(Lanjutan dari tulisan pertama, baca di sini)
Dua jam sebelum waktu berbuka puasa tiba, Max Timisela sedang sibuk menggenggam batang kayu sapu lidi. Ia kerahkan tenaga yang tersisa untuk menghempaskan daun-daun kering yang berserakan di depan halaman Gedung Persib di Jalan Gurame. Dia sedang menyapu.
Semenjak awal bulan puasa ini, gedung memang tak terawat. Itu disebabkan karena Max lebih memilih mengawali bulan puasa bersama kerabat dekatnya di Cikalong -- wilayah di dekat perbatasan Purwakarta. Daun-daun yang berserakan itu membuat ia tak sedap memandang. "Lumayanlah bersih-bersih sambil ngabuburit," ucapnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kariernya sebagai pemain di Persib dan sepakbola pun ditutup dengan hal yang menyakitkan: menjadi bagian dari skuat yang "membenamkan" Persib ke jurang degradasi di tahun 1979.
"Habis itu saya langsung pensiun," ucapnya layu, seperti daun-daun yang baru saja disapunya.
Max lahir dari keluaga yang gemar beolahraga. Bapaknya seorang tentara kesatuan Angkatan Udara KNIL. Ia bungsu dari 8 bersaudara. Dari 8 bersaudara itu, 7 di antaranya menjadi pemain bola, satu-satunya saudara perempuannya jadi atlet lari nasional.
Kakak-kakaknya adalah langganan Persib bahkan tim nasional: Henkie Timisela, Freddie Timisela atau Pietje Timisela. Max adalah Timisela terakhir yang memperkuat tim nasional Indonesia.
Max memang tak sesial Freddy Timisela yang mengguratkan takdir harus mati di usia muda. Tapi Max juga tak seberuntung Hengky Timisela, yang selain bermain bola juga masih sempat memikirkan pendidikan, merasakan kesempatan sekolah ke Jepang, dan pulang jadi pejabat tinggi di perusahaan Astra.
Semasa berjaya sebagai pemain bola, Max lupa bahwa usia akan semakin bertambah. Materi yang dimiliki ia hambur-hamburkan untuk berfoya-foya, tak pernah diinvestasikan. Pendidikan pun ia lupakan.
"Kalau boleh dibilang menyesal, ya… bisa juga. Tapi ya mau gimana lagi, saya sudah telanjur memilih fokus kepada sepakbola," ucapnya seperti mencoba membela pilihannya.
Sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer pernah menulis kalimat yang mungkin tepat untuk mengilutrasikan yang dialami Max itu. "Sifat pemuda: biasa tidak membanding-bandingkan kemungkinan untuk hari depan. Paham mereka hidup untuk hari ini". Itulah yang terjadi pada Max.
Sepakbola yang selalu ia banggakan dan agungkan itu ternyata tak memberi apa-apa di usia senjanya -- kini 69 tahun. Kini pria tua itu hidup terkatung-katung, hanya jadi pesuruh di Gedung Persib. Tugasnya adalah merawat, membersihkan dan menjaga gedung kramat simbol kejayaan Persib itu dari para maling, dari serbuan laba-laba yang membuat sarang, juga dari debu dan daun-daun kering yang beguguran.
Boleh dibilang, Max kini tak ubahnya kuncen Gedung Persib. Ia kuncen karena memang ia hidup, bernafas, makan, tidur dan mandi di sana -- seorang diri selama nyaris 23 tahun.
Di dalam Gedung Persib itu, ada deretan meja rapat yang diapit dan disusun sedemikian rupa di pojok ruangan aula lantai dua. Meja-meja itu untuk menyembunyikan hamparan kasur yang tiap malam dipakainya sebagai alas tidur. Kumal nian kasur busa itu. Saat aula dipakai untuk rapat, tentunya ia harus segera mengungsi, memindahkan baju-baju yang bergantungan dan kasur busa kumal ke dalam gudang sementara waktu. Kecukupannya soal bertahan hidup jangan ditanya. Gaji sebagai penjaga gedung hanya 350 ribu per bulan. Cukup? Jangan tanya. [Lihat galeri fotonya di sini]
Pinjam sana pinjam sini sudah jadi kebiasaan, gali lubang tutup lubang. Pendapatannya yang lain adalah jika ada pertandingan kandang Persib atau Pelita Bandung Raya. Max pasti diperbantukan sebagai bagian dari panitia pertandingan. Sekali laga dibayar Rp 250 ribu. Kalau libur kompetisi tentu ia akan kelabakan.
Perkenalan saya dan Max sudah berlangsung lama, dan kami merasa dekat. Sering kali saya menginap di "rumahnya" itu untuk berbincang-bincang soal sejarah sepakbola, atau sekadar melihat-lihat piala. Ia juga kerap berbaik hati memberi kemudahan saya untuk mengakses arsip-arsip Persib yang tersimpan di lemari besi. Kadang-kadang saya juga memintanya menerjemahkan arsip-arsip koran berbahasa Belanda. [Max fasih berbahasa Londo karena keluarganya dulu biasa berkomunikasi dengan tiga bahasa: Indonesia, Sunda, dan Belanda.]
Secara kasat mata orang memandang Max memang hidup pahit. Cerita kepahitannya jadi folklor [cerita turun-temurun, yang tidak dibukukan] yang kerap didendangkan media massa -- seperti halnya dua gol yang dicetaknya ke gawang Werder Bremen puluhan tahun silam.
Tapi siapa sangka, ia memang lebih memilih kepahitan itu secara sadar, sesuai dengan intuisi kemauannya sendiri. Toh ia tak sesengsara apa yang orang kira. Anak-anaknya kini sudah hidup mapan dalam ruang kesuksesan. Linda Timisela, anak pertamanya, berada di Yunani bekerja di KBRI dan bersuami orang bule. Anak keduanya, Inggrid Timisela, tinggal di Bekasi dalam situasi ekonomi yang mapan. Adapun sang istri diajak oleh Inggrid untuk membantu mengurusi cucu.
Namanya anak, tentu tak tega melihat hidup bapaknya tak keruan. Ajakan untuk tinggal bersama bukan sekali dua kali diajukan anak-anaknya itu. Namun Max selalu menolaknya. Alasannya sederhana: ia tak ingin menyusahkan anak-anaknya. Lagipula ia sudah memilih untuk melakukan apa yang bisa ia lakukan untuk sesuatu apa yang pernah membesarkan namanya: Persib dan Sepakbola.
Sepakbola nyatanya tak kunjung terlepas dari kehidupan Max yang umurnya sudah mendekati kepala tujuh ini. Bagi orang yang selalu berfikir logis, Max adalah master dari pelaku kebodohan. Saat muda dulu ia pernah tolak Werder Bremen akibat nasionalisme. Di masa tuanya pun ia menolak hidup nyaman (bersama anak-anaknya) karena idealisme.
Mengurusi gedung Persib, bercengkrama dengan piala-piala usang, menjadi panitia pertandingan dan sesekali bermain sepakbola bersama para mantan pemain, baginya merupakan anugerah tak terkira yang tak bisa ditebus dengan materi dan hidup nyaman. Anugerah itu yang membuatnya hingga kini masih bugar dan jarang memiliki masalah dengan kesehatannya.
Menurutnya lagi, jauh dari sepakbola adalah sebenar-benarnya kesunyian hidup di masa tua. Bersama keluarga, mungkin ia akan hidup nyaman. Tapi tanpa sepakbola ia akan sakit, sekarat dan mati dengan lebih cepat -- kendati itu mungkin kematian dalam hangatnya dekapan keluarga.

===
* Ditulis dari hasil wawancara dengan @aqfiazfan dari @panditfootball untuk @detiksport
Baca Juga:
Max Timisela (Bagian 1): Folklor Usang Warga Kota Kembang
Galeri Foto: Senjakala Max Timisela, Sang Legenda Sepakbola Indonesia
(krs/a2s)