Seperti sekarang kusut dan rusaknya? Aih, lupakan itu dulu. Atau tunda dulu barang sebentar. Bukan itu pokok bahasan utamanya, walaupun ujung-ujungnya --yah, mau bagaimana lagi?-- akan sampai ke poin itu juga.
Sebagai negeri yang timnasnya belakangan menunjukkan gelagat keranjingan sekaligus ketagihan bertanding dengan klub-klub Eropa, tidak ada salahnya untuk mengenang kembali bagaimana lagu lama ini untuk pertama kalinya diputar. Ini bukanlah lelaku nostalgia, tapi justru untuk mengenang para leluhur yang telah mendahului kita.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dan beginilah lagu lama ketika pertama kali diperdengarkan dulu. Tepat 59 tahun lalu.
*****
Pada edisi No. 30 Tahun IV 20 Desember 1953, Majalah Aneka memuat headline secara besar-besaran: "Th. 1954 P.S.S.I. akan melawat ke Eropa".
Headline tersebut dilatarbelakangi oleh Keputusan Kongres XVI PSSI di Solo, 3-6 Desember 1953. Majalah Olahraga dan Film itu melaporkan: "Menyetujui rencana pekerjaan PSSI tahun 1954/1955β¦. Di antaranya dalam pertengahan tahun 1954 PSSI akan mendatangkan kesebelasan profesional dari Eropa Barat, dan dalam bulan September dan Oktober 1954 kesebelasan PSSI akan melawat ke Eropa."
Siapa klub Eropa itu? G.A.K. Graz dari Austria. Itulah klub pertama Eropa yang berkunjung ke Indonesia.
Sebetulnya, setahun sebelumnya (1953), sudah ada tim Eropa yang datang ke tanah air. Namun, tim tersebut merupakan timnas junior Yugoslavia yang dibawa Asosiasi Sepakbola (Futbalski Savez) Yugoslavia. Kelak, Tony Pogacknik, pelatih tim Yugoslavia itu akan melatih timnas Indonesia. Bukan sekadar melatih, Tony pun akhirnya menjadi WNI (Warga Negara Indonesia) dan berkalang tanah di negeri ini.
Jadi klub Eropa pertama yang berkunjung ke tanah air, G.A.K. Graz sebetulnya sedang berada dalam rangkaian tur ke Asia, yaitu Pakistan, India, dan Indocina (Saigon, Vietnam). Klub Austria itu menjalani delapan kali pertandingan. Dua kali masing-masing di Karachi (Pakistan) dan Kalkuta (India), serta empat pertandingan di Saigon (Vietnam).
Lalu, di Indonesia? Menurut rencana, rombongan klub yang berkekuatan 19 orang, termasuk dua orang pimpinan, itu akan berjumpa dengan Persija Jakarta (18 Juli 1954), PSSI Muda (19 Juli 1954), PSSI (22 Juli 1954), Persebaya Surabaya (25 Juli 1954), dan PSMS Medan (27 Juli 1954). Tiga pertandingan pertama akan berlangsung di Jakarta, sedangkan sisanya di Surabaya dan di Medan. Dalam perkembangannya, G.A.K. Graz menambah satu pertandingan terakhir di Medan, ketika berjumpa tim Angkatan Bersenjata (kombinasi tentara dan polisi).
Kedatangan G.A.K. Graz ke tanah air itu mungkin bisa dijadikan obat pelipur lara setelah dalam Asian Games II/1954 di Manila, Filipina (1-9 Mei 1954), timnas Indonesia yang diarsiteki Tony Pogacknik gagal membawa pulang medali. Meskipun sebelumnya sudah disiarkan bahwa klub Eropa kali ini tidaklah sekuat tim Yugoslavia, kedatangan mereka tetap disambut gembira sekadar untuk kembali menarik perhatian publik pada sepakbola Indonesia.
Saat mendarat di Indonesia, Kolly, pemain G.A.K. Graz, keluar dari pesawat terbang dengan kaki yang dibopong terbungkus gipsverband. Ketika ditanyakan apa yang terjadi, mereka pun bertutur bahwa pertandingan di Saigon benar-benar "kuat" sekali. Bahkan terjadi lempar batu.
Dari kisah ini, kita pun bisa sedikit tahu apa yang terjadi. Bahwa hal yang sama pun dialami oleh timnas Indonesia ketika mengikuti Asian Games II/1954.
Komposisi timnas saat itu sebenarnya mengejutkan penonton. Memang dalam pertandingan itu timnas tidak diperkuat Ramang yang tidak bisa datang. Perannya digantikan Ramli Yatim. Begitu pun M. Sidhi yang tidak hadir. Akhirnya sang pelatih mengisinya dengan Van den Berg. Demikian pula Ramlan Yatim dimainkan, dan bukan Phoa Sian Liong. Ada desas desus pula, Jusuf Siregar tidak mau dipasang karena ketika melawan PSSI Muda dikeluarkan setelah baru main tujuh menit. Sementara Herman Pattipelohy malah disebut-sebut "rupa-rupanya dipasang".
Formasi pemain timnas Indonesia yang dimainkan diisi oleh Van der Vin (penjaga gawang), Chaeruddin Siregar, Chris Ong, Van den Berg, Ramlan Yatim, Tan Liong Houw, Aang Witarsa, Tee San Liong, Ramli Yatim, Djamiaat Dhalhar, dan Herman Pattipelohy. Sayang, "lemahnya" G.A.K. Graz ternyata tidak bisa dimanfaatkan timnas asuhan Tony Pogacknik itu. Timnas Indonesia senior yang bertanding pada 22 Juli 1954 dengan Graz ini malah kalah 0-5.
Di babak pertama, timnas Indonesia sendiri sudah tertinggal 0-2. Alih-alih bangkit setelah turun minum, Djamiat Dalhar dkk. malah semakin kelimpungan dan dipaksa untuk menelan tiga gol tambahan dari tim tamu. Skor akhir: 0-5 untuk G.A.K. Graz.
Skor ini sendiri dapat dikatakan memalukan. Bukan semata karena kalahnya telak, tapi kekalahan yang diderita itu malah lebih parah dari kekalahan yang diterima timnas yunior [PSSI Muda] yang "hanya" kalah 2-4. Jadi, timnas senior malah kalah lebih telak dibandingkan yuniornya: 2-4 berbanding 0-5. Suram, bukan?
Lebih dari 40.000 penonton yang memenuhi Stadion Ikada Jakarta pun akhirnya pulang dengan perasaan kecewa. Padahal, bahwa masyarakat pencinta sepakbola Indonesia mengharapkan agar tim kesayangannya akan bisa menghilangkan perasaan pahit di Asian Games.
*****
Begitulah cerita ketika lagu lama timnas bertanding melawan klub Eropa diperdendangkan untuk pertama kalinya. Dan dari pertama kali didendangkan, lagu lama itu juga sudah menyisakan kekalahan yang tidak enak.
Mohon maaf jika lagu lama ini ternyata sudah tidak enak didengar sejak awal diputar. Dimulai dengan skor 0-5 pada 1954, lagu lama itu terakhir diputar beberapa hari lalu, dan skornya juga malah semakin telak: Indonesia Dream Team 0 vs 7 Arsenal.
Bagaimana dengan laga melawan Liverpool dan Chelsea yang akan segera digelar beberapa hari ke depan? Semoga saja skornya tidak semakin telak. Tidak enak rasanya jika kita harus terus menerus memutar lagu lama yang suaranya semakin sember dan tidak karuan iramanya.
Kalaupun ternyata kalah lebih telak, toh ada apologi yang bisa diajukan: itu bukan timnas Indonesia, tapi Indonesia XI [vs Liverpool] dan BNI Indonesia All Star [vs Chelsea]. Toh, kalah 0-7 dari Arsenal juga bukan timnas Indonesia, tapi Indonesia Dream Team. Tapi kasihan juga Jacksen F. Tiago kalau tim yang diasuhnya tak dianggap sebagai timnas.
Omong-omong, dulu saat menghadapi klub Ferrofiario [klub dari Mozambik] pada 25 Desember 1955, timnas Indonesia yunior saat itu dinamai PSSI Harapan. Tidakkah nama Harapan lebih enak didengar daripada Tim Impian?
Ah, tapi dalam sepakbola Indonesia, ngarep [Harapan] dan ngimpi [Dream Team] itu susah betul dibedakan.
====
*akun Twitter penulis: @novanherfiyana dari @panditfootball
(roz/krs)