Memainkan Sepakbola Terindah di Tanah Timor Leste

A Barefoot Dream (2010)

Memainkan Sepakbola Terindah di Tanah Timor Leste

- Sepakbola
Minggu, 01 Des 2013 10:01 WIB
(Catchplay)
Jakarta - Bagi para penggemarnya, sepakbola boleh dikatakan sebagai bahasa universal. Satu lapangan, gawang, dan bola seadanya sudah cukup untuk menjembatani seorang asing dengan tanah yang dipijaknya. Kegembiraan dan gairah bermain bola, seberapa pun klise ungkapan ini, memang mampu "berbicara" pada seseorang yang memang menyukai permainan ini.

Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Kim Sin-Hwan, seorang mantan pemain timnas Korea Selatan yang terdampar di Timor Leste. Sempat akan meninggalkan negara itu, sepakbola liar yang dimainkan kaki-kaki telanjang anak Timor Leste justru menariknya kembali.

Dalam film "A Barefoot Dream" karya sutradara Kim Tae-Gun, cerita Sin-Hwan ini dikisahkan ulang. Satu drama sepakbola luar biasa berlatar belakang Timor Leste ini diangkat dari kisah nyata, yaitu saat Sin-Hwan sukses mengantarkan tim muda Timor Leste juara di Jepang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jika Anda adalah anak-anak generasi 90-an ke belakang, film ini juga akan cocok untuk Anda. Terlebih jika masa kecil anda dipenuhi oleh sepakbola dan mimpi untuk menjadi pemain sepakbola profesional. Semua kenangan masa kecil dan mimpi-mimpi masa lalu Anda akan digambarkan dengan sangat hebat di film ini.

Rutinitas sehari-hari mengajak tetangga untuk bermain bola, tanpa harus sewa lapangan, tanpa alas kaki, tanpa peraturan yang ketat, cukup dengan tanah lapang yang cukup datar dan sebuah bola, akan tergambar di film ini.

Sepakbola dimainkan dengan sangat sederhana, namun justru sangat menyenangkan. Seperti yang diucapkan oleh Sin-Hwan, tokoh utama film ini, pada suatu percakapan, "Siapa bilang kita tidak bisa bermain sepakbola jika miskin?"

Ya, sepakbola yang menarik Sin-Hwan untuk tinggal adalah sepakbola yang dimainkan tanpa beban sama sekali. Tidak perlu wasit atau teknologi apapun untuk membuat permainan menjadi adil. Semua hanya berlandaskan kejujuran para pemain. Permainan berakhir ketika para orang tua sudah memanggil, atau ketika orang-orang dewasa mengambil alih lapangan.

Dalam film ini dikisahkan bahwa Timor Leste baru merdeka selama 2 tahun. Meski timnasnya belum bertanding, namun hampir seluruh anak laki-laki di negeri tersebut bermimpi untuk jadi pemain sepakbola profesional. Indonesia adalah tujuan mereka, mengingat belum adanya liga profesional yang bergulir di Timor Leste.

Meski menyajikan tentang sepakbola yang dimainkan oleh anak-anak yang lugu, film ini sendiri tak lupa memberikan latar yang sebenarnya. Tak hanya menayangkan alam Timor Leste, dalam film, Kim Tae-Gun juga menyisipkan berbagai konflik dan latar belakang sosial Timor Leste, yang kala itu baru memisahkan diri dari Indonesia.

Dengan cerita menarik, yang dimainkan oleh aktor dewasa dan anak-anak secara baik, tak salah jika film ini juga didaftarkan dalam nominasi film berbahasa asing di ajang Academy Awards 2011.

Tak Ada Kebun Kopi di Timor

Cerita bermula dari Kim Sin-Hwan yang datang ke Timor Leste untuk memulai bisnis perkebunan kopi. Namun sayang, perkebunan ini ternyata hanya sebuah bualan yang diciptakan oleh orang Korea lain yang sudah kembali ke negaranya.

Tidak ada perkebunan kopi di negeri yang gersang tersebut, Sin-Hwan pun harus rela mengalami kegagalan bisnis. Ia disarankan untuk kembali pulang ke Korea.

Semua berubah ketika Kim melihat sepakbola di Timor Leste. Ia malah mengurungkan niatnya untuk meninggalkan negeri tersebut. Melihat gairah yang luar biasa di tanah Timor Leste, Kim memutuskan untuk memulai bisnis sepakbola.




