Masih belum cukup? Gaji mereka juga tidak seberapa. Apa yang didapat para pemain dalam satu minggu, sama dengan penghasilan setahun wasit.
Dan ini berbicara mengenai wasit di tingkat elit. Di tingkat amatir lebih mengenaskan lagi. Di Inggris, Tingkat makiannya masih sama, bayaran yang didapat paling 200 poundsterling atau sekitar Rp 3,6 juta per pertandingan. Tak jauh di atas upah minimum Inggris yang Β£5,52 (hampir Rp 100 ribu) per jam.
Di tingkat akar rumput, sungguh memalukan. Karena sifatnya lebih untuk hobi dan kegiatan sosial kemasyarakatan, kecuali uang pengganti transport, tidak ada gaji sama sekali. Tetapi makian dan cercaan tetap saja sama.
Saya mengalami dan menyaksikan sendiri penderitaan yang dialami wasit di tingkat ini. Dan ini tidak berbicara tentang sepakbola remaja atau dewasa, tetapi anak-anak.
Selama empat tahun anak saya terlibat aktif di sebuah klub sepakbola lokal. Berkompetisi setiap minggu untuk wilayah sub London Tenggara, sejak umur di bawah 7 tahun.
Adalah orang tua anak-anak yang sering tidak bisa menahan diri. Kalau mereka tidak puas dengan kepemimpinan wasit, sumpah serapah dengan menyebut nama semua binatang yang ada di kolong langit keluar tanpa henti. Bahkan kadang makian tidak lagi verbal tetapi juga ancaman fisik.
Pada awalnya anak-anak yang bermain tidak tahu menahu dan tidak mengerti. Yang penting bagi mereka hanyalah bermain dan bergembira. Tetapi begitu mereka bermain untuk di bawah umur 11 tahun -- setidaknya ini yang terjadi pada klub anak saya -- anak-anak ini sudah tidak kalah pandainya untuk mengeluarkan sumpah serapah pada wasit dan memprotes.
Namanya juga anak-anak, seperti spons mereka menyerap apa yang ada di sekitarnya. Apalagi mereka ini menonton tingkah laku para pemain profesional di televisi yang ringan mengeluarkan makian. Belum lagi kalau mereka menonton pertandingan langsung di stadion, tak ada penonton yang bermulut sopan.
Anak-anak ini yang satu dua pasti akan kemudian menjadi pemain profesional, bisa Anda bayangkan perangainya ketika sudah menjadi pemain sepakbola sesungguhnya.
Kalau kecil-kecil saja terhadap otoritas tertinggi di lapangan mereka tidak menghormati, begitu besar memaki dan menghina wasit akan menjadi naluri mereka. Paahal di situ ia berprofesi.
Tak mengherankan kalau belakangan semakin sedikit bibit wasit muncul. Asosiasi sepakbola Inggris sangat prihatin dengan banyaknya calon wasit yang mundur karena tak kuat mendapat cercaan, makian, dan hinaan yang seperti tak ada habisnya di setiap pertandingan.
Mereka mengerti bahwa wasit mungkin elemen paling tidak glamor dalam permainan sepakbola. Tetapi pada saat yang bersamaan adalah salah satu elemen yang paling penting. Tanpa wasit tidak akan ada sepakbola. Tanpa wasit sepakbola akan mati.
FA kini menggelar rencana senilai 200 juta poundsterling berjangka waktu lima tahun. Mereka berencana memperbaiki budaya bersepakbola sebelum segalanya terlambat. Tidak sekadar berkonsentrasi pada perbaikan pelatihan, keterampilan, dan perekruitan wasit. FA ingin program mereka bisa mengubah tindak-tanduk pemain, penonton, dan manajer untuk mempunyai rasa hormat dan kepatuhan kepada wasit.
FA berkaca pada apa yang terjadi di lapangan olahraga Rugby, olahraga tradisional Inggris yang menyebar ke rata-rata negara persemakmuran maupun tetangga dekat Inggris.
Olahraga ini keras dan kasar. Sebenarnya ada dua cabang: Rugby League dan Rugby Union. Namun prinsipnya hampir sama. Sederhananya dalam olahraga ini untuk
mencegah lawan maju mencetak nilai, yang tidak diperbolehkan hanyalah memukul dan menjegal menggunakan kaki, yang lain diperbolehkan. Mau menubruk, menabrak, menggeleparkan lawan dengan mengangkatnya kalau memang cukup tenaga, semua diperbolehkan. Tak ada pemain yang menggunakan pelindung kecuali penyumpal mulut seperti tinju, untuk menghindari lidah tergigit. Olahraga biadab kata orang.
Tetapi dalam kebiadaban ini ada kepatuhan yang mengagumkan terhadap wasit. Hanya kapten tim yang boleh memprotes wasit, apapun keputusan wasit. Protes itupun lebih bersifat meminta klarifikasi akan keputusan wasit itu. Tidak boleh ada makian, tidak boleh ada sumpah serapah. Jawaban standar terhadap keputusan wasit, saya menyaksikan sendiri karena anak saya sekarang bermain rugby, adalah "Yes, Sir."
Dalam rugby, mungkin karena semuanya hampir serba boleh, ada kesadaran bahwa mereka memerlukan wasit untuk memberikan keteraturan. Juga ada kesadaran bahwa wasit hanyalah manusia biasa yang bisa berbuat kesalahan. Kalaupun wasit salah, tim yang dirugikan akan secara gentleman menerimanya. Toh suatu saat mereka juga kadang diuntungkan oleh kesalahan wasit.
Sikap seperti inilah yang sangat ingin ditiru oleh sepakbola di Inggris. Ada satu ungkapan di Inggris ini yang sangat tidak disukai oleh publik sepakbola Inggris tetapi mereka sendiri mengakui bila membandingkan rugby dan sepakbola: rugby adalah permainan biadab yang dimainkan oleh orang beradab, sepakbola adalah permainan beradab tetapi dimainkan oleh orang biadab.
Kalau saya diharuskan memilih untuk menjadi wasit, saya tahu persis mana yang akan sayapilih.
==
* Penulis adalah wartawan detikcom, tinggal di London.
(lza/a2s)