Begitulah, jauh sebelum kemunculan Garrincha dan Pele, Heleno sudah lebih dulu memukau atmosfer sepakbola Brasil. Jauh sebelum George Best jadi si flamboyan, Heleno sudah lebih dulu memikat banyak perempuan.
Rambutnya di sisir dengan hati-hati dari kiri ke kanan, lalu bentuk belah pinggir itu di kunci dengan gomalina, minyak rambut yang membuat rambutnya tampak basah, abadi dan beku. Gaya rambut macam itu, kelak lebih dari setengah abad kemudian, dipopulerkan lagi di lapangan oleh pemuda Portugal bernama Cristiano Ronaldo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada jurnalis yang pernah memberi kesaksian: saat Heleno mengunjungi rumah seorang temannya yang sedang sakit, semua wanita di rumah itu, mulai dari nenek hingga pembantu, jatuh hati pada Heleno.
Striker yang lahir pada 12 Februari 1920 ini tak ubahnya karakter dalam roman Amerika Latin: romantis sekaligus tragis. Dua kutub itulah, antara romantis sekaligus tragis, yang coba dipadukan dalam film Heleno (2011) besutan sineas Brasil, Jose Henrique Fonseca.
Dia sudah menjadi mitos, kata Jose Henrique Fonseca. Sang sutradara sendiri mengaku kalau dia sudah mendengar nama Heleno sejak kecil. Dengan film ini, Fonseca mencoba membangun serpihan mitos-mitos yang pernah didengarnya tentang sosok Heleno.
Memilih format hitam putih, film ini berusaha menggali lebih dalam karakter Heleno dengan dua kutub yang terus-terusan bersaing dalam dirinya sendiri. Persaingan antara dua kutub tragis dan romantis itulah yang membuatnya diejek sebagai Gilda, karakter Femme Fatale dalam salah satu film Rita Hayworth, karakter yang digambarkan cantik sekaligus sangat temperamental.
Film ini dimaksimalkan sebagai drama yang disusun dengan alur yang tidak linier, bahkan cenderung acak. Fonseca membuka film ini dengan mengeksplorasi kutub tragis dalam diri Heleno [diperankan Rodrigo Santoro]: Heleno yang berada di salah satu kamar rumah sakit jiwa, digambarkan sedang memakan kliping koran tentang masa emasnya.
Dengan pembukaan seperti itu, Fonseca seolah menjanjikan sebuah film sepakbola yang tidak biasa, jikapun film ini masih bisa disebut sebagai film sepakbola. Dengan terutama alasan mahalnya biaya, sangat sedikit scene dalam film ini yang memberikan atau merekonstruksi gambaran pertandingan sepakbola di Liga Brasil di masa itu. Sampai batas tertentu, jika pun disebut sebagai film sepakbola, film ini bisa dikatakan sebagai film yang mengisahkan hidup seseorang yang diangkat sekaligus dihancurkan oleh sepakbola.

Dia bergabung dengan Botafogo pada 1939, saat usianya baru 19 tahun. Sejak pertama kali muncul, dia sudah menjadi pusat perhatian. Walau latihan dilakukan jam 7 pagi, Heleno akan datang dengan rambut klimis dan setelan necis. Di masa itu, gaya ala Heleno itu sudah terlihat mencolok karena 2 alasan: [1] masa itu umumnya para pesepakbola adalah para pemuda miskin dan [2] sepakbola Brasil masih jauh dari mapan untuk bisa memberi upah yang memadai.
Tahun-tahun selanjutnya merupakan masa keemasan Heleno. Berlian Putih milik Botafogo ini jadi top skorer di ajang Campeonato Carioca tahun 1942. Publik pun mulai mengenalinya sebagai sosok yang jenius sekaligus seniman lapangan. Tentu saja dia juga dikenali sebagai pemain yang temperamen di luar dan di dalam lapangan. Heleno tak hanya menumpahkan emosinya pada pemain lawan, tapi juga wasit, pelatih, dan rekan setimnya. Tapi sikap dominan dan temperamen inilah yang membuat dia menjadi kambing hitam bagi paceklik gelar yang dialami Botafogo.
"Pangeran yang Dikutuk", begitu tertulis pada poster promosi film ini. Kutukan itu terasa pula di Botafogo, ketika mereka empat kali berturut-turut hanya mencapai posisi runner-up. Pada 1948, Botafogo dan Heleno berada pada puncak kegemilangan permainan, dan hanya membutuhkan satu kemenangan untuk mengakhiri kutukan selalu menjadi nomor dua. Satu penalti akan membawa Botafogo menjadi juara, namun Heleno gagal menuntaskan penalti yang menentukan tersebut. Botafogo kembali menjadi runner-up, kalah agregat gol.
Di film ini digambarkan betapa kecewanya Heleno setelah pertandingan. Dengan masih berseragam Botafogo dia memukul-mukul dinding kamar mandi, lalu melampiaskan amarahnya dengan mengejek semua pemain Botafogo yang menerima honor sehabis pertandingan. Dia sendiri membagi gajinya sembari mengejek pemain lain sebagai orang yang bermain hanya untuk uang, bukan karena kebanggaan pada Botafogo. Sambil bernyanyi seperti suporter yang berdiri di tribuan, dia menepuk lambang tim Botafogo yang berbentuk bintang di dadanya, lambang yang hampir jadi metafora atas dirinya -- a lonely star.