Hanya saja, sepertinya Kim Sin-Hwan bukan pebisnis yang baik. Di Timor Leste, Kim malah menjual peralatan sepakbola bermerk dengan harga selangit. Anak-anak yang sehari-harinya bekerja serabutan tentu tidak akan sanggup membeli peralatan tersebut. Bisnis Kim pun kembali gagal.
Kim Sin-Hwan, yang tidak mau menyerah, memutuskan untuk melatih anak-anak sambil menjual peralatan olahraganya. Kim menanamkan mimpi pada anak-anak, bahwa mereka dapat menjadi pemain pro yang bertanding di kancah internasional.

Dengan berbagai macam konflik, cerita kemudian berkembang hingga Kim Berhasil mengantarkan anak-anak Timor Leste juara turnamen di Jepang.

Profesionalisme di Sepakbola Anak

Sekilas, alur cerita film ini memang tidak jauh berbeda dengan drama-drama sepakbola lainnya. Ada cerita tentang mimpi universal, yaitu bermain di tim nasional, berlatih, dan berhasil juara di suatu kejuaraan.

Namun secara tersirat, terdapat banyak hal yang disampaikan sang sutradara melalui film ini. Bahwa untuk juara, tak sekedar punya mimpi.
Berawal dari ketika Kim berusaha mengumpulkan anak-anak untuk membentuk timnya. Hal pertama yang dilakukan Kim bukanlah mempersiapkan taktik dan teknik bermain, melainkan menyiapkan fisik anak-anak. Sepakbola adalah permainan yang membutuhkan kemampuan fisik yang baik. Teknik dan strategi sebaik apapun tidak akan berjalan ketika fisik sudah habis. Ini disadari betul oleh Kim.

Kim kemudian memperkenalkan satu bentuk sepakbola profesional, meski dengan cara yang sederhana. Kim mencoba merekrut Ramos, salah satu anak berbakat dari tim lawan dengan iming-iming sepatu sepakbola gratis.

Ya, inilah contoh sepakbola profesional. Pemain dan klub sama-sama memiliki kewajiban yang harus dipenuhi. Berbeda dengan pemain amatir, pemain profesional memiliki hak yang harus ditanggung oleh setiap klub yang mengontraknya.

Ketika konflik di Timor Leste kembali berkecamuk, Ramos dan Montavio, dua pemain andalan klub yang dibentuk Kim, ternyata memiliki permasalahan pribadi. Kakak Ramos harus berjalan dengan pincang akibat serangan dari pihak keluarga Montavio saat konflik berlangsung. Permainan tim yang sudah berjalan harmonis pun berantakan ketika permasalahan pribadi tersebut hadir ke lapangan.

Dari ilustrasi itu terlihat, bahwa film ini berhasil menggambarkan kondisi sepakbola ideal yang dibutuhkan sepakbola anak di Indonesia saat ini. Anak-anak Indonesia mebutuhkan suatu sistem pembinaan untuk dapat menjadi pemain berbakat. Anak-anak tidak sekedar dipaksa untuk bisa menendang bola, namun dibutuhkan suatu sistem yang baik agar perkembangan anak berjalan ke arah yang diinginkan. Sistem harus dirancang dengan perhitungan matang, bukan dengan cara-cara instan seperti yang sering dipraktekan saat ini.

Anak-anak yang sudah mulai matang, juga harus mendapatkan perlakuan secara profesional. Mereka sudah rela mengorbankan masa mudanya untuk menjadi pemain sepakbola. Maka mereka kemudian berhak untuk mendapatkan perlakuan selayaknya pemain profesional.

Meski demikian, dari film ini terlihat bahwa sepakbola terindah yang kita mainkan adalah sepakbola bertelanjang kaki di lapangan dekat rumah. Penuh keceriaan dan tanpa aturan.

Sepakbola Timor Leste saat ini mungkin bukan kekuatan yang patut untuk diperhitungkan. Prestasi tim nasional Indonesia masih jauh lebih baik dari mereka. Anak-anak Timor Leste yang kemudian berhasil mewujudkan mimpinya untuk bermain di klub Liga Indonesia pun juga dapat dihitung dengan jari.

Namun kita tidak bisa lupa bahwa pada tahun 2009, tim U-16 Timor Leste berhasil membungkam Tim U-16 Indonesia di Solo. Pertandingan ini seharusnya sudah cukup untuk menjadi peringatan kita semua.

Pilihannya hanya dua, berbenah untuk memperbaiki semuanya, atau bersiaplah menerima kenyataan jika nanti anak cucu kita justru memiliki mimpi untuk bermain di klub profesional Timor Leste.




====

*akun Twitter penulis: @aabimanyuu dari @panditfootball

(roz/a2s)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads