Lazio Penting Buat Diselamatkan
Jumat, 01 Apr 2005 09:40 WIB
Jakarta - Matinya sebuah klub sepakbola barangkali merupakan risiko dari hukum alam. Sama dengan perusahaan komersil, jika tak mampu bertahan, maka dia akan kolaps lalu gulung tikar.Akan tetapi, ada satu klub di Italia yang jika dibiarkan mati maka dampak sosial yang kemudian ditinggalkan bisa lebih besar ketimbang peristiwa kematian klub itu sendiri. Klub itu adalah Lazio, sebuah klub yang bermarkas di ibukota Roma dan sudah berdiri sejak Januari 1900 sebagai sebuah klub atletik, sebelum fokus total sebagai klub sepakbola mulai 1906.Dalam perjalanannya klub berwarna khas biru langit dengan logo burung elang itu identik dengan "kekerasan". Tifosi Lazio adalah salah satu suporter tim Italia yang paling sering bikin onar dengan cara-cara kekerasan.Pernah mereka mengamuk dan melakukan pembakaran di areal markas Lazio di Centro Sportivo di Formello gara-gara pemain kesayangannya yang juga maskot Biancoceleste, Giuseppe Signori, dilego ke Sampdoria.Soal insiden kerusuhan di dalam dan luar stadion di waktu-waktu pertandingan bukanlah cerita langka buat sebagian fans Lazio, terutama kelompok garis keras bernama "Ultras". Kelompok ini terkenal agresif ... dan rasis!Asal tahu saja, mereka tidak senang jika Lazio merekrut pemain berkulit hitam. Itu sebabnya mereka sempat meneror eks presiden Sergio Cragnotti gara-gara menggaet dua pemain Italia blasteran negro, Fabio Liverani dan Christian Manfredini beberapa tahun lalu. Sebagian tifosi Lazio dikenal rasis karena sejarah klub ini terkait dengan gerakan fasisme yang pernah dibangun Benito Mussolini. Kebetulan, Lazio adalah tim favorit mantan penguasa Negeri Pizza itu, di mana Musolini sering terlihat berada di stadion saat klub tersebut bertanding.Dan sebagaimana sejarah mencatat, Mussolini adalah sosok diktator fasis yang bakat utamanya adalah propaganda buat membangun kekuasaannya di Italia, mirip dengan Adolf Hitler di Jerman. Ia juga digambarkan sebagai tokoh militer agresif dan pernah berambisi menaklukkan seluruh kawasan Mediterania, tak peduli berapa harganya.Belum lama ini Italia geger dengan kasus Paolo di Canio yang memperagakan salam ala fasis usai mencetak gol dalam derby Roma awal Januari lalu. Menteri Telekomunikasi Maurizio Gasparri, yang kebetulan fans AS Roma, langsung melontarkan kecaman. "Orang yang bodoh. Seperti semua suporter Lazio, dia tidak terbiasa menang," sergahnya.Ironisnya, sejak November 2002 kondisi finansial Lazio megap-megap, menyusul bangkrutnya perusahaan makanan milik Cragnotti, Cirio, yang memiliki saham mayoritas klub tersebut.Maka pelan-pelan tapi pasti Lazio masuk derajat miskin. Pemain-pemain bintangnya diobral, gaji karyawan dipangkas, kebijakan transfer diperketat dan diperhemat. Kita lihat, nyaris tak ada pemain bintang yang tersisa di skuad Lazio musim ini, kecuali Di Canio yang usianya sudah 36 tahun.Namun juara dua kali Seri A itu (1974 dan 2000) bisa terhindar dari ancaman gulung tikar karena mendapat perhatian khusus dari pemerintah setempat. Perdana Menteri Silvio Berlusconi khawatir apabila Lazio mati, maka akan menimbulkan gejala sosial yang buruk."Lazio adalah sebuah kasus tersendiri," ujar orang nomor satu Italia yang juga pemilik klub AC Milan itu. "Yang kita bicarakan ini adalah sebuah klub yang punya pendukung sangat besar dan oleh sebab itu bisa melahirkan kekacauan publik dan konsekuensi-konsekuensi yang gawat."Lazio memang dikabarkan telah selamat dari ancaman kolaps setelah mencapai kesepakatan dengan otoritas pajak setempat yang mengharuskan mereka membayarkan kembali sekitar 140 juta euro dari pajak yang tak terbayarkan selama lebih dari 23 tahun.Begitulah, betapa sebuah klub saja harus diselamatkan secara bersama agar tidak mengganggu tatanan sosial yang ada. Lazio, salah satu klub di Italia yang tifosinya terkenal paling bandel, tak boleh (di)mati(kan). (a2s/)











































