Di artikel Sejarah PSSI bagian 1 dan bagian 2 telah disebutkan, cikal bakal PSSI sebenarnya sudah ada sejak 1927 dalam organ bernama Indonesische Voetbal Bond (IVB). Tapi bond-bond anggota tidak puas dengan kinerja IVB, terlebih IVB dianggap terlalu mesra dengan organisasi sepakbola Belanda yaitu NIVB. Alih-alih memperbaiki IVB secara bersama-sama, IVB malah ditinggalkan begitu saja dan akhirnya berdirilah PSSI.
88 tahun silam, tepatnya tahun 1935, dualisme federasi juga pernah membuat organisasi sepakbola para meneer Hindia Belanda hancur lebur. NIVB (Netherland Inlandsche Voetbal Bond) pun bubar berganti dengan organisasi baru bernama NIVU (Netherland Inlandsche Voetbal Unie). Tragisnya, dualisme pun pernah terjadi pada organisasi sepakbola pribumi yaitu PSSI [tentang dualisme federasi sepakbola orang-orang kulit putih akan diuraikan dalam artikel berikutnya].
PSSI versus PSIM Mataram
Saat berdikusi dengan seorang rekan yang dikenal oleh banyak orang sebagai "sejarawan sepakbola Indonesia", Novan Herfiyana, saya mendapat petikan cerita mengenai sejarah dualisme federasi sepakbola Indonesia di masa kolonial.
Dalam kurun waktu 1934-1937, terjadi perselisihan panjang antara PSSI dan PSIM Mataram (Yogyakarta). Lucunya, PSIM Mataram dengan gagah berani keluar dari keanggotaan PSSI dan membentuk organisasi tandingan yaitu PORSI (Persatuan Olah Raga Seluruh Indonesia). Tak tinggal diam, hal ini dilawan PSSI dengan membentuk bond baru untuk menandingi PSIM, yaitu Persim Mataram di Yogyakarta.
Sebuah cerita luar biasa, bukan? Apa yang baru dari klub-klub ISL ke luar dari PSSI dan membuat KPSI jika PSIM pernah melakukannya puluhan tahun silam? Apa yang baru jika PSSI pernah dituduh mengkloning klub jika PSSI era Soeratin juga pernah membuat PSIM tandingan dengan menciptakan Persim Mataram hanya karena PSIM-nya melakukan perlawanan? Tidakkah ini seperti kisah Persebaya yang dikadali rezim Nurdin Halid dan memutuskan melawan dengan ikut membidani LPI dan lantas direspons PSSI era Nurdin dengan membentuk Persebaya tandingan yang semua pemainnya "dikloning" mentah-mentah dari Persikubar?
Entah apa yang jadi motif utama dibalik dualisme ini. Uang-kah? Nampaknya sih bukan, PSSI masih anak ingusan yang belajar tertatih-tatih menghidupi organisasinya sendiri. Semboyan PSSI "amateurizme asas kita" menjelaskan betapa PSSI saat itu masih hidup dari uang iuran anggota dan bahkan pengurus yang sering menombok menalanginya. Kekuasaan yang diperebutkan? Nampaknya juga tidak. Kepengurusan PSSI baru berumur 4 tahun, kalangan bumiputera saja masih banyak yang belum mengenalnya, apalagi orang Belanda.
Tragis memang, umur PSSI yang baru seumur jagung ditambah bergeloranya semangat kebersamaan melawan kolonialisme, tak menjamin kesolidan para anggotanya. Dalam sebuah artikel di Majalah Panji Poestaka tahun 1934 diberitakan, PSIM Mataram menyatakan mengundurkan diri dari PSSI serta membentuk organisasi yang bernama PORSI.
