Terkait propaganda nasionalisme, sudah banyak itu dilakukan melalui medium film. Film yang menyelipkan pesan-pesan nasionalisme memang mudah membangkitkan emosi dan romantika terutama jika dibungkus dengan kisah-kisah perjuangan dan pengorbanan manusia yang mencoba merealisasikan mimpinya.
Nah, spirit dramatis macam itulah yang diadopsi oleh sineas Serbia, Dragan Bjelogrlic, menjadi sebuah film bertemakan sepakbola yang berjudul Montevideo God Bless You. Film ini memang berkisah tentang drama perjuangan Yugoslavia di Piala Dunia 1930 di Montevideo, Uruguay. Episode sejarah itu sering dikenang dan digunakan oleh orang-orang dari etnis Serbia untuk membanggakan keunggulan dan nama besar etnisnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nah, film ini dilatarbelakangi peristiwa keberangkatan timnas Yugoslavia ke Piala Dunia itu. Semua kisah yang dipaparkan di film ini didasarkan pada novel karya Vladimar Stankovic dengan judul yang sama. Vladimar adalah jurnalis olahraga terkemuka di Serbia. Novel dokumenter yang ia buat disusun dengan memanfaatkan serangkaian ingatan penyemir sepatu anak cacat bernama Milla Stanoje yang menjadi bagian dalam tim Yugoslavia saat itu.
Film bermula menceritakan kedekatan antara Stanoje dan Aleksader "Tirke" Tirnanic, seorang pesepakbola muda berbakat idola para anak-anak di lingkungan miskin sudut kota Belgrade. Tirke adalah manusia nyata dan legenda sepakbola Serbia. Bakat terpendamnya terendus oleh BSC Belgrade yang akhirnya menjadikannya sebagai pesepakbola.
Konflik muncul saat Tirke harus berhadapan dengan Blagoje "Mosha" Marjanovic, seorang bintang BSC Belgrade yang enggan posisinya di kanan luar digeser oleh Tirke. Sikap Mosha yang tak bersahabat ini sempat membuat Tirke enggan melanjutkan karirnya bersepakbola dan lebih memilih menjadi buruh pabrik.
Berkat rayuan Stanoje, serta dipermudah oleh luluhnya hati Mosha yang rela memberikan posisinya kepada Tirke, Tirke akhirnya kembali bermain bola. Dari situlah Tirke mulai membangun reputasinya. Tim BSK Belgrade pun akhirnya menjadi juara yang berimbas pada perbaikan ekonomi Tirke sendiri hingga ia mampu membayar utang-utangnya.
Sementara hubungan personalnya dengan Mosha juga semakin membaik. Keduanya malah menjadi sahabat sekaligus menjadi duet penyerang paling berbahaya dalam sejarah sepakbola Yugoslavia. Keduanya mengerek nama Belgrade BSC jadi tim yang disegani.
Hingga akhirnya Ketua FIFA Julies Rimmet mengundang Yugoslavia untuk mengikuti Piala Dunia di Uruguay. Pembentukan tim nasional segera dilakukan oleh federasi. Petakanya, isu-isu politik menyeret sepakbola Yugoslavia dalam konflik yang berlarut.

Pasca Perang Dunia I, terbentuklah Kerajaan Yugoslavia yang merupakan gabungan dari etnis Serb, Croat dan Slovenia. Negara baru ini lebih berkarakter Serbia, terbukti dengan dominasi etnis Serb dalam dunia politik dan militer.
Situasi ini juga berimbas pada dunia sepakbola di Yugoslavia. Bibit-bibit perseteruan etnis mulai terasa dengan pemboikotan etnis Kroat terhadap federasi sepakbola Yugoslavia. Kekecewaan mereka muncul karena dominasi etnis Serb yang semakin menjadi dengan memindahkan lokasi kantor federasi dari Zagreb ke Belgrade. Pemboikotan ini membuat para punggawa timnas Yugoslavia saat itu hanya berasal dari dua klub Belgrade: BSK Belgrade dan SK Jugoslavija Beograd yang tentu saja hanya berasal dari etnis Serbia.
Asa semakin terjal setelah tim terbentuk federasi malah kelimpungan mencari dana keberangkatan ke Uruguay. Pemerintah enggan mendanai rombongan tim karena tak adanya etnis lain dalam tim tersebut.
Belum selesai masalah eksternal, perpecahan internal di dalam tim juga muncul. Lucunya, perpecahan internal ini disebabkan persoalan romantik cinta segiempat antara dua bintang pesepakbola Mosha dan Tirke dengan gadis desa Rosa dan pelukis perempuan nanbohemian, Vampish Valeria.
Mosha adalah simbol maskulinitas. Bagi perempuan, dia adalah lelaki idaman. Badannya semampai, raut wajahnya tampan mewarisi gen orang Balkan, rambutnya disisir klimis dan diminyak biar mengkilat. Playboy kelas kakap ini terpaut cinta kepada Valeria, seorang pelukis cantik yang diperankan Nina Jankovic.
Banyak pengamat film berujar Montevideo God Bless You adalah sebuah hal baru untuk mendobrak film olahraga yang selalu kaku dengan percintaan dan asmara. Hal baru inilah yang mungkin membuat film ini didapuk sebagai Film Berbahasa Asing terbaik pada Academy Awards 2012.
Dulu, bagi orang luar cinta dan kasih sayang memang hal yang langka di Yugoslavia. Dalam sejarahnya, Yugoslavia seperti ditakdirkan sebagai tempat yang sulit bagi bersatunya beragam etnis. Faktor multiras, etnis dan agama di Yugoslavia memang selalu menjadi bumbu perpecahan, perseteruan dan bahkan peperangan di antara mereka satu sama lain. Perpecahan dan perseteruan itu sudah berlangsung lama, sejak Yugoslavia berbentuk kerajaan, bermutasi menjadi republik, hingga kini berintegrasi terkotak-kotak menjadi 8 negara terpisah.
Sebuah adagium Balkan kuno berujar: "Apa yang menimpa kakekku akan menimpaku juga. Maka sebelum menimpaku aku harus bertindak." Pepatah itu lantas jadi pembenaran untuk bertindak lebih dulu. Mereka didorong untuk beraksi lebih dulu, ketimbang didahului. Lebih baik menindas daripada ditindas.
Kini nama Yugoslavia hanya tertulis dalam buku sejarah. Kematian Joseph Broz Tito yang mampu mempersatukan Yugoslavia dengan kediktatorannya dari tahun 1943 hingga tahun 1980 tak mampu diteruskan oleh penerusnya.

Di Balkan, selalu ada gerakan etno-nasionalisme, karena masing-masing etnik atau bangsa merasa lebih aman jika mereka dikumpulkan dalam sebuah negara berdasarkan etnisitas masing-masing. Bermunculanlah negara-negara baru macam Kroasia, Serbia, Bosnia Hergezovina dan lain-lainnya di awal dekade 90an.
Dalam soal sepakbola, chauvinisme juga telah menghancurkan kesebelasan nasional Yugoslavia. Disintegrasi yang terjadi di sana membuat Kesebelasan Yugoslavia akhirnya ikut menjadi porak poranda.
Orang masih ingat jelang Piala Eropa tahun 1992, kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Kroasia dan Slovenia membuat eksodus pemain dari etnis Kroat dan Slovenians dari kesebelasan nasional. Padahal hampir 40% skuat timnas berasal dari etnis tersebut.
Bagaimanapun juga arena sepakbola adalah panggung untuk menumpahkan rasa nasionalisme dan patriotisme kebangsaan. Zvonimir Boban misalnya, si anak Kroasia ini rela menyumbang US$ 100.000 untuk membeli senjata bagi bangsanya guna melawan tentara Yugoslavia. "Melalui sepakbola saya ingin membiayai perjuangan di garis depan," ucapnya secara heroik.
Lain pula cerita si anak Kroasia lainnya, Robert Prosinecki. Gelandang yang saat itu merumput bersama Real Madrid ini merasa gundah. Semula ia ngotot ingin tetap membela Timnas Yugoslavia yang turut andil membesarkan namanya dalam Piala Dunia tahun 1990. Tetapi apa mau dikata, tentara garda Kroasia mengancam akan membunuhnya jika ia tetap keukeuh membela Yugoslavia di Kualifikasi Piala Eropa tahun 1992.
Pelatih Yugoslavia Ivica Osim pun dianggap serupa sebagai pengkianat bangsa Kroasia karena sikap pragmatisnya yang enggan mundur. Ivica adalah seorang Kroasia dan Istrinya muslim Boznia Hergezovina -- kedua bangsa yang memang sedang ditindas Serbia. Akhirnya desakan publik toh membuat Osim dan Prosinecki mundur memperkuat timnas Yugoslavia. Pilihan bijak ketimbang mati konyol membela negara yang bukan bangsanya lagi.
Sulit memang untuk tidak mengidentikkan Yugoslavia dengan Serbia. Dan sulitnya lagi, tentara Serbia sudah telanjur memiliki reputasi buruk dalam menindas etnis yang lain, terutama orang-orang Bosnia. Tentara Serbia bahkan dianggap telah melakukan kekejaman genosida pada dekade 1990an itu.

Saat timnas didominasi orang-orang Serbia, timnas Yugoslavia justru berhasil meraih Juara III di Piala Dunia 1930. Itu selalu dianggap sebagai prestasi terbaik dalam sejarah sepakbola di wilayah Balkan. Dan prestasi itu dicapai ketika timnas didominasi oleh orang-orang Serbia.
Pesan itu dihamparkan dengan cara yang memang bagus. Narasi film ini dengan lembutnya mengisahkan bagaimana kehidupan personal dan profesional pemain sepakbola digubah menjadi kisah tentang ambisi, persahabatan, antusiasme, daya juang dan cinta. Dengan melupakan latar belakang dominasi etnis Serb di tim nasional Yugoslavia yang jadi inti kisah film ini, penonton tetap bisa menikmatinya sebagai sebuah karya film olahraga yang layak untuk ditonton.
Propaganda yang baik, memang selalu dikerjakan dengan cara dan hasil yang juga baik. Propaganda yang asal-asalan, akan mudah membuat penonton jadi merasa muak. Dan film ini adalah sejenis "propaganda" yang dikerjakan dengan bagus.
Tidak bisa tidak, film ini semakin meneguhkan kebanggaan orang Serbia terhadap keunggulan etnis mereka di hadapan etnis-etnis lain di wilayah Balkan, khususnya di wilayah yang dulu tergabung ke dalam negara Yusgolavia. Film ini menambah rasa percaya diri etnis Serb bahwa sejarah sepakbola Yugoslavia terbentuk atas perjuangan etnis Serb, bukan etnis yang lain.
Tidak heran jika film ini disambut sangat antusias di negara Serbia. Kabarnya, film ini hampir ditonton 1 juta orang Serbia. Dengan jumlah penduduk Serbia hanya sekitar 7 juta orang, artinya lebih dari 10 persen orang Serbia menonton film ini.
===
* Akun twitter penulis: @aqfiazfan dari @panditfootball
(a2s/din)