Sudah menjadi rahasia umum jika jenderal fasis yang berkuasa di Spanyol sejak 1936 itu tidak menyukai separatisme, tidak terkecuali nasionalisme bangsa Catalan. Dia bahkan melarang penggunaan bahasa Catalan. Barcelona sebagai salah satu representasi bangsa Catalan tak lolos dari represi Franco. Toh, Franco membiarkan ekspresi nasionalisme bangsa Catalan (termasuk penggunaan bahasanya) itu disalurkan di Camp Nou saat menonton Barcelona.
Kondisi itu mesti dibaca dalam konteks bagaimana Franco menyusun kontrol politik. Franco dikenal kejam, tapi dia tahu benar sebuah prinsip yang masyhur dalam politik: jika bisa dikendalikan, kenapa mesti dihancurkan?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di situ, stadion telah menjadi suatu ruang panoptikon (meninjam istilah dan konsepnya Jeremy Bentham): Anda bebas melakukan apa saja, asal di dalam ruang yang sudah kami pantau dari segala penjuru.
*****
Tiga tahun menjelang Franco berkuasa di Spanyol, rezim kolonial Hindia Belanda sudah lebih dulu melakukan eksperimen politik menjadikan sepakbola sebagai alat kontrol sosial dan politik.
Peristiwanya bermula saat berlangsung kompetisi sepakbola NIVB di Bandung sekitar awal Juli 1933. Di masa itu, saat berlangsungnya kompetisi resmi NIVB seringkali digunakan untuk menggelar konfrensi yang dihadiri pewakilan bond-bond anggota.
Dalam salah satu pertemuan, perwakilan sebuah penerbit dari Sukabumi mengusulkan agar diadakan Hari Sepakbola (voetbal-dag). Dalam usulannya, penerbit itu berargumen bahwa Hari Sepakbola bisa digunakan untuk menangani dan menanggulangi dampak buruk meruyaknya pengangguran di Hindia Belanda. Jika disetujui oleh pemerintah, Hari Sepakbola itu sedianya akan dirayakan dengan menggelar pertandingan-pertandingan sepakbola yang bukan hanya diikuti oleh para pengangguran dan gelandangan, tapi juga klub-klub sepakbola. Keuntungan finansial dari pertandingan-pertandingan itu bisa digunakan untuk menyusun program-program sosial pengentasan penyakit sosial yang mewabah karena meningkatnya angka pengangguran.
Untuk diketahui, penerbit yang mengusulkan Hari Sepakbola ini adalah penerbit yang baru saja merilis buku 40 Jaar Voetbal in Nederlandsch-Indie: 1893-1933 yang disusun oleh W. Berretty. Saat itu, buku Berretty menjadi buku pertama yang secara serius melacak akar-akar sepakbola di Hindia Belanda --mungkin seperti penerbitan buku babon Petrus Blumberger yang jadi karya pertama yang secara serius melacak akar-akar gerakan komunisme di Hindia Belanda (Buku De communistische beweging in Nederlandsch-Indie terbit pertama kali pada 1928).
Saat itu masih sulit untuk mengadakan suatu acara sosial dengan menggunakan sepakbola sebagai alat utamanya. Pencanangan Hari Sepakbola adalah upaya memecahkan kebuntuan itu.
Ada beberapa faktor yang memungkinkan usulan itu disambut banyak perwakilan bond yang menghadiri konfrensi NIVB di Bandung. Pertama, tidak ada klub sepakbola yang bersedia menyediakan bantuan atau menyediakan pekerjaan atau kegiatan-kegiatan amal di struktur kepengurusannya. Kedua, tidak adanya pemain di klub-klub yang sudah terbentuk bersedia untuk bermain sehari penuh dalam suatu pertandingan. Ketiga, diperhitungkan akan banyak penonton yang mau datang jika pertandingan itu digelar untuk kepentingan penggalangan dana.
