Will Brennan sebagai tokoh utama dalam film ini adalah seorang anak yatim yang baru berumur sebelas tahun dan ibunya telah meninggal. Ia penggemar Liverpool FC, pengetahuannya tentang klub, para pemain dan prestasinya cukup mendalam.
Tinggal di rumah yatim piatu, Will kemudian dikunjungi ayahnya yang telah 3 tahun tidak menemuinya karena harus bekerja. Pada pertemuannya itu Will sempat bermain bola bersama ayahnya dan teman-temannya. Ayah Will juga menceritakan bagaimana saat dia seusia Will pernah diajak kakeknya untuk menyaksikan laga final Liverpool melawan Chelsea yang akhirnya dimenangi Liverpool melalui gol tunggal Kenny Dalglish. Cerita ayahnya tersebut menarik bagi Will dan dia berharap dapat merasakan atmosfer yang sama dengan apa yang dirasakan ayah beserta kakeknya tersebut. Ayahnya memberikan kejutan dengan mengajak Will dan memberikan tiket final Liga Champions antara Liverpool versus AC Milan di Istanbul, Turki.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam perjalanan Will bertemu dengan seorang mantan pemain sepakbola di Sarajevo bernama Alex Zukic. Tokoh Zukic merupakan salah seorang pemain sepakbola yang sempat dilirik oleh Liverpool dan hampir pasti bergabung. Namun karena suatu insiden, Zukic tak meneruskan kariernya di sepakbola.
Banyak kendala yang dihadapi Will pada perjalanannya menuju Ataturk Stadium, Turki. Salah satunya adalah dua tiket yang diberikan oleh ayahnya ternyata palsu. Selain itu juga Will dan Alex dikejar-kejar oleh polisi, karena Alex disangka membawa kabur Will.
Film yang disutradarai oleh Ellen Perry, seorang sutradara yang berasal dari Amerika ini juga mengadirkan Steven Gerrard, Jammie Carragher dan manager Liverpool Kenny Dalglish. Perry Eggleton cukup pandai memerankan tokoh Will Brennan, yang cukup mumpuni memerankan suporter cilik nan jenius, seperti ketika fans Liverpool lainnya meminta dia untuk menceritakan tentang Carragher.

Film yang menampilkan sisi sentimentil seorang fans fanatik yang bersikeras untuk dapat menyaksikan laga klub idolanya ini memilih laga final Liga Champion 2005 sebagai tujuannya. Laga tersebut memang sangat dramatis. Liverpool akhirnya bisa meraih tropi juara setelah sebelumnya harus tertinggal tiga gol dari AC Milan, kemudian dapat menyamakan kedudukan lalu memenangi pertandingan melalui adu pinalti.
Selain film Will ini, ada film lain yang memanfaatkan momen juara tersebut sebagai tema, yaitu film Fifteen Minutes That Shook The World. Namun film tersebut terlihat lebih fiksional ketimbang film Will dan juga lebih melihat perjuangan dari sisi tim, bukan dari sisi suporter.
Pesan yang ingin disampaikan pada film ini cukup jelas. Will sudah tak memiliki apa-apa, termasuk tak memiliki orang tua, tetapi masih memiliki passion dan harapan yang besar untuk dapat hadir langsung di stadion untuk mendukung klub kesayangannya. Begitu besar pengorbanan seorang suporter, bahkan suporter yang masih terbilang cilik tersebut, untuk mencapai tujuannya berada di tengah atmosfer keriuhan dan kebanggaan para suporter lain di stadion. Lagu anthem khas Liverpool, "You’ll never walk alone", sangat cocok sekali, selain sebagai penyemangat tim, juga menjadi penyemangat hidup bagi Will. Dalam perjalanannya menuju Turki, Will tidak seorang diri, dia bertemu rombongan supporter Liverpool yang lain. Ya! Will tidak sendirian.
Dari sekian hal positif yang ditemui dari film berdurasi 1 jam 42 menit ini, ada juga beberapa hal yang terasa janggal. Seperti bagaimana bisa ayah Will mendapatkan tiket palsu, sedangkan dia adalah suporter fanatik yang pastinya memiliki pengalaman. Setidaknya untuk bisa menyadari keaslian tiket tersebut. Hal lainnya adalah seorang anak berumur sebelas tahun harus melintasi beberapa negara di Eropa tanpa memiliki paspor.

Sebagaimana kisah Liverpool di final Liga Champions 2005 yang juga "tidak masuk akal", perjalanan Will seakan mencerminkan perjalanan klub kesayangannya tersebut. Bahwa film ini dinamai "Will", yang juga berarti keinginan, juga seolah merefleksikan klub yang merebut secara paksa kemenangan melalui keinginan tidak mau menyerah dari kekalahan.
Sayangnya semangat yang ingin ditularkan lewat film ini terasa datar dan biasa-biasa saja. Terutama jika dibandingkan dengan emosi yang dicapai dari peristiwa finalnya itu sendiri. Suporter Liverpool yang akrab tentang narasi keajaiban Istanbul, atau bagaimana perjalanan puluhan ribu suporter mencapai stadium Attaturk, dan ingin melihat kedua hal ini terefleksikan dalam satu film nampaknya harus kecewa. Will maupun Fifteen Minutes That Shook The World bukan jadi jawaban atas hasrat suporter yang ingin melihat peristiwa ini diabadikan secara baik dan menarik ke dalam layar kaca.
==
* Penulis: St. Yafet dari Pandit Football Indonesia. Akun twitter @StYafet
(a2s/din)