Kontroversi Transfer Berbatov

Catatan Sepakbola

Kontroversi Transfer Berbatov

- Sepakbola
Selasa, 02 Sep 2008 12:12 WIB
Jakarta - Manchester United menggoda, Dimitar Berbatov tergoda, Tottenham Hotspur pun pada akhirnya mendapatkan keuntungan finansial dari seorang pemain yang tak lagi termotivasi.

Pada awalnya semua fans Spurs di dunia barangkali merasa sebal pada MU karena terus menggoda Berbatov untuk pindah ke Old Trafford. Isu itu bahkan sudah menyebar sejak musim lalu, setelah striker Bulgaria itu mencatat sukses di musim pertamanya di Premier League.

Dibanding perasaan sebal, boleh jadi mereka sesungguhnya lebih takut dan cemburu. Maklum, dengan reputasi MU yang banyak pemain di dunia ini akan mengatakan "siapa tak mau bermain untuk klub sebesar MU?", maka potensi kehilangan Berbatov dari awal sudah sangat besar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apalagi MU ternyata terbukti serius menginginkan pemain berusia 27 tahun itu, bukan sekadar ingin merusak stabilitas lini depan Spurs, yang dalam dua musim terakhir sangat produktif pada duet Berbatov dan Robbie Keane.

Dan Berbatov, boleh jadi ia sudah merasa lebih hebat ketimbang sewaktu dirinya menjadi salah satu striker terbaik di Bundesliga bersama Bayer Leverkusen. Mencetak total 23 gol di musim pertamanya di White Hart Lane, ia tidak terkena sindrom musim kedua. Musim lalu ia juga menorehkan gol sebanyak itu, yang 15 di antaranya dibuat di Premiership -- lebih subur sedikit dibandingkan Wayne Rooney dan Carlos Tevez.

Berbatov mungkin merasa sudah saatnya dia menapak level yang lebih tinggi. Dia perlu banyak trofi juara, ingin bermain lebih sering di Liga Champions. Dan dibandingkan dengan Spurs, MU tentu saja memiliki kans lebih besar untuk mewujudkan keinginan itu. Maka ketika telepon dari MU datang intensif ke meja dia, pada akhirnya Berbatov "hanya manusia biasa".

Meraih sesuatu yang lebih baik tentu saja bukanlah keinginan yang buruk. Dan Berbatov boleh memilikinya. Namun, ia menjadi buruk lantaran menggambarkan dirinya dengan gamblang sebagai laki-laki yang tidak loyal. Di saat fans The Lilywhites masih membuncah ekspektasinya karena memiliki seorang penyerang stylish dan haus gol, ia malah ingin pergi -- ke klub yang paling dominan pula.

Di era industri sepakbola saat ini, loyalitas mungkin seperti "pasal karet" untuk didiskusikan. Masalahnya, Berbatov tidak elegan dalam mengungkapkan keinginannya pindah, dan itu menimbulkan kebencian di sebagian publik Spurs. Jangan salahkan orang yang mencapnya 'pengkhianat', kalau ketika Spurs masih berjuang mati-matinya menjaganya dari kejaran MU, tapi ia dengan tenang membubuhkan tanda tangan di kaos MU milik seorang fans di Sofia.

Fans Spurs boleh jadi tidak terbantu dengan tampang dinginnya di tengah lapangan, karena sulit ditemukan senyum dari bibirnya kalau sedang bermain. Tapi yang satu ini memang soal kepribadian. Thierry Henry pun jarang tertawa jika bikin gol. Begitu juga Eric Cantona, figur yang dijadikan contoh Berbatov tentang ketidakbiasaanya bertampang "manis" di lapangan.

Di pihak Spurs, mempertahankan Berbatov pada awalnya memang sebuah keharusan. Dia adalah ujung tombak yang produktif. Mungkin striker asing terbaik pertama Spurs sejak Juergen Klinsmann.

Tapi, ketika yang dibela habis-habisan malah bersikap kontraproduktif, preseden buruk pun tercipta. Manajer Juande Ramos mulai geleng-geleng kepala. Dari tidak memainkannya karena dinilai tidak siap secara psikologis, muncul pula isu ia akan menurunkan Berbatov ke tim cadangan, sebagai hukuman atas sikap tak hormat pada kontraknya sendiri, yang masih berlaku dua tahun lagi.

Dressing room makin buruk karena pemain lain pun mulai terganggu dengan sikap Berbatov. Bek Jonathan Woodgate menguliahi rekan setimnya itu supaya lebih gentle. "Jujur saja, menurutku apa yang ia lakukan tidaklah memberi pesan baik buat suporter," ujar Woodgate. "Aku akan bermain sampai aku benar-benar hengkang."

"Kalaupun aku tidak ingin berada di suatu tempat, aku tetap akan memberikan 100 persen karena untuk itulah aku di bawa ke sini," sambung bek internasional Inggris itu.

Yang paling ironis adalah ketika Spurs akan bertanding melawan Chelsea akhir pekan lalu, beredar rumor bahwa para pemain tidak ingin Berbatov di bawa ke Stamford Bridge. Ramos pun setuju dan ia meninggalkan pemain jebolan CSKA Sofia itu "entah di mana". Singkat kata, sampai saat itu Berbatov sudah dianggap tidak sehat bagi tim.

Maka ketika Spurs akhirnya melepas Berbatov ke MU, klub London itu tetap mendapatkan keuntungan. Sikap jual mahal mereka membuahkan hasil memuaskan. MU akhirnya memenuhi keinginan si penjual dengan membelinya seharga 30,75 juta poundsterling. Nilai itu lebih besar hampir tiga kali lipat dibanding ketika mereka memboyongnya dari Leverkusen.

Berbatov memang pemain jempolan, tapi mungkin fans Spurs sudah saatnya untuk mengiyakan sebuah teori tentang "pemain bagus datang dan pergi".

Adapun Berbatov, yang mengaku fans berat Newcastle United sewaktu masih bocah, secara pribadi telah merengkuh mimpinya bergabung dengan klub sebesar MU. Buat dia, ini tentu sebuah pencapaian berharga. Sedangkan buat MU simpel saja: apa yang mereka mau telah mereka dapatkan.

(a2s/roz)

Hide Ads