Itulah sebabnya petinggi Botafogo memutuskan menjualnya ke Boca Junior, meninggalkan istrinya yang sedang hamil, meninggalkan klub yang dicintainya, sambil menahan sipilis yang menggerogoti tubuhnya, dan mulai kecanduan menghisap uap ether.
Di Argentina dia tak bisa mengulangi permainan cemerlangnya di Botafogo. Semua orang menyalahkan temperamennya. Yang bisa dia lanjutkan di Argentina hanyalah keahlian menaklukkan perempuan. Tidak tanggung-tanggung, bahkan di masa itu beradar gosip bahwa dia berhasil membuat affair dengan Evita Peron, istri penguasa Argentina kala itu.

Dia lalu kembali ke Brasil tak lama kemudian. Saat itu, Brasil sedang bersiap menjadi tuan rumah Piala Dunia 1950 dan semua orang sedang menanti selesainya pembangunan Stadion Maracana. Heleno juga hidup dengan keyakinan untuk bermain di stadion itu dan dengan keyakinan akan memenangi Piala Dunia.
Bersama timnas Brasil dia punya prestasi yang bagus. Di tahun 1945, dia menjadi top skorer Copa Amerika, namun lagi-lagi gagal memberikan trofi karena Brasil hanya menjadi runner-up. Copa America berikutnya dia kembali bermain untuk timnas, dan lagi-lagi A Seleccao hanya menjadi nomor dua.
Lalu datanglah pukulan yang mengerikan itu. Di akhir 1949, dalam pengumuman daftar pemain yang akan dibawa ke Piala Dunia 1950, di mana Brasil menjadi tuan rumah, namanya tak ada dalam daftar tersebut.
Dalam film ini digambarkan, hubungan Heleno dengan pelatih Brasil saat itu, Flavio Costa, memang sudah retak sejak lama. Bahkan Heleno digambarkan sempat menodong pelatih yang terkenal otoriter itu dengan revolver kosong.
Sejak gagal bermain di Piala Dunia 1950 itu, sepakbola seperti sudah habis bagi Heleno. Dia mencoba membuat peruntungan baru dengan pergi ke Kolombia untuk bermain bagi klub Atletico Junior Baranquilla.

Kendati gagal memancarkan kembali sinarnya, di Baranquila itu sisa pesonanya masih berhasil memukau seorang wartawan muda yang kelak menjadi salah seorang sastrawan terbesar Amerika Latin, Gabriel Garcia Marquez. Dalam sebuah artikelnya, Marquez menggambarkan penonton sangat antusias datang ke stadion untuk melihat bintang baru mereka, namun bukan berniat untuk memberi tepuk tangan, tapi berniat menonton sambil mencemooh Heleno yang sudah jauh dari masa jayanya, dan hampir jadi badut.
Kolombia menjadi tempat terakhirnya bermain kompetitif. Dia kembali ke Brasil masih dengan harapan bisa bermain di Maracana. Namun sipilis tak hanya menghancurkan fisiknya, tapi juga memorinya, sehingga dokter menyuruhnya untuk berobat total, dengan konsekuensi tidak bisa lagi bermain bola. Inilah satu-satunya momen di mana Heleno terpaksa memohon-mohon orang lain, mengemis pada dokternya, agar tim dokter mengijinkannya bermain tanpa harus berobat.
Tapi sebelum maut itu menjemput, dengan kondisi yang hampir habis dimakan sipilis, dia sempat merasakan satu pertandingan terakhir bersama klub America-RJ. Itulah pertama sekaligus terakhir kalinya Heleno bermain di Stadion Maracana -- sebelum akhirnya dia menjadi penghuni rumah sakit jiwa, selama 4 tahun 10 bulan 25 hari, sampai akhir hayatnya di usia 39 tahun.
===
* Akun twitter penulis: @beepo dari @PanditFootball
(din/a2s)