Balas Dendam si Kucing Eropa dan Pertarungan Aang Witarsa

Pertarungan Klasik PSSI-Tim Jawara Eropa (bag. 2)

Balas Dendam si Kucing Eropa dan Pertarungan Aang Witarsa

- Sepakbola
Sabtu, 20 Jul 2013 11:08 WIB
Ilustrasi (Stade De Reims/Getty Images)
Jakarta - (Lanjutan dari tulisan pertama, baca di sini)

Minggu, 24 Juni 1955. Sudah menjadi kebiasaaan dahulu kala ada jeda waktu selama dua atau tiga hari antar pertandingan satu ke pertandingan selanjutnya. Ini lain halnya dengan kunjungan Stade De Reims ke Indonesia.

Sehari usai insiden Ikada, sore harinya mereka harus kembali bermain di Surabaya untuk menghadapi adalah klub Tionghoa. Karena faktor kelelahan, jelas pemain yang turun ke lapangan seluruhnya adalah cadangan. Bahkan Raymond Kopa pun hanya bermain di babak kedua. "Untuk menyenangkan orang Surabaya saja," ucap Albert Batteux pelatih Stade De Reims.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Stade De Reims Hanya menang tipis 1-0 di Surabaya.

Kekalahan Termanis Persib Bandung Sepanjang Masa

"Dari Surabaya tadi malam dengan kereta terakhir, Stade De Reims tiba di Bandung, di mana mereka disambut anggota Chung Hua dan banyak penggemar sepakbola. Dengan karangan bunga orang Bandung melilitkannya pada leher mereka, dari stasiun pemain Prancis langsung ke Hotel Grand Preanger," tulis berita di Koran De Preangerbode edisi 26 Juni 1956.

Rabu, 27 Juni 1956. Jauh sebelum Ruud Gullit mencicipi Stadion "Kebun Kentang" Siliwangi, Raymond Kopa cs pernah merasakannya terlebih dahulu. Setelah Persija, klub lokal lain yang diberi kesempatan untuk menjamu De Reims adalah Persib Bandung. Motifnya jelas adalah uang. Di Bandung, lebih dari 30.000 orang saling berdesakan di Stadion Siliwangi yang baru dibangun untuk menyaksikan laga ini.

Hujan deras yang mengguyur Kota Kembang tak menciutkan nyali anak-anak Bandung. Beberapa penggawa timnas seperti Aang Witarsa kembali jadi momok bagi kiper Rene Jacquet.

Di babak pertama, De Reims terlebih dahulu membuka keunggulan 3-0 atas Persib. Namun siapa sangka, saat babak kedua baru lima belas menit berjalan, winger Persib Atik berhasil berdiri bebas di tepi area kota penalti. Tiba-tiba pemain belakang De Reims melakukan tekel diagonal keras sebelum terjatuh lewat sepakan kaki kirinya. Atik lalu berhasil melakukan tendangan ke arah gawang dan memperkecil ketertinggalan jadi 1-3.

Tak dikira, delapan menit sebelum laga usai Witarsa kembali membobol gawang Jancquet untuk kedua kalinya. Tapi kali ini hanya lewat penalti dan tak berakhir tragis seperti insiden Ikada. Isi stadion pun bergemuruh saat pertandingan usai. Kekalahan 3-2 melawan De Reims itu jadi kekalahan termanis bagi Persib sepanjang sejarah klub itu berdiri.

Kisah Mereka yang Terlupakan

Jumat, 29 Juni 1955, Toni Pogacnik kembali bersua dengan Albert Batteux. Kali ini di Kota Padang. Skuat yang diturunkan Pogacnik sama persis dengan saat terjadinya baku hantam di Ikada, yang memang lebih didominasi pemain-pemain muda.

Kondisi tim Prancis itu yang kelelahan, dan juga bermain meremehkan, dimanfaatkan betul oleh pemain-pemain Indonesia. Baru lima belas menit berjalan, pemain asal Semarang, Danu, berhasil cetak gol keunggulan PSSI. Sialnya, sayap timnas Prancis Raoul Hidalgo menyamakan skor tiga menit kemudian.

Pada menit ke-30, salah satu pemain belakang PSSI melanggar dan diganjar hukuman penalti oleh wasit. Berkat hukuman ini Stade de Reims memimpin 2–1.

PSSI sendiri bermain amat apik. Di barisan depan, Liong How dan Ramang berkali-kali beradu skill dengan bek dan kapten timnas Prancis Robert Jonquet. Sementara di lini pertahanan ada centerback Chaerudin yang mengomandoi rekan-rekannya untuk mematikan pergerakan Jean Templin, Raymond Kopa, dan Leon Glowacki.

Akhirnya di menit 35, PSSI mendapatkan hadiah penalti. Berkat gol itu skor akhir pun berubah jadi imbang 2-2. Hasil yang tak enak bagi kampiun Prancis dan runner-up Eropa itu.

Taukah anda siapa yang jadi algojonya? Siapa lagi kalau bukan bintang Bandung Aang Witarsa.

Uniknya kisah De Reims sendiri hampir mirip dengan kisah Witarsa. Keduanya sama-sama dilupakan orang. Jika De Reims tenggelam karena prestasi, maka Witarsa dilupakan karena adanya salah persepsi. Orang selalu mengira Witarsa adalah Endang Witarsa [Pelatih UMS dan Persija Jakarta], padahal dua orang ini adalah orang yang berbeda.

Tarung Ulang di Lapangan Ikada

PSSI dan panitia memang cerdik. Kedongkolan De Reims terhadap hasil imbang lawan PSSI dimanfaatkan betul untuk mengeruk uang tambahan. Sehari usai laga digelar, pihak panitia menawari mereka untuk melakukan tanding ulang. Hal ini dikatakan panitia dari Chung Hua yaitu Lim Eng Chin.

Saat emosi tinggi mendominasi kubu De Reims, PSSI malah diuntungkan. Klub Prancis itu pun setuju dengan adanya tanding ulang. Lucunya, saking ingin balas dendam kepada PSSI, mereka membatalkan kunjungan mereka ke Vietnam. De Reims Lebih memilih menyalurkan nafsu penasaran untuk kembali mengalahkan PSSI yang membuat mereka malu lewat insiden Ikada dan Kota Padang.

Sesuai dengan agenda, sebelum meninggalkan Indonesia, laga terakhir yang mesti dijalani De Reims adalah di Kota Medan. Mereka menghadapi PSMS Medan pada Minggu, 2 Juli 1955. Secara gentleman mereka menepatinya. 'Ayam Kinantan' pun dikuliti habis-habisan 6-1.

Setelah melepas penat sejenak di Danau Toba, tim De Reims kembali ke Jakarta. Konsentrasi diarahkan untuk menghadapi laga balas dendam kepada PSSI, dan tentu saja Jacquet kepada Witarsa.

Rabu, 7 Juli 1955. Tensi tinggi antara dua kubu tak jadi jaminan stadion dijejali penonton. Bodohnya, panitia malah menggelar laga di hari kerja. Alhasil warga ibukota lebih memilih mencari nafkah ketimbang datang ke Ikada. Kendati begitu, Wakil Presiden Moh. Hatta, ketua parlemen Mr Sartono, Duta Besar Uni Soviet Mr Zhukov, dan otoritas lainnya tetap hadir menonton timnas.

Mendapatkan kesempatan balas dendam, De Reims tampil trengginas dan tak lagi main-main. Malahan PSSI-lah yang kemudian main defensive sehingga laga tak menarik disaksikan. Meski bertahan terus menerus, toh gawang Maulwi Saelan tetap saja kebobolan lewat dua gol dari Templin dan Glowacki di babak pertama. Ini membuat berang pelatih Toni Pogacnik.

PSSI sebenarnya punya banyak peluang. Liong How, Ramang, Witarsa, dan Danu berkali-kali menguji kemampuan Jacquet. Tetapi performa kiper tengik itu memang sedang ciamik. Ketengikannya ini kadang membuat ia "berlagu" dengan men-jugling bola atau menahan bola dengan dadanya saat menerima serangan PSSI.

Tetapi performa Rukma Sudjana, Chaerudin, Tio Him Tjiang, dan Kwit Kiat Sheek bolehlah diacungi jempol. Mereka tak memberi kesempatan kepada De Reims untuk menguasai bola di area final-third PSSI. Kiat Sheek malah lebih parah. Di menit 30 ia menekel pemain termahal dunia, Raymond Kopa, sampai menggelapar kesakitan. Akibatnya Kopa pun ditarik keluar karena cedera paha yang dideritanya. Intensitas serangan De Reims lalu sedikit menurun setelah kehilangan Kopa.

Kira-kira 15 menit jelang laga usai, barulah PSSI diberi kesempatan untuk menyerang. Winger Persib Ade Dana ditempatkan Pogacnik di sayap kanan untuk menggantikan Ramli. Sementara posisi di tengah diganti oleh Djamiat Dahlar, sang bintang Persija, dan di kiri masih tetap ada "Si Macan Bola" Ramang. Pergantian ini membuat Danu lebih leluasa di depan. Alhasil ia pun mencetak gol tujuh menit jelang laga usai.

Beberapa detik sebelum wasit meniup laga berakhir, kapten De Reims Jonquet membuat pelanggaran fatal di kotak penalti. Wasit lalu memberikan hadiah penalti bagi PSSI sebagai kado perpisahan kepada Indonesia dan Witarsa. Skor akhir menunjukkan angka 3-2 untuk kemenangan De Reims. Kekalahan dengan selisih satu gol lawan finalis Champions Eropa ini, mungkin jadi cerita yang tak akan terulang kembali.

====

*Akun Twitter penulis: @aqfiazfan dari @panditfootball

*Baca Juga:
Pertarungan Klasik PSSI dan Tim Jawara Eropa (bagian 1): Pertarungan Kucing Eropa dan Tikus Asia


(roz/roz)

Hide Ads