Kala Sepakbola Menyeruak dari Celah Tembok Vihara

The Cup (1999)

Kala Sepakbola Menyeruak dari Celah Tembok Vihara

- Sepakbola
Selasa, 12 Nov 2013 14:00 WIB
Jakarta - Sepakbola adalah agama. Bagi kebanyakan suporter fanatik sepakbola, ungkapan ini kadang-kadang benar adanya. Bahwa sepakbola telah merasuk sedemikian rupa dan menggeser hal-hal lain dalam hidup, bahkan, dijadikan yang utama.

Berapa banyak yang rela merogoh sakunya dalam-dalam untuk mendapatkan tiket stadion? Berapa banyak yang gelisah menanti tim kesayangannya bertanding saat matchday menjelang?

Bagi kebanyakan suporter, fanatisme terhadap sepakbola ini juga jadi hal biasa dalam keseharian. Tidak ditutup-tutupi, dan malah dibanggakan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tapi bagaimana jika panggilan untuk ikut dalam riuhnya sepakbola hadir di balik tembok vihara? Bagaimana jika seorang biksu yang semestinya taat, disiplin, dan jauh dari hal-hal duniawi, malah tergoda untuk menyelinap pada tengah malam demi melihat satu pertandingan?

Jawabannya hadir melalui film 'The Cup'. Film yang dibuat pada tahun 1999 ini bercerita tentang kehidupan biksu saat berlangsungnya Piala Dunia 1998. Diangkat berdasarkan kisah nyata, keseluruhan adegan merepresentasikan keadaan vihara pada umumnya. Hal ini karena sang sutradara Khyentse Norbu memang akrab pada kehidupan vihara sejak kecil.

Karena diangkat dari kisah nyata, film ini tak lepas dari konteks peristiwa yang terjadi saat itu, yaitu biksu Tibet yang hidup dalam vihara terasing.

Semenjak tahun 1950, telah lebih dari satu juta warga Tibet tewas dan 10.000 vihara hancur karena penyerbuan oleh tentara China. Ini membuat banyak penduduk Tibet mengungsi ke negara tetangga secara diam-diam. Banyak keluarga di Tibet pun lebih memilih mengirimkan anak-anaknya ke beberapa negara untuk mempelajari agama Budha.

Di film ini diceritakan bahwa pada tahun 1998, dua orang pria (satu remaja dan satu anak-anak) diungsikan keluarganya ke vihara yang terletak di kaki gunung Himalaya. Di vihara itu, Palden (paman) dan Nylma (keponakan) menerima pendidikan dan orientasi dalam kehidupan biksu.

Di dalam vihara, Palden mendapat kejutan. Apalagi setelah Palden ternyata sekamar dengan Orgyen, biksu muda yang terobsesi sepakbola. Bersama Lodo temannya, Orgyen sering berbuat apa saja demi mengikuti perkembangan sepakbola.

Meski hidup sebagai biksu cilik di vihara, Orygen memiliki berbagai pernak-pernik sepakbola yang lengkap: kaos dengan nama Ronaldo, serta poster dan guntingan majalah yang menempel penuh di dinding kamarnya. Orgyen dan Lodo juga merupakan sumber informasi tentang sepakbola di lingkungan vihara tersebut.

Beragam kegilaan akhirnya terpaksa dilakukan oleh Palden dan Nylma yang merupakan murid baru di vihara itu. Tentu karena ajakan Orygen. Dan hampir semuanya berkaitan dengan sepakbola.

Virus sepakbola pun akhirnya menyebar pada kedua biksu baru ini, meski awalnya tidak mengerti sama sekali tentang sepakbola. Mereka juga lalu terjebak dalam masalah-masalah yang berasal dari sepakbola.

Misalnya saja tertangkap saat keluar malam demi menonton sepakbola. Hukuman memasak di dapur selama sebulan penuh telah menanti, sepulang mereka "nonton bareng".

Berjanji demi Sepakbola

Saat Palden dan Nylma pertama masuk di vihara, sedang berlangsung Piala Dunia 1998 di Prancis. Penggemar sepakbola mana yang mau melewatkan even terbesar sejagad ini? Namun peraturan ketat di vihara menghalangi niat Orgyen, Lodo, dan biksu lain untuk menonton.

Apalagi saat itu Prancis vs Brasil tampil di final Piala Dunia 1998. Bagaimana bisa para biksu muda ini fokus belajar jika tepat malam harinya Ronaldo sedang bermain untuk Brasil? Akan tetapi keinginan untuk menonton sang idola, tidak bisa terlaksana karena mereka sedang menjalani hukuman dari ketua vihara.

Kemudian muncul ide liar untuk "membawa" sepakbola ke vihara, dengan menyewa televisi. Ini dilakukan demi merebut kepercayaan ketua vihara. Agar dia tahu bahwa Orgyen dkk. keluar setiap malam memang untuk menonton sepakbola. Karena tidak mungkin mereka melewatkan event akbar 4 tahunan tersebut. Janji-janji akan jadi murid yang rajin jika diizinkan menonton pun diucapkan.

