'Si Gila' De Laurentiis, Sang Produser Kebangkitan Napoli

'Si Gila' De Laurentiis, Sang Produser Kebangkitan Napoli

- Sepakbola
Rabu, 31 Jul 2013 12:02 WIB
Paolo Bruno/Getty Images
Jakarta - "Saya malu jadi orang Italia! Saya akan pindah kewarganegaraan saja!"

Pernah suatu kali kata-kata ini terlontar dari bibir Aurelio De Laurentiis, sang pemilik klub Napoli. Ini terjadi saat ia menghadiri undian jadwal Serie A musim 2011/2012.

Menganggap hasil drawing tak menguntungkan timnya, seusai meneriakkan kata-kata itu ia meninggalkan ruangan. De Laurentiis pun berujar bahwa ia akan kembali ke dunia sinema saja dan meninggalkan sepakbola. Masih dengan kemarahan yang tidak mereda, di luar ruangan De Laurentiis menghentikan laju seorang pengendara vespa dan memaksa untuk diberi tumpangan kabur dari tempat rapat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jika bukan terjadi pada De Laurentiis, mungkin banyak yang menganggap peristiwa ini aneh dan tak mungkin terjadi. Lagipula, bagaimana mungkin seorang pemilik klub, yang semestinya tampil resmi dan menjaga wibawa, malah kabur dengan skuter di tengah-tengah rapat penting.

Namun, bagi Anda yang akrab dengan Napoli, aksi ini terlihat biasa saja. Bukan sekali dua kali pemilik klub yang juga produser film ini mengejutkan banyak orang. Entah dengan aksi atau perkataannya.

Di kesempatan lain, Gokhan Inler yang kala itu baru diboyong dari Udinese, juga pernah merasakan keeksentrikan De Laurentiis. Saat diperkenalkan sebagai pemain baru Napoli, De Laurentiis meminta Inler untuk mengenakan topeng singa. Keduanya juga sempat berpose untuk difoto dengan mengarahkan telunjuk pada wartawan. Tentu dengan topeng singa yang masih terpasang di muka pemain baru itu.

Para fans Napoli juga mungkin masih ingat bagaimana ia mengenalkan Rafael Benitez secara resmi. Seolah meninggalkan tetek bengek konfrensi pers, berita sahihnya Benitez disampaikan De Laurentiis lewat twitter. Lewat satu foto sederhana yang memperlihatkan ia yang sedang berjabat tangan dengan pelatih asal Spanyol itu.

Bukan Sekadar Gila

Di negeri yang orang-orangnya sangat ekspresif dalam menunjukkan kepribadiannya, sebenarnya kisah mengenai De Laurentiis jadi tak asing. Apalagi Serie A memang memiliki banyak presiden klub yang, katakanlah, akrab dengan hal-hal gila. Nama-nama seperti Maurizio Zamparini (Palermo), Silvio Berlusconi (AC Milan), atau Claudio Lotito (Lazio), bukan sekali dua kali jadi berita karena melakukan atau mengatakan hal-hal aneh.

Namun tak adil rasanya jika menilai De Laurentiis dari kegilaannya saja. Di balik semua tingkah laku dan perkataannya, terdapat sosok yang rasional dan memiliki perhitungan cermat.

Bukan kebetulan jika di musim lalu Napoli berhasil menduduki peringkat dua. Bukan kebetulan pula jika semenjak kembali ke Serie A di musim 2007/2008, Napoli selalu menunjukkan peningkatan gradual. Bahkan, hampir setiap tahun mereka masuk ke kompetisi Eropa, baik itu Liga Champions atau Liga Europa. De Laurentiis-lah yang membuat semua ini mungkin.

Kala dibeli oleh De Laurentiis di tahun 2004 seharga 29,5 juta euro, Napoli baru saja terdegradasi dari Serie B. I Partenopei juga dinyatakan bangkrut dengan utang lebih dari 70 juta euro. Lebih parahnya, Napoli saat itu tidak memiliki peralatan, tempat latihan, atau pemain.

Menyadari dirinya tidak memiliki pengalaman di dunia sepakbola, De Laurentiis cukup cerdik dengan merekrut orang-orang yang kompeten untuk membantunya membangun kembali Napoli. Ia tidak hanya menggelontorkan uang jor-jor-an demi membeli kesuksesan.

Misalnya saja mengontrak Pierpaolo Marino, salah satu director of football tersukses di Italia. Bersama dengan Marino, De Laurentiis berhasil membentuk satu tim hanya dalam waktu 15 hari sebelum Serie C dimulai. Marino juga yang jadi aktor dibalik pembelian murah tapi brillian seperti Ezequiel Lavezzi, Mark Hamsik, atau Walter Gargano.

Demikian pula dengan para arsitek tim. Edy Reja, pelatih yang punya pengalaman di lebih dari 20 klub ini, sukses membawa Napoli dari SerieC ke Serie A. Sementara Mazzari berhasil melanjutkan kerja Reja dan membentuk Napoli menjadi klub papan atas. Memang pernah ada cerita "gagal" dengan Roberto Donadoni. Tapi, De Laurentiis tidak berlama-lama berkutat di permasalahan tersebut dan dengan cepat melepas Donadoni.

Dengan Rafael Benitez pun De Laurentiis seakan ingin membawa timnya ke pentas yang lebih tinggi lagi, meski dengan mengambil risiko. Mantan pelatih Inter itu memang dikenal keras kepala dan tak segan-segan untuk bertengkar dengan pemilik klub yang tak mendukung visinya. Namun, 3 kali menggondol piala kompetisi Eropa tentu jadi bukti yang teramat cukup akan kemampuan Benitez meracik tim.