Akhirnya, dalam rapat tersebut, dicetuskan ide untuk mengadakan suatu kompetisi dalam skala besar di seluruh Hindia Belanda pada hari yang sama. Antusiasme yang besar akan datang dalam pertandingan amal ini dan untuk itu pemain-pemain dan masyarakat juga akan turut serta berpartisipasi. Hasil rapat ini tertuang dalam keputusan NIVB yang akhirnya menyetujui ide tentang hari sepakbola ini. NIVB menyurati Central Comite voor Steun aan Werklozen (Komite Pusat untuk Bantuan Pengangguran) memberitahu bahwa NIVB akan memberikan dana bantuan sekitar 15.000 sampai 20.000 gulden dan akan ditransfer ke komite tersebut.
Rencana-rencana pertandingan juga disebutkan dalam surat tertanggal 14 September 1933 tersebut, yaitu pertandingan-pertandingan yang diselenggarakan di kota-kota:
Batavia β Surabaya
Bandung β Semarang
Buitenzorg (Bogor) β Sukabumi
Garut β Tegal
Djokja β Madioen
Blitar β Malang
Dan ternyata, dari jumlah 20.000 gulden maksimal yang direncanakan, tercatat jumlahnya naik menjadi 30.000 gulden! Jumlah ini yang nantinya digunakan untuk tujuan amal dan penanganan masalah pengangguran di Hindia Belanda.
Pencanangan Hari Sepakbola di Hindia Belanda ini sampai saat artikel ini ditulis memang belum berhasil saya temukan tanggal pastinya. Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Cornelis de Jonge, yang terkenal anti-pergerakan kaum bumiputera, mengusulkan tanggal 31 Agustus sebagai hari sepakbola di Hindia Belanda. Hal ini kemungkinan berdasarkan tanggal hari lahir dari Ratu Wilhelmina (Ratu Belanda dari tahun 1890-1948).
Gubernur Jendral de Jonge sendiri menyambut antusias ide ini. Bagi de Jonge, sebagaimana terpapar dalam sambutan resminya, sepakbola pada dasarnya adalah kerjasama tim. "Dan jika permainan ini dapat diselenggarakan pada satu hari khusus, contohnya tanggal 31 Agustus, maka hal ini akan tercermin juga dalam hal kerja sama di tingkat kehidupan nasional," ucap de Jonge.
Dukungan tentang hari sepakbola yang ditujukan untuk kegiatan amal, juga datang dari wakil presiden Raad van Nederlands Indie, Jan Willem Meijer Ranneft, yang menyatakan bahwa, "β¦sepakbola untuk tujuan amal baik untuk dikembangkan lebih lanjut; hal ini tidak ada tujuan negatifnya untuk menetapkan permainan rakyat ini sebagai perantara membantu penanganan kebutuhan masyarakat."
Maka, pertandingan spesial diadakan di beberapa kota dengan tujuan yang mulia. Selain itu, antusiasme masyarakat untuk bermain sepakbola akan meningkat di seantero Hindia Belanda.
Β
Laga Persahabatan Para Tokoh Indonesia ![]() Sebagaimana sudah saya uraikan pada artikel sebelumnya, Husni Thamrin dan Otto Iskandar Dinata sudah pernah bertanding dalam sebuah laga persahabatan pada 16 Mei 1932. Beberapa anggota volksraad, hakim dan jurnalis ikut ambil bagian dalam laga persahabatan itu. 6 tahun kemudian, pada 27 Februari 1938, laga persahabatan untuk menggalang dana kembali dilakukan para tokoh politik kaum bumiputera di Tasikmalaya. Mereka dibagi ke dalam dua kesebelasan yaitu kesebelasan para dokter dan kesebelasan yang merupakan kombinasi para juris [para hakim] dan wartawan. Laga persahabatan itu dilakukan di sesela pertandingan antara kesebelasan Persitas Tasikmalaya dan sebuah kesebelasan Tionghoa yang menjadi anggota VBO [Voetbal Batavia Omstreken]. Dengan merujuk laporan suratkabar Bataviaasch Nieuwsblad edisi 26 Februari 1928 yang berjudul "Doktoren contra Jurnalisten", demikianlah kira-kira susunan pemain kedua kesebelasan itu. Kesebelasan Dokter: dr. Seojoenoes [dokter spesialis saraf] menjadi