karibnya yang juga orang Skotlandia, Sir Matt Busby, melakukan revolusi di Manchester United pada saat bersamaan, dengan mengandalkan operan bola yang cepat dan rapih menyusur tanah. Tidak lagi semata mengandalkan kick and rush.
Hanya dalam waktu lima tahun ia membawa Liverpool menjadi juara liga. Dan ketika meninggalkan Liverpool di tahun 1974, klub ini bahkan mulai berbicara di Eropa dengan mulai memenangi Piala UEFA, Piala Winners, dan tentu saja Piala Champions.
Piala Champions dimenangkan oleh Bob Paisley, asisten Shankly yang mengambil alih tempat bosnya itu. Ia mempersembahkan tropi Eropa nomor satu itu sebanyak tiga kali.
Paisley bukan orang Skotlandia tetapi Inggris Utara. Namun dialah yang mengukuhkan koneksi Skotlandia-Liverpool. Kesuksesannya di Eropa maupun di Liga Inggris ditopang oleh tiga pemain Skotlandia yang dibelinya untuk menjadi urat nadi tim: Alan Hansen di belakang, Graeme Souness tukang pikul air di tengah, dan Kenny Dalglish yang menjadi otak dan kadang pencetak gol Liverpool.
Era kejayaan masih diteruskan oleh orang Inggris lain Joe Fagan, asisten Paisley, masih dengan mengandalkan pemain-pemain Skotlandia-nya dan memenangi sekali lagi Piala Champions.
Koneksi Skotlandia-Liverpool menjadi luntur ketika Dalglish dan Souness sebagai manajer tak mampu menjaga tradisi kejayaan Liverpool. Selama sepuluh tahun terakhir bahkan koneksi itu sepertinya terputus sama sekali, walau sempat ada Garry McAlister, kapten tim Skotlandia, membawa Liverpool juara Piala UEFA 2001.
Teori koneksi Skotlandia-Liverpool ini tidak terlalu ditanggap serius, lebih sekadar bahan percakapan di tempat minum atau pub. Sekadar bunga saling ejek bersahabat antara pendukung Liverpool keturunan Inggris dan Skotlandia.
Yang lebih menjadi perhatian pendukung Liverpool adalah persoalan kepemilikan klub. Sejak lama pendukung Liverpool menganggap -- bukanlah khas Liverpool sebetulnya -- klub adalah milik komunitas. Mereka sendirilah, dalam anggapan mereka tentunya, yang memahami nyawa kehidupan klub tersebut. Duo pemilik klub Liverpool asal Amerika, Tom Hicks dan George Gilleet, sehebat apapun klaim kecintaan mereka pada Liverpool, tidak akan pernah benar-benar diakui dan dimengerti sebesar kecintaan pendukung lokal.
Persoalan sederhana menyelami sengitnya persaingan Liverpool dengan Everton misalnya, menurut pendukung Liverpool tidak akan pernah utuh dimengerti oleh Hicks dan Gillett. Sengitnya persaingan dengan Everton adalah titik awal -- asbabun nuzul -- dari keberadaan Liverpool. Bukan sekadar persaingan tim sekota yang stadionnya hanya dipisahkah oleh secuil taman kota. Apalagi dianggap hanya persaingan sesama anggota liga utama. Bukan.
Liverpool dan Everton adalah perwujudan ego dua kelompok yang pada awalnya memiliki mimpi yang sama untuk mewakili kota Liverpool di kancah persepakbolaan Inggris.
Everton menganggap pemilik Liverpool, tepatnya pemilik stadion Anfield, bersikap tamak dengan sewenang-wenang menaikkan harga sewa stadion. Pemilik Anfield saat itu yang kemudian mendirikan Liverpool, menganggap Everton tamak karena dengan posisinya sebagai satu-satunya klub di kota Liverpool memonopoli pasar dan sewenang-wenang menolak membayar kenaikan uang sewa. Perselisihan lebih 120 tahun yang lalu itu, dengan berbagai tambahan variannya, terwariskan hingga kini.
Kecuali hidup di kota Liverpool, sungguh sulit untuk menyelami rasa persaingan ini. Pertarungan di lapangan seolah ajang pembuktian tentang siapa yang sebenarnya benar dalam saling tuduh itu.
Tentu kemudian ada persoalan lain seperti perebutan menjadi kiblat persepakbolaan Inggris, adu gengsi dengan Manchester United, dan sekian macam persoalan lain, yang menurut pendukung Liverpool tidak akan terselesaikan dengan sekadar pasokan uang dari duo pemilik Amerika itu.
Salah satu sebab mengapa pendukung Liverpool ingin mengambil alih klub adalah karena hal ini. Mungkin kalau mereka benar berhasil nantinya, mereka akan kemudian menghidupkan kembali koneksi Skotlandia-Liverpool. Tetapi, yang pertama mereka harus berusaha keras kalau benar ingin mengambil alih klub. Mengalahkan pemilik modal bukanlah tugas ringan. Beberapa pendukung klub lain di Inggris mencoba melakukannya, sejauh ini belum ada yang berhasil.
===
*) Penulis adalah wartawan detikcom, tinggal di London. Artikel ini tidak mencerminkan opini redaksi.
(lza/a2s)