Pilihan berat harus diputuskan oleh ketua vihara. Apakah mengizinkan para biksu untuk menonton Piala Dunia di vihara? Untuk membawa budaya modern sepakbola ke dalam vihara yang suci. Namun dengan berbagai pertimbangan, akhirnya ide mereka disetujui.

Masalah kembali muncul tatkala uang untuk menyewa televisi tidak ada. Apalagi saat Piala Dunia harga sewanya menjadi naik. Segala cara dilakukan oleh para biksu muda ini untuk mendapatkan uang. Menggalang dana patungan, meminta paksa beberapa orang, dan yang paling menyedihkan adalah menggadaikan barang berharga temanya.

Sebagaimana diungkapkan di atas, ungkapan "football is my religion" sepertinya dapat merefleksikan kondisi mereka. Melanggar aturan dan norma demi sepakbola, bahkan di lingkungan vihara. Kerinduan terhadap sepakbola, meski berkali-kali menimbulkan masalah, ditampilkan secara segar dan jenaka.



Film Rasa Alami

Sang sutradara Khyentse Norbu sangat memperhatikan detil dan keaslian cerita. Ia bahkan memilih lokasi syuting di sebuah vihara asli, yang terletak di kaki gunung Himalaya. Tak hanya itu, sebagian besar pemeran dalam film adalah biksu asli yang memang tinggal di sana.

Meski bukan pemain film profesional, namun para pemeran memainkan aktingnya dengan sangat baik. Tampak alami layaknya bintang film terkenal. Terutama pemeran Orgyen, yang mimik muka seriusnya sering kali mengundang tawa.

Agak tidak terbayangkan sebelumnya, untuk menggambarkan kisah penggemar sepakbola di sebuah vihara. Dua hal yang memang sangat jauh berbeda. Urusan agama dan sepakbola, tentang budaya tradisional dan modern.

The Cup memang menggambarkan vihara sebagai kehidupan tradisional, yang penuh aturan, tata cara, dan istiadat. Sedangkan sepakbola, atau piala dunia khususnya sebagai kehidupan modern.

Padahal dua hal ini bertentangan. Urusan sepakbola adalah menyangkut tentang uang, keriaan, gairah untuk menang, keterikatan terhadap tim, dan hal-hal lain yang semestinya dijauhi seorang biksu.

Namun segalanya menjadi halal jika urusan sudah menyangkut sepakbola. Seperti saat para biksu muda ini harus mengendap-endap keluar dari vihara tengah malam. Demi datang ke tempat nonton bareng di sebuah toko yang tak jauh dari vihara. Dengan pungutan bayaran tentunya.



Film ini juga menggambarkan mimpi pemuda Tibet dan obsesinya pada Piala Dunia, yaitu membela tim nasional Tibet di piala dunia. Hal yang sama dengan jutaan pemuda lain di seluruh dunia di masing-masing negaranya.

Namun sayang, dalam kenyataan sekarang mimpi Orgyen masih mustahil diwujudkan. Jangankan tampil di Piala Dunia. Untuk sekadar berdaulat saja, Tibet masih belum bisa.

Ya, meski tim nasional Tibet sudah terbentuk dan federasi sepakbolanya sudah berdiri (TNFA), tapi status mereka memang belum diakui oleh FIFA. Julukan "The Forbidden Team" bahkan disematkan pada tim ini.

Drama, komedi, dan haru kesedihan mengiringi seluruh bagian dalam The Cup. Kehidupan nyata sehari-hari para biksu cilik berusaha digambarkan oleh sang sutradara. Adegan tertidur, atau bercanda saat berdoa, dan kenakalan remaja lainnya jadi bumbu yang menambah kemenarikan film ini.

Atau misalnya, sembunyi-sembunyi membaca majalah yang dibawa dari luar, agar tidak ketahuan oleh kepala vihara. Kehidupan khas ini mirip dengan suasana lingkungan pesantren di Indonesia, yang erat dan akrab dengan kondisi masyarakat kebanyakan.

Bercerita tentang Tibet, film ini sendiri sesekali disisipi muatan politis, meski aromanya tak kental. Misalnya saja saat Orgyen ditanya tentang pemenang dalam pertandingan Prancis melawan Italia. Dengan cepat ia memilih Prancis. Alasannya? Karena Prancis jadi negara yang mendukung Tibet.

Dengan sinematografi yang sederhana namun bermakna, film ini menceritakan dengan pas kondisi yang terjadi. Keunikan hidup biksu di vihara, keceriaan remaja, kegilaan akan sepakbola, serta bermacam pesan tentang agama, budaya, politik disajikan dengan ringan namun mengena.

Film yang wajib dikoleksi Anda.


====

* Akun twitter penulis: @mildandaru dari @panditfootball


(a2s/din)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads