'Menciptakan Pele Merupakan Pekerjaan Suatu Bangsa'

Hikayat Toni Pogacnik (Bagian I)

'Menciptakan Pele Merupakan Pekerjaan Suatu Bangsa'

- Sepakbola
Selasa, 23 Jul 2013 15:32 WIB
Jakarta - Di antara pemain-pemain muda yang sedang berlatih di lapangan Ikada, kehadiran sosoknya tampak mencolok. Badannya yang kurus dan menjulang tinggi hanya berbalutkan celana pendek putih dan sepatu bola hitam. Di sekitarnya, belasan anak muda tampak asyik memperhatikan semua peragaan tentang bagaimana caranya mengolah si kulit bundar dengan benar.

Sesekali tangannya terentang untuk menyeimbangkan badan, sementara di waktu yang lain ia "berakrobat" dan menunjukkan teknik untuk menguasai bola walau jatuh tergelincir.

Sosok ini adalah Antun 'Toni' Pogacknik, salah satu pelatih legendaris timnas Indonesia yang didatangkan dari Yugoslavia di era kepemimpinan Maladi sebagai Ketua Umum PSSI.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berbeda dengan pelatih timnas pada umumnya yang hanya mengurusi kalah-menang tim, pelatih yang akrab dipanggil Tony ini memang sering terlibat langsung dalam memberikan dasar-dasar teknik sepak bola pada pemain muda. Dia bukan tipikal pelatih yang sudah puas dengan sekadar memberi instruksi.

Karena itu, tak heran setahun setelah lututnya cedera pada 1953, Toni lebih memilih untuk pensiun sebagai pelatih atau trainer. Tak mungkin lagi baginya untuk berada di tengah-tengah lapangan untuk memberi contoh secara langsung cara menendang, menyetop, atau menggiring bola.

Namun, dalam masa singkatnya sebagai pelatih timnas Indonesia, Toni berhasil membawa timnas meraih berbagai kemajuan: meraih tiket semifinal pada Asian Games 1954 di Manila, menahan imbang Uni Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne 1956, dan merebut medali perunggu pada Asian Games 1958 di Tokyo.

Disetujui Soekarno dan Tito

Adalah Maladi yang jadi aktor utama di balik kedatangan Toni ke Indonesia. Kala itu Maladi yang melihat langsung Olimpiade Helsinki 1952 terpincut dengan gaya permainan tim Eropa timur yang dilatih Toni tersebut. Menurut Maladi, gaya yang dikembangkan Toni akan pas jika dimainkan oleh para pesepakbola Indonesia.

Maladi kemudian secara terang-terangan meminang Toni untuk melatih timnas Indonesia. Namun, tentu saja permintaan ini ditampik oleh Toni karena ia membutuhkan izin dari pemerintah Yugoslavia. Apalagi kala itu Indonesia sendiri belum memiliki hubungan diplomatik dengan negara yang kini telah terpecah jadi Serbia, Kroasia, dan Montonegro tersebut.

Oleh pimpinan organisasi sepakbola Yugoslavia, Maladi lalu disarankan untuk mengundang timnas Yugoslavia terlebih dahulu dan membuka hubungan persahabatan antara pemerintah Indonesia dan Yugoslavia. Maladi pun kemudian mengatur agar tim Yugoslavia-B datang ke Indonesia dan melakukan 5 kali pertandingan persahabatan, di antaranya melawan Persib, PSSI Jateng, Persebaya, Persija, dan timnas Indonesia.

Boleh dikatakan jika Toni datang ke Indonesia di saat PSSI sedang getol-getolnya mengadakan pertandingan internasional sebagai cara untuk membangun kekuatan timnas. Bahkan, dalam periode 1951 hingga 1962 (dua belas tahun), terhitung 180 kali timnas Indonesia melakukan pertandingan persahabatan internasional.

Presiden Soekarno pun lalu memberikan restunya atas rencana Maladi. Bahkan, Soekarno memperbolehkan adanya prosesi menaikkan bendera nasional Yugoslavia serta diperdengarkannya lagu kebangsaan sebelum pertandingan. Di masa-masa ini Soekarno sendiri memang sedang membangun hubungan dengan berbagai negara baik di Eropa Timur, Afrika, maupun Asia. Tak heran keputusan ini dengan mudah diambil oleh Soekarno.

Kunjungan Yugoslavia ini --timnas dari Eropa pertama yang bertanding dengan Indonesia-- menjadikan peluang Maladi untuk mendatangkan Toni semakin besar. Setelah melalui surat permohonan resmi, Presiden Broz Tito pun mengizinkan pelatih timnasnya untuk hijrah ke Indonesia dengan ikatan kontrak selama lima tahun.

Kiblat sepakbola Indonesia pun mengarah ke Eropa Timur --hampir sama dengan haluan politik Indonesia saat itu yang dikomandoi oleh Soekarno.

Mulai Melatih di Indonesia

Pada 17 Februari 1954, untuk kedua kalinya Toni Pogacknik kembali menjejakkan kakinya di Indonesia. Kali ini bukan untuk memimpin Yugoslavia, tapi sebagai pelatih/trainer Indonesia dengan tugas untuk meletakkan dasar-dasar sepakbola modern untuk para pemain muda.

Dia datang bersama istrinya di Bandara Kemayoran dengan pesawat maskapai KLM. Kedatangannya disambut Wakil Ketua PSSI R. Kosasih Poerwanegara dan perwakilan KOI [Komite Olimpiade Indonesia] Mohammad Arifin.

"Kewajiban saya yang pertama ialah mempersiapkan kesebelasan Indonesia ke Manila. Setelah Asian Games di Manila itu nanti maka dapat dibuat rencana latihan untuk seluruh Indonesia, disamping mendidik pembantu-pembantu pelatih," ujar Toni pada Majalah IPHOSS mengenai tanggung jawabnya di Indonesia.

Toni sendiri tahu bagaimana beratnya tugas yang akan ia emban tersebut. Menurutnya, dalam wawancaranya dengan Majalah Star Weekly tahun 1956, masyarakat Indonesia sangat "football-minded". Toni menuturkan bagaimana dalam perjalanannya dari Jawa Timur ke Jakarta (saat pertama kali berkunjung) ia melihat hampir semua lahan kosong akan dipasang oleh tiang gawang. Dari desa hingga ke kota.

Tapi dia sadar bahwa kegemaran rakyat Indonesia terhadap sepakbola itu masih belum menghasilkan pemain sepakbola yang memenuhi standar yang cukup bagus, setidaknya standar bagi ukurannya sendiri.

Dalam survey secukupnya yang dia lakukan terhadap kualitas pemain-pemain Indonesia, Toni menemukan beberapa hal utama. Pertama, dia melihat kelemahan taktik pemain Indonesia sangat mencolok. Dia bilang bahwa banyak pemain Indonesia yang punya skill "spektakuler", tapi sangat jauh dari efektif.

Kedua, dia langsung menyadari bahwa umumnya para pemain Indonesia kemampuan fisiknya tidak cukup kokoh dan rata-rata posturnya pun pendek. Dari situlah dia sering sekali menekankan pentingnya kecepatan dan ketepatan dalam bereaksi. Postur pendek itu coba dia maksimalkan dengan menggenjot kemampuan reaksi-reaksi cepat, seperti misalnya sprint-sprint kejut atau jarak pendek.

“Pekerjaan Suatu Bangsa”

Walau berada di negara dengan gairah yang tinggi akan sepak bola, sesampainya Toni di Indonesia ia langsung menyadari bahwa kemauan keras pemain tanah air belum diimbangi dengan kemampuan teknis dan kecerdasan bermain. Dalam hal teknis, Toni berpendapat bahwa kemahiran menembak dan heading-lah yang jadi kelemahan utama pemain-pemain Indonesia.

Namun, "cacat" paling besar dalam permainan, menurut Toni dalam wawancara dengan Majalah Star Weekly Maret 1954, adalah tidak adanya kemampuan untuk secara sadar menciptakan kesempatan sebaik-baiknya.

"Artinya bukan mencari sendiri posisi yang baik untuk melepas tembakan, tapi juga mencari jalan supaya kesempatan mencetak gol terbuka bagi salah seorang atau lebih dari pemain-pemain kawan," ujar pelatih yang menganut formasi W-M ini.

Toni kemudian mencontohkannya dalam permainan sayap, salah satu kelemahan terbesar gaya bermain di Indonesia. Ia berpendapat bahwa seorang pemain sayap yang hanya berlari menyusuri garis tepi lapangan saja, seberapapun bagusnya umpan silang yang bisa ia berikan, akan mudah bagi pemain belakang untuk menghalau umpan tersebut.

Tapi seorang winger yang bergerak ke dalam akan dapat memancing tiga pemain belakang untuk lari menghampirinya. "Secara begitu ia akan membuka kesempatan bagi centre-forward di pihaknya untuk melepas tembakan," tutur Pogacnik.

Dalam wawancaranya dengan majalah Tempo pada 1971, Toni pun kembali menegaskan pentingnya membuka kesempatan untuk rekan setim dalam bermain. Ia menganalogikannya dengan timnas terbaik di dunia saat itu, Brasil.

Kalau Didi (pemain Brasil), menurut Toni, merupakan pemain terbesar di jamannya, karena ia merupakan tipe pemain yang dapat mengatur penyerangan. Akan tetapi Pele lebih berhasil sebagai pemain individual dan berfungsi sebagai pemain yang menarik perhatian lawan untuk membebaskan kawan-kawannya dari lawan. Terhadap pemain jenis Pele inilah Toni berkomentar: "Pele merupakan pekerjaan suatu bangsa."

"Pemain-pemain kita dalam permainan individuil sulit, tapi kalau bermain bersama lebih gampang," tambahnya lagi. Oleh karena itu saat menyinggung pola permainan yang cocok bagi pemain-pemain Indonesia, Toni berkesimpulan: "Bagaimana keadaan orangnya, begitu pula sepakbolanya."

(bersambung)

=====

*akun Twitter penulis: @cakdim dari @panditfootball
*Foto: Pogacnik (dilingkar merah) saat tiba di Jakarta pada 17 Februari 1954 di Bandara Kemayoran.


(roz/a2s)

Hide Ads