Otentisitas data keluarnya PSIM dari PSSI bisa terlihat dari absennya PSIM dalam kompetisi Windonwedstrijden yang saban tahun selalu dilakukan PSSI. Sejak menjadi juara tiga di tahun 1933, PSIM baru kembali muncul di kompetisi PSSI tahun 1938. Hampir 4 tahun lamanya, PSIM membangkang kepada PSSI.
Di tahun-tahun awal terjadinya konflik, PSSI dengan cekatan merayu pemain-pemain jago PSIM untuk ditarik dan kemudian dipindahkan ke tim kota tetangga yaitu Persis Solo. Salah satu pemain PSIM yang dipindahkan ke Persis diantaranya adalah Kiper Maladi.
Tidakkah ini lagi-lagi mengingatkan keributan antara PSSI da KPSI beberapa waktu lalu? Apa bedanya Maladi dirayu pindah oleh PSSI dari PSIM yang membelot dengan PSSI yang merayu agar Diego Michiels pindah dari Pelita Jaya yang juga membelot ke ISL setahun lalu? Tak ada yang baru!
Meskipun sama seperti PSSI sebagai organisasi sport yang berailiasi ke hal sosial dan politik, tetapi PORSI tak hanya menaungi olahraga sepakbola saja. Berbagai macam klub olahraga di Yogyakarta seperti voli, tenis, badminton, kriket, dll., di Yogyakarta bergabung bersama PORSI. Hal ini membuat gaung PORSI lebih popular dan jelas membuat panas kuping telinga pengurus PSSI.
Saya memang belum menemukan motif utama di balik perpecahan ini, namun Mantan Menteri Olahraga yang juga mantan Kiper PSIM dan Persis, Maladi, dalam tulisan berjudul "Perjalanan Sepakbola Indonesia", ia sedikit mengungkapkan apa yang terjadi dengan konflik tersebut.
Usai turnamen PSSI di Surabaya tahun 1933, pihak Belanda mengajukan ketertarikan bekerja sama dengan PSSI. Hal ini langsung ditindaklanjuti oleh Soeratin dengan menggelar konfrensi pada awal bulan November tahun yang sama di Yogyakarta. Maka dibentuklah komite membahas kerjasama PSSI– NIVB yang diketuai Pamudji dari Surabaya. Diduga kuat dari sinilah muncul konfilik tersebut akibat wakil PSIM yang tak dilibatkan didalam komite.
[Mengenai kerjasama PSSI-NIVB yang akan memuncak di sekitar keikutsertaan Hindia Belanda ke Piala Dunia 1938, akan diuraikan secara lebih rinci dalam artikel yang lain pula]
Keputusan Kongres untuk Pecah Belah PSIM
Ulah PSIM yang keluar dari PSSI dan membentuk organisasi tandingan sempat dikecam oleh semua bond-bond anggota PSSI. Bahkan dalam kongres PSSI bulan Mei tahun 1936 di Bandung, mengeluarkan keputusan hasil kongres menghukum PSIM seberat mungkin akibat tindakan indisipliner yang dilakukan.
Satu bulan usai kongres, tepatnya 27 Juni 1936, untuk menyaingi PSIM Mataram sekaligus menarik massa di Yogyakarta, PSSI di bawah kepemimpinan Soeratin mendirikan sebuah bond baru yang bernama Persim Mataram (ada pula media yang mengatakan Persima Mataram).
Sayangnya kehadiran Persim ternyata tak mendapatkan respon yang bagus dari masyarakat Yogyakarta. Majalah Olahraga edisi Maret 1937 menuliskan untuk membantu mempopulerkan Persim, PSSI berencana menggelar turnamen di Yogya awal tahun 1937, namun rencana itu urung dilakukan karena takut sepi penonton.
Tampuk Kekuasaan Berpindah, Soeratin kabur ke Bandung
Bak seperti api dalam sekam, penandatanganan Gentlement Agreement yang dilakukan antara pihak NIVU dan PSSI tanggal 15 Januari 1937 ternyata membuat perpecahan di kubu PSSI. Beberapa pihak beranggapan bahwa Soeratin boleh menandatangani perjanjian tersebut, asal sudah mendapatkan persetujuan dari Kongres yang akan digelar di Solo bulai Mei 1937.

