Ultras, Minoritas yang Meresahkan
Senin, 05 Feb 2007 14:02 WIB
Catania - Suporter garis keras sepakbola Italia yang dikenal dengan 'ultras' disebut berperan aktif dalam aksi rusuh dan kekerasan di kompetisinya. Walau minoritas, sepak terjangnya yang negatif justru dahsyat.Menyusul aksi kekerasan di Catania yang berujung dengan kematian seorang aparat polisi yang dibom oleh ultras, mata Eropa dan dunia tertuju ke Italia. Prihatin dan kaget, melihat kekerasan sedemikian rupa dapat terjadi di negara yang memiliki tradisi sepakbola kuat itu. Usai insiden tersebut, Federasi Sepakbola Italia (FIGC) menskors kompetisinya entah sampai kapan. Ironis, kompetisi harus dihentikan karena ulah suporter yang berlaku anarkis, padahal baru sekitar setengah tahun lalu Italia jadi negara nomor satu di dunia sepakbola. "Mayoritas fans yang datang menonton adalah orang terhormat, tapi ada minoritas yang berisikan preman yang tidak peduli kepada siapapun. Mereka hidup bagai orang biadab dan melepaskan amarah dengan berbagai cara," ungkap Presiden Catania Antonino Pulvirenti, dilansir Yahoosport Senin (5/2/2007).Pulvirenti menambahkan bahwa klubnya sudah tiga tahun berjuang untuk memberi perlawanan kepada kelompok anarkis tersebut. Tetapi apa daya, tidak banyak yang bisa dilakukan pihaknya."Saya mengkhawatirkan yang terburuk, kalau salah seorang preman itu melemparkan bom kepada polisi di luar stadion, kami yang akan disalahkan," sesal dia. Kekhawatiran itu bukannya tidak mendasar. Dewasa ini ultras telah menjelma menjadi sebuah kelompok yang besar, dibandingkan suporter liga-liga sepakbola lainnya di Eropa. Cara-cara intimidasi kerap dilakukan ultras, contohnya, untuk mendapatkan tiket pertandingan dengan gratis.Di Italia, jika para pemain telah bermain buruk dalam pertandingan, siap-siap saja didatangi sekumpulan ultras saat sesi latihan berikutnya. Mereka tidak segan melabrak atau bahkan menyerang para pemain timnya sendiri. Sebegitu besarnya pengaruh ultras, pertandingan yang sedang berlangsung pun bisa saja dihentikan. Contohnya pada Maret 2004 saat derbi AS Roma dan Lazio terpaksa dihentikan. Saat itu beredar isu bahwa seorang fans Roma tewas terbunuh akibat tertabrak mobil polisi. Beberapa saat sebelum turun minum, tiga orang ultras Roma melompati pagar pembatas dan mendatangi kapten Roma Francesco Totti untuk berbicara.Usai berbicara, Totti mengadu ke pelatihnya Fabio Capello dan menjelaskan bahwa mereka diancam akan dibunuh jika melanjutkan pertandingan. Akhirnya baik Totti maupun kapten Lazio Sinisa Mihajlovic setuju tidak meneruskan pertandingan tersebut. Memang, peraturan telah diterapkan setahun silam untuk memperkecil aksi rusuh dan kekerasan para ultras. Tiket diberi nama, video pengawas ditingkatkan, kembang api dan petasan dirazia, begitu juga dengan spanduk bernada rasis. Hasilnya? Kebanyakan klub gagal, ultras tetap merajalela.Kini keadaan bahkan bisa dibilang lebih ekstrem. Ultras tidak lagi menyasar suporter klub rival dan malah menjadikan polisi sebagai target utamanya. "Mereka adalah musuh besar kami," tegas ultras Inter Milan kepada Gazzetta dello Sport.Hari ini pemerintah Italia sedang mengadakan pertemuan untuk membahas bagaimana cara penanganan problem tentang ultras dan kekerasan di sepakbola Italia. Apapun hasilnya, sikap tegas dan keras mutlak dilakukan untuk mencegah aksi kekerasan terulang lagi. (krs/mel)











