Di balik sukarnya menangani pelatih semacam Benitez, sebenarnya tersimpan satu ambisi yang bisa membawanya sejauh ini. Ambisi yang dilandasi keyakinan bahwa sebagai kota ketiga terbesar di Italia, Naples tak pantas memiliki klub di kasta terendah.

Tak Mau Diintimidasi

Meski memiliki peringai unik, bukan berarti De Laurentiis tak paham cara mengatur orang. Apalagi sebagai produser film ia terbiasa menangani ego-ego besar para bintang film. Dalam sesi tanya jawab di twitter, ia pun sempat menegaskan hal ini kepada para follower-nya, bahwa mengurusi kontrak seorang artis jauh lebih rumit dibanding pesepakbola.

Dunia film juga yang membuatnya tak mudah diintimidasi oleh siapapun. Baik itu oleh pemainnya sendiri atau klub-klub lain yang akan bernegosiasi dengannya.

Edinson Cavani sang mantan striker juga pernah merasakan kerasnya De Laurentiis dalam bernegosiasi. Ini terjadi saat PSG atau Manchester City menanyakan ketersediaannya di musim transfer. Cavani yang meminta untuk face to face dengan De Laurentiis untuk membahas kontraknya, tak digubris sama sekali.

"Tak perlu ada pertemuan tatap muka dengan Cavani. Ia punya release clause yang harus dipenuhi," ujar De Laurentiis pada wartawan.

Sikap yang sama juga ditunjukkan De Laurentiis saat Liverpool ingin meminang Lavezzi, atau ketika salah satu klub Rusia menawarkan 28 juta poundsterling untuk Hamsik. Kala Lavezzi sedikit merengek agar Napoli mempertimbangkan tawaran klub lain, De Laurentiis bahkan sempat mengancam untuk membangkucadangkan Lavezzi.

"Kita butuh adanya kode etik bagi klub sepakbola. Jika Lavezzi terus-menerus merajuk, maka ia akan menghabiskan 2 tahun -– sisa kontraknya -- dengan tidak bermain," kecamnya kala itu. Sedikit ironis memang, karena De Laurentiis juga mengancam akan melakukan tindakan tidak etis pada Lavezzi.

Dalam kasus Cavani, pada akhirnya De Laurentiis pun tunduk hanya pada release clause dalam kontrak salah satu pemain kesayangannya itu. "Jika bukan karena pasal tersebut, saya tidak akan pernah menjualnya. Bahkan tidak untuk 70 juta euro," tutur De Laurentiis setelah kesepakatan itu terjadi.

"Saat memasukkan pasal itu dalam kontrak Cavani, saya yakin Real Madrid, Manchester City, atau Chelsea, tidak akan pernah mengeluarkan 63 juta euro," tambahnya lagi. Klub-klub itu memang tidak melakukannya, melainkan Paris St Germain.

Lebih Jauh Lagi

Terlihat dari luar, membawa Rafa Benitez dan pemain bintang seperti Raul Albiol, Jose Callejon, Dries Mertens, Pepe Reina, dan Gonzalo Higuain seakan jadi puncak peningkatan Napoli sebagai klub. Berharap lebih dari sekedar masuk Liga Champions dengan pemain bintang dan pelatih papan atas Eropa, mungkin terdengar muluk bagi klub yang tujuh tahun lalu masih bermain di Serie C, bukan?



Akan tetapi, di balik semua aktivitas transfer di musim ini, De Laurentiis sedang menyiapkan Napoli untuk melangkah lebih jauh lagi.

Misalnya saja masalah pembinaan pemain muda. Sampai baru-baru ini, youth system di Napoli masih sangat berantakan. Dengan hanya satu ruang ganti --itu pun untuk tim utama -- di pusat latihan di Castelvorturno, tim muda U-20 Napoli terpaksa berlatih di Marano. Lokasinya kurang lebih 10 km di luar kota Naples.

Rencana yang disiapkan De Laurentiis selanjutnya adalah untuk memperbaiki hal ini. Meningkatkan kapasitas Castelvorturno, membangun sekolah untuk para pemain muda, serta mendirikan semacam La Masia di kota ini jadi proyek selanjutnya. Untuk mewujudkannya, De Laurentiis bahkan telah melakukan studi banding ke akademi di kota Barcelona tersebut saat Napoli bertemu dengan La Blaugrana bulan Agustus lalu.

Tak berhenti sampai di situ, Stadion San Paulo juga akan jadi salah satu hal yang dijamahnya. Ini berarti adanya regenerasi areal sekitar stadion serta menghilangkan trek lari untuk mendekatkan penonton dengan pertandingan.

Janji-janji regenerasi dan perbaikan ini sebenarnya juga sering didengungkan oleh banyak pemilik klub Serie-A lainnya. Tetapi dengan kondisi birokrasi Italia yang sama berbelitnya dengan Indonesia, tak mudah untuk meng-gol-kan satu proyek. Apalagi untuk proyek sekelas regenerasi area. Perlu satu sosok yang cukup gila, ambisius, dan pintar bernegosiasi untuk mewujudkannya.

Sosok itu terdengar familiar bukan?


===

* Akun twitter penulis: @vetriciawizach dari @panditfootball


(din/a2s)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads