Sebelum menjalani laga kedua Grup F Piala AFC, Arema Cronus memasang target tinggi: tiga poin. Namun, pada akhirnya 'Tim Singo Edan' justru menelan pil pahit.
Ada beberapa alasan mengapa Arema berani memasang target tinggi. Salah satunya adalah lantaran bermain di kandang sendiri, di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. Artinya Arema akan mendapat suntikan semangat dari Suporter fanatik mereka, Aremania.
Selain itu, Arema juga punya modal bagus dalam menghadapi laga ini, yakni belum pernah kalah dalam lima laga ISL dan satu laga Grup F Piala AFC. Arema bahkan tak pernah kalah sejak pramusim. Hebatnya lagi, Arema juga tak pernah kalah melawan tim dari luar negeri jika bermain di Kanjuruhan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi, ceritanya kemudian berbeda. Ha Noi kemudian malah meraih kemenangan 3-1 di Kanjuruhan.
Susunan Tim
Pelatih Arema, Suharno, menurunkan semua pemain terbaiknya, minus sang playmaker, Gustavo Lopez. Kiper nomor satu Timnas Indonesia, Kurnia Meiga, tetap dipercaya menjaga gawang Arema.
Sementara kuartet Benny Wahyudi-Victor Igbonefo-Purwaka Yudi-Thierry Gathuessi, berfungsi menjadi tembok bagi Meiga. Di lini tengah, kapten tim, Ahmad Bustomi, bersama I Gde Sukadana menjadi poros ganda tim Arema. Khusus Bustomi, ia ibarat Andrea Pirlo di Juventus yang memerankan deep lying playmaker. Sementara Sukadana berperan sebagai breaker.
Alberto Goncalvez-Dendi Santoso-Samsul Arif, berdiri di belakang striker tunggal, Christian Gonzales. Formasi inilah yang sukses mengantarkan Arema kokoh di puncak klasemen sementara ISL wilayah barat. Tentu saja dengan sistem rotasi pemain.
Dari pihak lawan, Ha Noi T&T datang dengan tidak kekuatan terbaiknya. Phan Than Hung hanya bisa menurunkan satu pemain asingnya. Yakni striker Gonzalo Damian Marronkle. Tapi, justru pemain inilah yang berhasil memporak-porandakan benteng pertahanan Arema.
Celah Menganga di Sektor Pertahanan Arema
Meski bertindak sebagai tim tamu, Ha Noi langsung menggebrak di awal laga. Bahkan saat laga baru berusia dua menit, Hanoi sudah mendapatkan peluang emas namun masih bisa dihalau oleh Igbonefo.
Arema memang tetap bisa mengendalikan jalannya laga dengan mengandalkan umpan-umpan pendek ala tiki-taka. Tapi semua serangan yang dibangun Bustomi sebagai jendral lapangan tengah Arema mentok di barisan pertahanan Hanoi yang bermain sangat disiplin.
Bahkan bola harus ditarik kembali ke belakang ketika sudah berada di sepertiga lapangan akhir pertahanan Ha Noi. Hal ini terjadi karena bukan hanya barisan pertahanan Hanoi yang disiplin, tapi juga karena para gelandang Hanoi ikut memenuhi kotak penalti mereka.
Cay Sy Cuong dan Nguyen Ngoc Duy ikut melapis kuartet D. Duy Khan, Nguyen Van Bien, N. Hong Tien dan N. Quoc Long. Tak jarang tiga pemain Ha Noi langsung mengepung pemain Arema yang berusaha menusuk masuk kepertahanan mereka. Akibatnya, gelombang serangan Arema mubazir.
Pada pertandingan ini, pelatih Phan Than Hung benar-benar jeli melihat titik lemah Arema. Yakni sektor kiri yang dijaga Thierry Gathuessi.
Phan menginstruksikan semua pemainnya untuk turun ketika menerima serangan Arema. Termasuk Sang Striker, Gonzalo. Tapi tak semua pemain Hanoi benar-benar "turun".
Ada satu pemain yang dibiarkan menggantung di lapangan tengah. Dia adalah Nguyen Van Quyet. Pemain Timnas Vietnam ini dibiarkan bebas ada di depan. Tepatnya garis depan sebelah kiri pertahanan Arema.
Kenapa Van Quyet dibiarkan bebas dan tidak diinstruksikan turun? Karena dialah senjata rahasia Phan Than Hung.
Saat para gelandang Ha Noi berhasil merebut bola dari kaki pemain Arema, maka mereka akan secepatnya mengirim bola ke Gonzalo. Gonzalo kemudian melempar bola itu ke Van Quyet yang berdiri bebas karena Gathuessi terlanjur naik. Di sektor inilah celah menganga pertahanan Arema. Kedua gol Hanoi berasal dari sana.
Gathuessi Factor
Entah ada apa dengan Thierry Gathuessi. Yang jelas pada pertandingan kali ini, Gathuessi benar-benar menjadi kartu mati bagi Arema. Tak seperti biasanya, Gathuessi terlihat lembek.
Tak ada pressing-pressing ketat, tekel-tekel keras, maupun "gebrakan" kepada pemain lawan. Yang ada, ia malah terlihat seperti bek amatiran. Karena berkali-kali dikelabui oleh Nguyen Van Quyet. Gathuessi seperti lupa jika dirinya adalah seorang bek. Seorang pemain belakang. Bukan striker.
Kenapa Gathuessi disebut lupa jika dirinya adalah seorang bek? Karena dia malah sering berada di garis serang dan malas bertahan meski timnya dalam posisi tertekan. Gathuessi seolah tak malu kepada dua striker Arema, Beto dan Gonzales, yang ikut berjibaku bertahan.
Kerapuhan benteng Arema semakin lengkap ketika "keanehan" terjadi di sektor ini. Keanehan itu adalah: Purwaka yang harus menjaga Gonzalo.
Kenapa aneh? Bisa anda bayangkan, Purwaka yang berpostur relatif pendek harus menjaga "raksasa" Hanoi, Gonzalo. Memang selama ini Purwaka dikenal sebagai seorang bek yang mempunyai penempatan posisi dan pengambilan timing yang bagus. Tapi Purwaka tak berkutik ketika duel udara dengan Gonzalo.
Tak heran Gonzalo begitu enak melakukan kontrol dada lalu melemparkan bola kesisi sayap. Lalu kenapa bukan Igbonefo yang menjaga Gonzalo Pertanyaan ini kemudian terjawab di babak II. Igbonefo gantian diplot menjaga Gonzalo. Hasilnya? Gonzalo mati kutu.
Gonzalo, Tembok Pemantul
Di awal tulisan sempat saya singgung jika Gonzalo merupakan momok yang memporak-porandakan pertahanan Arema. Itu fakta yang tersaji di atas lapangan pada pertandingan kali ini.
Diturunkan sebagai ujung tombak, Gonzalo menjawab kepercayaan yang diberikan kepadanya. Dua gol ia lesakkan ke jala gawang Kurnia Meiga. Selain itu Gonzalo berhasil membuat pertahanan Arema kocar-kacir dengan pergerakannya.
Gonzalo menjadi tembok pemantul untuk para gelandang Hanoi. Gonzalo juga berhasil memancing Purwaka dan Igbonefo bermain melebar demi menjaga pergerakannya.
Di sinilah kecerdikan mantan pemain Lanus Junior, Argentina, ini terlihat. Setelah memantulkan bola ke sayap, ia segera berlari merapat ke sayap yang menerima bola pantulannya, tujuannya satu, memancing center back Arema meninggalkan wilayahnya.
Setelah center back Arema memakan umpan tipuannya, Gonzalo melakukan back pass kepada full-back dan kembali masuk ke tengah. Mencegat bola yang dikirim oleh pemain sayap.
Setelah Gonzalo kembali ke wilayahnya, Van Quyet melakukan umpan satu dua dengan full back atau gelandang serang. Trik ini sukses menembus pertahanan Arema yang berujung gol-gol bagi Hanoi. Karena posisi pertahanan tengah Arema kosong setelah ditinggal Purwaka atau Igbonefo yang melapis posisi Gathuessi.
Sedangkan Gathuessi malah santai "bertamasya" di lapangan tengah.
Dendi Tak Berfungsi
Untuk menopang dan melayani Christian Gonzales, Suharno menurunkan trio Dendi Santoso, Samsul Arif dan Beto Goncalves. Ketiga pemain ini sebenarnya punya kemampuan untuk melakukan service kepada Gonzales. Karena mereka bertiga memiliki kecepatan dan dribling bola yang bagus.
Sayang, harapan Suharno tak terwujud. Dendi yang ditaruh tepat di belakang Gonzales gagal menjalankan intruksi sang pelatih.
Dendi lebih terlihat seperti siswa SSB yang masih dalam tahap belajar. Dendi kebingungan dengan posisinya. Tak jarang ia bertumbukan dengan pemain lain seperti Beto maupun Samsul Arif. Melihat Dendi tak berkembang, Beto mencoba berinisiatif dengan mengajak bertukar posisi. Tapi hasilnya nihil.
Pada babak pertama lini tengah Arema memang kalah dengan lini tengah Hanoi. I Gede Sukadana sering kalah berduel melawan B. Van Hieu. Sukadana juga terlalu terburu-buru dalam merangsek ke pertahanan Hanoi. Akibatnya ketika serangan Arema kandas, tak ada lagi filter yang menghalangi serangan Hanoi.
Ketika Suharno menggantikannya dengan Hendro Siswanto, lini tengah Arema jadi lebih bertenaga, meski tak banyak menolong. Di sinilah Arema merasakan betapa berharganya seorang Gustavo Lopez. Sukadana dan Hendro pun tak mampu menggantikannya mengatur ritme Arema, maupun berimajinasi membongkar pertahanan gerendel lawan.
Kesimpulan
Suharno, sebelum laga sempat mengatakan jika timnya mewaspadai serangan balik Hanoi, tapi aplikasi di lapangan jauh dari apa yang dikatakan Suharno. Pemain belakang Arema terlalu ceroboh dan kehilangan fokus. Terutama Thierry Gathuessi.
Arema memang mengendalikan permainan, tapi mereka kewalahan meladeni kecepatan pemain-pemain Ha Noi. Itu juga dikatakan Suharno saat konferensi pers setelah laga.
Arema sebenarnya bisa menghindarkan diri dari kekalahan yang mencoreng rekor mereka di Kanjuruhan, tapi sayang, peluang-peluang yang tercipta gagal dimanfaatkan menjadi gol. Gol hiburan untuk Arema yang dicetak Christian Gonzales pun cuma tercipta melalui eksekusi tendangan penalti.
Sedangkan Hanoi bermain efektif dengan mengandalkan serangan balik dan tembok "Si Raksasa" Gonzalo.
Skor 1-3 untuk Hanoi menjadi hal yang pantas bila melihat permainan Arema yang hambar dan miskin kreativitas karena ditinggal Gustavo Lopes.
====
*Penulis adalah Aremania yang kini tengah belajar jurnalistik. Berkeinginan melihat sepakbola lokal maju dan melihat tim nasional Indonesia berlaga di Piala Dunia
(roz/a2s)