Karena tak terima dengan usulan Soeratin, tanggal 28-29 Juni 1937 diadakanlah rapat tahunan di Yogyakarta. Sayangnya Soeratin tak bisa datang sehingga pimpinan rapat diserahkan kepada R.A Kasmat. Hasil rapat tersebut akhirnya mengakui perjanjian Gentlement Agreement yang ditandatangani Soeratin. Namun, secara mengejutkan ternyata terjadi perubahan mendasar dalam kepengurusan PSSI.
Tekanan-tekanan yang terus dilakukan anggota PSSI membuat para pengurus PSSI yang didominasi orang-orang Yogyakarta (Mantan pengurus PSIM) seperti R.A Kasmat, Daslam Adiwarsito dan Amir Notopratomo akhirnya mengundurkan diri. "Selamat berpisah, selamat berjuang, kesalahan dan kekecewaan harap dimaafkan. Kami keluar dari urusan tetapi tetap berdiri sebagai barisan," tertulis surat pengurus lama kepada pengurus baru.
Kendati begitu, sosok kharismatik Soeratin tak mampu membuat ia digeser dari jabatan Ketua Umum. Hanya saja, untuk menganttikan peran kepengurusan lama, terpilihlah Dr R.M Soeratman Erwin sebagai Ketua Pengurus Harian dan beberapa pengurus lain yang didominasi oleh orang Solo. Untuk mengikuti keinginan bebearapa bond, akhirnya tampuk kekuasaan dan kedudukan berlalih dari Yogyakarta pindah ke Solo.
Penulis beranggapan, kisruh yang terjadi di PSSI membuat Soeratin geram, terlebih keputusan yang memindahkan kepengurusan dari Yogya ke Solo. Karena lelah dengan konflik yang terjadi, Soeratin pun memutuskan pindah ke Bandung dan menyerahkan semua kepengurusan PSSI kepada tokoh-tokoh persepakbolaan di Solo.
PSIM Kembali ke Pangkuan PSSI

Sebuah catatan dari periode itu mencoba mengabadikan bersatunya PSIM dan Persim itu dengan kalimat yang mencoba puitis:
“Tiada hujan, sunyi angin, sekonyong-konyong kabut bergulung meliputi suasana, sehingga gelap gulita keadaan disitu, bertepuk tangan riuh rendah, tampik sorak gelak-gelak, pihak yang menjadi penonton. Bahagia orang yang mendapat karena perpecahan awak…
Tetapi ratap tangis ibu pertiwi terdengar rindu merdu seperti serunai, memanggil doa pihak yang sesungguhnya sedarah sedaging belaka. Ratap tangis ibu pertiwi menyadarkan mereka yang tengah berada dalam kelupaan, kembali dipakuan ibu…. Dua Voetbal Bond, PSIM dan Persim bersatu kembali
dan bernaung dibawah panji PSSI.”
Paragraf di atas dikutip dari artikel Majalah Olahraga bulan November 1937. Pengurus Persim Mataram Dr Soedigdo dengan sukarela mengubur nama Persim untuk satu nama di Yogyakarta yaitu hanya “PSIM Mataram” semata.
Tapi kisah "kloning" klub karena dualisme federasi tak mungkin lagi dihapus. Dan itu justru terjadi di periode Soeratin, periode yang oleh banyak orang terbiasa dipuji kemuliannya.
====
*Akun Twitter penulis: @aqfiazfan dari @panditfootball
Baca artikel sebelumnya:
Sejarah PSSI (Bagian 1): Dari Depresi Ekonomi hingga Jadi Organisasi
Sejarah PSSI (Bagian 2): Kami Indonesier, Bukan Inlander!
(roz/roz)