Genealogi Sepakbola Indonesia (Bagian 1): Nusantara Bermain Bola

Genealogi Sepakbola Indonesia (Bagian 1): Nusantara Bermain Bola

- Sepakbola
Jumat, 05 Apr 2013 22:00 WIB
Ilustrasi: lonelyplanet
Jakarta - Genesis sepakbola di dunia ketiga dapat dibaca sebagai sebuah sub-bab dari narasi besar sejarah kolonialisme.

Sepakbola modern memang "dilahirkan" di Inggris dan Inggris pula yang bertanggungjawab menyebarluaskan permainan ini. Inggris dengan mudah menyebarkan permainan ini, termasuk ke dunia ketiga, karena status mereka sebagai negara kolonial terbesar di dunia. Mula-mula ke "tetangga-tetangga" terdekatnya, seperti Skotlandia, Wales dan Irlandia, lalu ke negara-negara Eropa lainnya (seperti Jerman dan Prancis), dan perlahan tapi pasti sampai ke benua-benua yang jauh seperti Afrika, Amerika Latin dan Asia – tidak terkecuali Indonesia.

Kendati demikian, kisah mengenai sejarah sepakbola di Indonesia sudah selayaknya tidak melupakan bentuk kuno sepakbola yang memang sudah dikenal ratusan tahun sebelumnya: sepakraga.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Robert Crego, dalam buku Sports and Games of the 18th and 19th Centuries [hal 29-31], mensinyalir sepakraga sudah dimainkan di banyak wilayah di Asia Tenggara pada akhir abad 11, termasuk di wilayah Melayu. Marco Polo, tulis Crego, mengklaim membawa permainan ini dari China saat mengunjungi wilayah Asia Tenggara. Saat itu, sampai akhirnya pada awal abad 20 diperkenalkan net yang memisahkan dua area untuk masing-masing regu/tim, sepakraga dimainkan oleh sekelompok orang dalam posisi melingkar, satu sama lain menyepak sebuah benda [semacam bola] di udara.

Dalam kebudayaan Melayu permainan ini disebut "sepak raga", di pulau Luzon, Filipina, disebut "sipa", di Birma disebut "chinfhon". Sementara sebutan dalam bahasa Thai untuk permainan ini, "takraw", sekarang bahkan menjadi nama resmi jenis permainan ini. "Takraw" sendiri dalam bahasa Thai kira-kira artinya "bola anyaman". Sementara dalam khasanah Melayu, padanan untuk "takraw" sebagai objek yang ditendang dan disepak disebut "raga".

Di buku klasik Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I: Tanah di Bawah Angin karya Anthony Reid, khususnya pada bab "Pesta Keramaian dan Dunia Hiburan", diuraikan permainan ini dimainkan di Birma, Thailand, Vietnam bagian selatan, Filipina, juga di wilayah Indonesia. Permainan ini di wilayah-wilayah itu dimainkan dengan hampir mirip: beberapa orang membentuk formasi melingkar, lalu memainkan bola satu sama lain agar bolanya tetap melayang di udara dengan cara menyepaknya dengan kaki, lutut atau paha. Bolanya terbuat dari rotan laut yang mirip keranjang kecil nan bulat.

Riwayat ini agak berbeda dengan yang terjadi di Eropa, misalnya Inggris. Bentuk purba sepakbola di sana umumnya sudah memainkan benda [kadang anyaman jerami, kadang kulit, kadang buah-buahan dan kabarnya juga tengkorak kepala] di tanah, bukan memainkannya di udara layaknya sepak raga.

Kitab berjudul Sejarah Melayu yang selesai ditulis pada 1612 sudah melaporkan keberadaan permainan ini pada masa pemerintahan Sultan Alauddin pada abad 13 [1477-1488]. Kitab itu menuliskan pujian bagi seorang bangsawan Maluku yang mempertontonkan kebolehannya bermain sepak raga saat mengunjungi Malaka. Berikut kutipan kitab Sejarah Melayu:

Ada pun akan Raja Maluku itu terlalu tabu bermain sepak raga. Maka segala anak tuan-tuan bermainlah dengan… Raja Maluku. Satelah raga datang kepadanya, maka disepaknya sa-rutus.. dua rutus (kali) maka barulah diberikannya kapada orang lain: maka pada barang siapa hendak diberikannya raga, maka ditunjukkannya tiada salah lagi. Satelah itu maka ia pun dudok di atas kursi merentikkan lelah-nya.

Untuk saya, kutipan yang sudah berusia 400 tahun silam di atas itu secara menakjubkan sudah mencuatkan suatu paralelisme sejarah dengan masa kini: bahkan leluhur sepakbola di Nusantara pun sudah digelar di istana, di jantung kekuasaan dan politik. Terbaca dari kutipan di atas bagaimana seorang penguasa menggunakan sepakraga untuk memamerkan kebesarannya.

Meskipun setiap orang yang ikut bermain sama-sama berusaha mempertontonkan kemahirannya, masih menurut Anthony Reid, toh di masa itu sepak raga tidak untuk dipertandingkan. Sepak raga dimaksudkan untuk memajukan ketangkasan dan untuk melatih tubuh, mengembalikan kelenturan punggung serta tulang tungkai yang pegal karena duduk, membaca, menulis atau bahkan bermain [sejenis] catur.

Sementara Robert Crego menyebut sepak raga saat itu kadang sudah dipertandingkan, biasanya antara satu desa melawan tetangga desanya yang lain. Dengan merujuk bagaimana orang Filipina bermain sepak raga pada masa pendudukan Spanyol, pertandingan berlangsung dengan menghitung jumlah sepakan yang berhasil dilakukan. Sepak raga menjadi bagian tak terpisahkan kebudayaan populer di banyak kebudayaan di Asia Tenggara saat itu. Menjadi pemandangan jamak jika upacara perayaan rakyat menampilkan permainan sepak takraw, dari mulai acara perkawinan, syukuran panen dan pesta di desa-desa.

Telaah Anthony Reid mengenai sepak raga ia tempatkan dalam konteks kegandrungan masyarakat Asia Tenggara akan hiburan, pesta, keramaian dan upacara-upacara massal. Menurut Reid, kegandrungan masyarakat di Asia Tenggara akan permainan salah satunya dimungkinkan karena iklim yang bersahabat dan makanan yang cenderung lebih mudah didapatkan dibanding di belahan dunia lainnya. Mereka boleh jadi memiliki waktu senggang yang lebih banyak untuk dimanfaatkan dengan penghiburan, saling bernyanyi, bermain dan menggelar pesta-pesta.

Permainan perang-perangan di atas kuda [sebagaimana polo di Eropa dan masih diselenggarakan sampai sekarang di Pulau Sumba dalam ritus yang dikenal dengan nama pasolla], berburu binatang, lomba dan arak-arakan perahu di sungai, mengadu harimau dengan gajah atau kerbau, rampogan [melepaskan seekor hariumau di tengah prajurit-prajurit yang mengepungnya dengan tombak] adalah sebagian permainan masyarakat Asia Tenggara yang diinisiasi oleh para bangsawan dan kerajaan. Di luar itu, masyarakat bawah juga punya permainannya sendiri. Berjudi sabung ayam atau dadu atau kartu, permainan menjatuhkan deretan buah-buahan dengan sebiji buah lainnya [mirip bowling] sampai sepak raga menjadi contoh jenis-jenis permainan yang bisa dimainkan oleh rakyat jelata.

Akar tunjang sepak raga yang menancap cukup dalam di masyarakat Asia Tenggara [tak terkecuali di Nusantara] inilah kiranya yang menyebabkan nama sepak raga juga yang pertama kali digunakan untuk kata “voetbal” atau “sepakbola”. Saat Ir. Soeratin mendirikan PSSI pada 1930, nama sepak raga yang pertama kali digunakan, bukan sepakbola.

Ya, awalnya PSSI adalah singkatan dari "Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia".



===

* Akun twitter penulis: @zenrs dari @panditfootball


(a2s/cas)

Hide Ads