Media pun segendang-sepenarian, apalagi untuk laga Pelita Bandung Raya versus Persib di Stadion Siliwangi hari Rabu (13/3/2013) kemarin. Laga yang digelar sehari sebelum Persib merayakan ulang tahunnya yang ke-80 itu, oleh hampir semua media diberi tajuk sebagai "derby Bandung". Untuk menambah sedap, media memuat beberapa pernyataan pemain yang menyiratkan hal serupa. "Ini bakal mirip seperti lawan Persija," kata Hariono. "Tentu yang namanya derby selalu panas," ujar kapten Persib, Atep.
Keberadaan sejumlah nama di PBR yang pernah menghuni Persib semakin meyakinkan media bahwa atmosfer derby memang tak terhindarkan. Eka Ramdani, pernah jadi kapten Persib, kini menjadi kapten Pelita Bandung Raya. Belum nama-nama lain seperti Nova Arianto, Tema Mursadat, Edi Hafid, Edi Kurnia, Munadi, sampai Rendi Saputra. Daniel Darko, yang sempat menukangi Persib pada pramusim 2010, bahkan jadi pelatih interim PBR. Ari Sutedi, pemilik PBR, pernah pula duduk di jajaran direksi Persib.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Praktis, Adjat yang salah satu faktor penting yang membuat laga Persib vs MBR saat itu berlangsung panas. Dengan nyali seorang superstar -- sampai sekarang Adjat tak pernah kehilangan kepercayaan dirinya itu --, tanpa rasa takut dia banyak terlibat dalam duel-duel fisik di lapangan, seringkali dia yang memancing lebih dulu.
Terakhir kali derby Bandung berhasil meruapkan aroma persaingan, dan bahkan memantik keributan sampai ke luar lapangan, saat Persikab Kabupaten Bandung berhasil mengalahkan Persib 1-0 di Siliwangi pada 11 November 1999. Saat itu Persikab diperkuat beberapa mantan pemain Persib yang memberi gelar juara Ligina I. Tercatat Yadi Mulyadi, Asep Dayat dan Gatot Prasetyo saat itu memperkuat Persib. Bahkan kapten Persikab saat itu adalah Robby Darwis.
Kebetulan Adjat (bersama kompatriotnya di MBR, kiper Hermansyah) juga kali ini menjadi asisten pelatih PBR. Bukan rahasia umum di Bandung jika Adjat memang punya perasaan khusus pada Persib. Tahun lalu, dialah satu-satunya mantan pemain Persib yang secara terbuka mengkritik Robby Darwis (yang didapuk sebagai pelatih interim di putaran II musim lalu) dengan keras.
Lengkap sudah. Aroma derby yang panas sepertinya tercium dengan jelas.
**
Ketika babak I Persib-PBR usai, dengan Persib unggul sementara 2-0 melalui Herman Dzumafo dan Sergio van Dijk, seorang teman [dia bobotoh] yang kini bekerja di PBR, bertanya melalui pesan pendek mengenai perimbangan permainan di babak I. Saya jawab ringkas: "PBR grogi. Terlalu banyak kasih respek ke Persib."
Memang seperti itulah yang terlihat. Bahkan saat ke luar dari kamar ganti menjelang kick-off, pemain starter PBR malah membentangkan banner ucapan selamat ulang tahun untuk Persib. Sebuah say hello yang kelewat ramah untuk laga yang disebut-sebut bertajuk derby.
Kecuali Rizky Pellu, Mijo Dadic dan Daniel Darko, hampir tidak ada gestur "perlawanan ala Derby" dari kubu PBR. Bahkan Eka Ramdani bertepuk tangan saat Dzumafo mencetak gol di menit keempat. Tak jelas itu tepuk tangan untuk Dzumafo atau untuk menyemangati rekan-rekannya. Begitu pula dari kubu Persib. Tidak ada gestur dan selebrasi yang kelewat berlebihan.

Ada memang insiden pelemparan botol air mineral ke lapangan saat Eka mengambil tendangan pojok di babak II. Tapi insiden itu pun tak seberapa jika dibandingkan ketika Eka (bersama Christian Gonzales dan Diaz Angga) musim lalu datang ke Siliwangi dengan seragam Persisam Samarinda. Saat itu pelemparan berlangsung massif, bahkan saat Eka hendak masuk kamar ganti.
Tribun pun tidak terlalu penuh. Ketika Eka, Gonzales, dan Diaz Angga datang ke Siliwangi dengan seragam Persisam, tribun di Siliwangi penuh sesak. Kemarin, saat PBR menjamu Persib, tribun praktis hanya terisi 60-70% saja. Padahal laga kali ini sama seperti laga Persisam vs Persib musim lalu: digelar sore hari dan di tengah pekan.
Beberapa bobotoh yang biasanya tak pernah berpikir dua kali untuk membeli tiket, kali ini memilih bersikeras meminjam ID card panpel agar bisa masuk ke stadion dengan cuma-cuma. Tiket 25 ribu rupiah pastilah bukan persoalan besar bagi mereka sebenarnya. Beberapa orang yang saya jumpai di tribun VIP berargumen hampir serupa. Kira-kira argumennya begini: "Buat apa kasih duit untuk Pelita?"
Seorang teman dari Tangerang, yang akan menikah awal April depan, bahkan melakukan sesi pemotretan pre-wedding saat berlangsungnya pertandingan PBR vs Persib Bandung di tribun utara. Derby macam apa yang bahkan sepasang calon pengantin bisa melakukannya dengan leluasa di tribun?
Dan, yeah β¦ Adjat Sudradjat tak sekali pun ke luar dari bench saat pertandingan berlangsung.
**
Tapi barangkali inilah potret sepakbola Indonesia yang sebenarnya: semuanya mungkin, segalanya bisa hadir dengan tiba-tiba.
Derby Bandung kali ini muncul setelah Bandung Raya membeli nama/lisensi Pelita Jaya yang sebelumnya bermain di Karawang (dan sebelumnya bermain di Purwakarta, dan sebelumnya lagi bermain di Soreang, dan sebelumnya lagi bermain di Cilegon, dan sebelumnya lagi bermain di Solo, dan sebelumnya lagi bermain di Lebak Bulus, dan sebelumnya lagi β¦.). Maka lahirlah Pelita Bandung Raya. Lantas munculah kembali Derby Bandung. Sementara pengelola Pelita Jaya sendiri malah membeli Arema Malang.
Jangan lupa juga, Bandung Raya yang Pelita ini bukan satu-satunya Bandung Raya. Ada Bandung Raya yang lain yaitu Bandung Raya yang musim lalu bermain di Divisi III PSSI. Dan jangan salah, Bandung Raya yang bermain di divisi bawah ini tetap ikut kompetisi juga.
Maka ketika ada yang menyebutkan bahwa inilah kesempatan bagi Persib untuk pertama kalinya mengalahkan Bandung Raya -- di tiga edisi perdana Ligina, Persib tidak pernah menang melawan Mastrans Bandung Raya/MBR --, sontak akan muncul pertanyaan: statistik head to head-nya memang pakai yang mana? Persib vs MBR atau Persib vs Pelita Jaya atau Persib vs Bandung Raya + Pelita Jaya?
Jika ingin menambah sedikit keruwetan, saya bisa tambahkan beberapa informasi. MBR yang dulu diperkuat Adjat Sudradjat dan menjadi juara Ligina II itu akhirnya gagal melanjutkan kiprahnya saat Ligina memasuki musim keempat. Penyebabnya sederhana: MBR harus hijrah ke Jakarta dan bergabung dengan Pelita Jaya yang akhirnya memunculkan nama Pelita Mastrans. Ringkasnya, jika dulu Bandung Raya yang "bergabung" ke Pelita, kini gantian Pelita yang "digabungkan" dengan Bandung Raya.
Belum lagi jika kita merujuk hikayat berdirinya Bandung Raya. Saat ikut kompetisi Galatama pada 1978, Bandung Raya dibidani oleh UNI (Uitspanning Na Inspanning/Usaha Nanti Istirahat), salah satu klub tertua di Indonesia yang sudah menjadi bagian klub internal Persib sejak era pra-kemerdekaan. Sampai sekarang, UNI bisa dibilang masih menjadi salah satu "keluarga inti" Persib.
Saya merasa, PBR kali ini berbeda dengan MBR. Sejak awal identifikasi diri yang coba mereka bangun tak bisa melepaskan diri dari citra Persib. Ketika para starter PBR kemarin memasuki lapangan, mereka bahkan mengenakan ikat kepala khas Sunda. Ini gestur yang ingin menegaskan bahwa PBR sedang melakukan atau menghayati apa yang sudah tak lagi diindahkan oleh Persib.

Identifikasi diri yang tak menjauhi citra Persib ini juga kentara dalam struktur personalia di PBR, dari seleksi pemain, ofisial, pelatih bahkan sampai ke pemiliknya. Dengan menggunakan pemain-pemain yang tak lagi digunakan Persib, atau pemain-pemain muda asal Bandung dan Jawa Barat -- ada yang eks-PON Jawa Barat, ada yang eks Persib U-21 --, PBR seakan hendak berkata betapa mereka adalah "Persib yang sebenarnya", "Persib" yang peduli dengan pemain binaan, "Persib" yang peduli dengan pemain-pemain pituin (native Sunda).
Sebagai tambahan, hanya Atep seorang pemain pituin, pemain yang lahir dari pembinaan di Bandung, berasal dari klub UNI (klub yang seperti sudah disinggung sebelumnya justru adalah cikal bakal Bandung Raya sendiri). Pemain pituin lain yang turun di laga ini hanyalah Agung Pribadi, yang masuk pada saat injury time, dan ironisnya harus mengakhiri laga tanpa sekali pun menyentuh bola. Dan, lagi-lagi, Agung ini pun lahir dari klub UNI.
Maka mestikah diherankan jika setelah laga usai dengan hasil 1-3 untuk Persib, para pemain saling berpelukan dan sejumlah para pemain PBR mendatangi hampir semua ofisial Persib. Suatu pemandangan wajar untuk sebuah laga yang biasa, minim atraksi yang memukau (kecuali aksi-aksi van Dijk), strategi kedua pelatih yang monoton, dan atmosfer tribun yang cenderung datar.
Apa boleh bikin. Ini memang hanya laga pseudo-derby. Derby semu, derby "bohong-bohongan".
==
* Akun twiter penulis: @zenrs @panditfootball
(Foto-foto: ANTARA)
(krs/a2s)








































.webp)













 
             
  
  
  
  
  
 