kiper; dr. Boentaran [spesialis lepra]; dr. Sarwono [spesialis kandungan]; dr. Soeharto; dr. Soeparno [spesialis bakteri]; dr. Slamet Soedibyo [spesialis kulit]; dr. Sowardi [spesialis anatomi]; dr. Z Arifin, dr. M. SJah [spesialis kebidanan], dr. A Rachman [spesialis kejiawaan], dr. Hendarmin [spesialis THT]; Kesebelasan Juris-jurnalis: Mr. Hazairin [spesialis hukum adat]; Mr. Soewandi; Sardjan [wartawan]; Mr. Soerjadi [pengacaran], Thabrani [hoofdredateur surat kabar Pemandangan]; Mr. Moh Sjah; Mr. Ma'moen; Mr. Soedjono; Parada Harahap [jurnalie terkenal dari suratkabar Tjahaja Timoer], Saeroen [jurnalis dari kantor berita Aneta] dan Mr. Hadi. Bertindak sebagai wasit adalah Soetardjo dan Otto Iskandar Dinata. Kehadiran Otto di Tasikmalaya ini menyiratkan sesuatu yang tak dimuat dalam laporan suratkabar Bataviaasch Nieuwsblad edisi 26 Februari 1938 yang jadi sumber susunan pemain dari tim yang berlaga itu. Laporan suratkabar berbahasa Sunda yang dipimpin oleh Otto, Sipatahoenan, seminggu sebelumnya melaporkan kedatangan Otto ke Tasikmalaya untuk meresmikan penggunaan lapangan Dadaha. Pada edisi 16 Februari 1938 surat kabar Sipatahoenan itu ada foto dengan caption berbunyi: Juragan R. Otto Iskandar Dinata, sebagi wawakil PSSI ngiring "ngajampe" lapang Dadaha, keur kasalametan urang Tasikmalaya khususna, dunya voetbal Indonesia umumna [Tuan R. Otto Iskandar Dinata sebagai perwakilan PSSI ikut mendoakan lapangan Dadaha, khususnya untuk keselamatan warga Tasikmalaya dan untuk dunia sepakbola Indonesia pada umumnya]. |
****
Membaca kronik Hari Sepakbola di Hindia Belanda dari perspektif kontrol politik mesti melibatkan pembacaan mengenai konteks sosial-ekonomi-politik yang terjadi di Hindia Belanda pada periode itu.
Secara ekonomi, Hindia Belanda memang sedang dilanda resesi ekonomi yang tak sepele. Depresi Besar yang terjadi di Amerika tak urung berimbas juga pada negeri-negeri di Timur Jauh, tak terkecuali Hindia Belanda.
Krisis itu sebenarnya sudah berlangsung sejak akhir dekade 1920an. Komoditi hasil bumi yang selama ini menjadi andalan perekonomian Hindia Belanda dilanda merosotnya harga. Dari 1929-1930, barang ekspor dari Hindia Belanda mengalami penurunan sebanyak 28%. Dari 1931-1935, pendapatan Hindia Belanda dari ekspor hanya 37% dari total pendapatan yang diperoleh di periode 1920an.
Tidak bisa tidak ini berimbas pada banyaknya industri yang kolaps, terutama dalam bisnis agro-industri yang sejak liberalisasi ekonomi pada 1870-an menjadi urat nadi ekonomi Hindia Belanda. Angka pengangguran melesat naik, berbanding lurus dengan menurunnya pendapatan nasional. Akibatnya gelandangan pun meruyak dan ini mengakibatkan "penyakit sosial" jadi ancaman yang serius. Inilah zaman malaise, yang dalam ingatan dan lidah lokal kerap diucapkan sebagai "zaman meleset".
Di masa itu, kebetulan bandul politik berayun ke arah yang tidak menguntungkan bagi kaum pergerakan. Gubernur Jenderal de Jonge dikenal sebagai tangan besi. Dialah orang yang pernah berkata dengan arogan: "Belanda sudah menjajah Nusantara sejak 300 tahun lalu dan akan berkuasa sampai 300 tahun lagi".
Di sekitar pencanangan Hari Sepakbola itu pada pertengahan 1932 itu, penangkapan besar-besaran dilakukan. Soekarno ditangkap untuk yang kedua kalinya dan kemudian dibuang ke Ende, menyusul selanjutnya Mohammad Hatta dan Soetan Sjahrir ditangkap dan dibuang ke Digoel. Inilah gelombang penangkapan besar-besaran kedua setelah 1925-1927 dilakukan pembungkaman berskala besar pada para aktivis komunis.
Tampaknya, pemerintah kolonial paham bahwa penanganan resesi ekonomi yang mengakibatkan wabah pengangguran ini tak bisa diatasi dengan sikap keras sebagaimana dilakukan pada para aktivis. Terlalu mahal biayanya jika penyakit sosial yang diakibatkan oleh para gelandangan ini diselesaikan dengan cara-cara represif.
Ada banyak pelajaran yang bisa diambil oleh pemerintah kolonial ihwal menangani para gelandangan miskin dan pengangguran ini. Pada sekitar awal 1920an, persoalan ini sempat mewabah di Semarang. Sampai-sampai berdiri sebuah organisasi bawah tanah bernama Sarekat Kere yang menghimpun kaum miskin kota, gembel-gembel, gelandangan, dan para pengangguran.
Sarekat Islam [SI] afdeling Semarang, yang kelak menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia, sadar akan potensi subversif golongan ini. Sarekat Kere adalah bentukan SI Semarang ini. Dan mereka sangat ditakuti orang-orang kaya di Semarang saat itu. Mereka inilah yang menjadi salah satu konstituen Partai Komunis Indonesia begitu partai itu berdiri (Lebih lanjut mengenai Sarekat Kere ini, baca skripsi Soe Hok Gie yang dibukukan dengan judul "Di Bawah Lentera Merah").
Sepakbola digunakan sebagai salah satu modus operandi kontrol politik kolonial. Pencanangan Hari Sepakbola di Hindia Belanda, yang langsung disambut dengan suka cita oleh Gubernur Jenderal arogan, de Jonge, adalah bagian dari modus operandi ini. Pemerintah kolonial paham betapa sepakbola terlalu berbahaya untuk dikendalikan para radikal. Maka alih-alih bersikap represif, sepakbola digunakan dengan sehalus mungkin untuk meminimalisir potensi merusak dari kaum kere dan gelandangan ini.
Ini bisa menjelaskan kenapa federasi resmi sepakbola Hindia Belanda, NIVB (kemudian NIVU), mulai tahun-tahun 1932 ini cenderung melunak pada PSSI, federasi sepakbola kaum bumiputera. Pertandingan antara bond sepakbola di bawah PSSI dengan bond sepakbola di bawah NIVB/NIVU makin banyak dilakukan. Ini berbeda dengan periode 1920an, ketika bond-bond sepakbola NIVB seringkali menolak bertanding dengan bond-bond sepakbola kaum bumiputera.
Puncak kemesraan itu terjadi saat PSSI dan NIVU membuat Gentlemen Agreement yang memungkinkan hubungan antara keduanya bisa lebih akur dan harmonis. Bahwa kemudian Gentlemen Agreement itu dibatalkan secara sepihak oleh PSSI menjelang keberangkatan tim Hindia Belanda ke Piala Dunia 1938 adalah persoalan lain.
Kelak, setengah abad setelah pencanangan Hari Sepakbola itu, pemerintah Indonesia di bawah Orde Soeharto memperkenalkan Porkas dan SDSB yang sepenuhnya dikendalikan oleh Departemen Sosial. Selain digunakan untuk membiayai olahraga Indonesia (faktanya sepakbola Indonesia meraih trofi major di SEA Games 1987 justru saat didanai SDSB ini), dana yang dikumpulkan dari Porkas dan SDSB itu juga diklaim akan digunakan untuk kepentingan sosial (Kami sudah menyiapkan artikel membahas soal politik sepakbola dengan menganalisis fenomena Porkas dan SDSB ini).
Bedanya adalah: para aktivis di era 1980-1990an tak terjebak oleh politik kontrol ini. Mereka menolak Porkas dan SDSB. Sebagian karena alasan moral soal haramnya perjudian, sebagian lainnya (terutama para aktivis saat itu) menolaknya karena dianggap sebagai pengalihan isu dari semakin represifnya negara pada sikap kritis.
====
*akun Twitter penulis: @zenrs dari @panditfootball
(roz/roz)