Politisasi Terbesar dalam Sejarah Sepakbola

Piala Dunia Qatar (Bagian 2):

Politisasi Terbesar dalam Sejarah Sepakbola

- Sepakbola
Selasa, 26 Nov 2013 09:07 WIB
AFP
Jakarta - Malam itu, 2 Desember 2010, di markas FIFA semua mata dan lensa kamera tertuju pada secarik kertas putih yang dibuka oleh Sepp Blatter. Secara mengejutkan, nama Qatar tertera di selembar kertas itu. Semua orang pun terkaget-kaget. Qatar terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022.

Sejak saat itu juga nama "Qatar" kerap menjadi gunjingan publik. Padahal, tugasnya untuk menunaikan Piala Dunia masihlah amat lama. Masih 12 tahun lagi. Sejak saat itu pula Qatar seolah menjadi black hole. Jadi pusaran politik yang menyedot banyak kepentingan ke dalamnya.

Aroma politik memang terasa kental dalam pemilihan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Tak tanggung-tanggung, dua pejabat tinggi sepakbola, Presiden FIFA Sepp Blatter dan Presiden UEFA Michael Platini, secara terus terang mengakuinya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Awal-Awal Polemik Pemilihan Qatar

Semua itu bermula di tahun 2011. Baru beberapa bulan Qatar berbahagia mendapatkan jatah sebagai tuan rumah, isu membeli suara riuh terdengar lewat bocornya email Sekjen FIFA, Jerome Valckle, pada Wakil Presiden FIFA, Jack Walner.

FIFA pun (terpaksa) turun tangan.

Investigasi dilakukan, tapi nihil hasil. Kekuatan finansial yang jadi daya tawar Qatar dinyatakan wajar dan legal, karena toh calon-calon lainnya pun akan menggelontorkan ratusan juta dolar untuk jadi tuan rumah.

Blatter, yang kala itu belum bermusuhan dengan Muhammad Bin Hammam –(eks) sekjen AFC berkewarganegaraan Qatar--, pun mendukung penuh kemenangan Qatar meski ia memilih Amerika Serikat dalam proses bidding.

Blatter berdalih. Ia berkata bahwa sejak awal abad 19, sepakbola memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional dan kehidupan sosial di Timur Tengah. Tapi, tak pernah sekalipun event kelas dunia sekelas olimpiade atau Piala Dunia hadir di sana. Lewat Qatar 2022, Blatter ingin mendobrak hal itu.

Namun, majunya Bin Hammam pada pemilihan presiden FIFA tahun 2022 membuat Blatter menjaga jarak dengan Qatar. Terlebih lagi setelah korupsi FIFA akhirnya terkuak. Bin Hammam dijatuhi hukuman karena melakukan suap dalam pemilihan Presiden FIFA. Komplit sudah kerenggangan antara Blatter dan Bin Hammam. Meski demikian, banyak yang menganggap sikap Blatter yang menjauh dari Qatar seolah dia ingin cuci tangan. Terlebih lagi banyak eks anggota Exco lainnya berguguran karena tertangkap menerima suap soal bidding Piala Dunia.

Isu transaksi pemilihan tuan rumah sendiri bukan hal baru di olahraga. Penyelenggaraan olimpiade (musim panas) pun pun sering dituding demikian.

Piala Dunia 2018 dan 2022 pun memiliki indikasi yang sama. Mantan ketua FA, Lord Triesman, bahkan pernah berujar tentang betapa banyaknya mafia yang bercokol dalam tubuh FIFA. Nyatanya, beberapa nama yang disebut oleh Lord Triesman kemudian mundur dengan sendirinya.

Blatter yang Mulai Menjauhi Qatar

Imbas kerenggangan antara Blatter dan Qatar terasa betul dalam penyataan implisitnya di awal September lalu. Secara terang-terangan ia mengakui bahwa pemilihan Qatar adalah sebuah kesalahan FIFA. Dan lebih gilanya, ia berujar bahwa anggota komite Exco FIFA yang mendukung Qatar mengalami tekanan Politik.

"Para pemimpin Eropa menganjurkan untuk (Exco) memilih Qatar karena kepentingan ekonomi, " ujar Blatter kepada media Jerman, Di Zeit.

Pernyataan Blatter itu menegaskan bau anyir politik tercium di Piala Dunia 2022. Sesuatu yang haram dalam sepakbola, menurut FIFA. Tetapi toh jadi rahasia umum bahwa Qatar memang memanfaatkan kekuatan finansialnya dalam lobi-lobi. Dan, FIFA menganggap itu wajar.

Padahal, betapa seringnya gimmick klasik "Kick Politic out of Football" terdengar dari FIFA. Tetapi justru mereka yang menghamba pada politik. Bagi FIFA, larangan berpolitik hanya berlaku pada negara-negara anggota, namun tak diterapkan bagi pengurusnya.

Terpilihnya Qatar jadi cukup bukti untuk hal ini.

Lobi-lobi Qatar dilakukan tingkat tinggi. Lobi kelas atas melalui jalur kepala negara lewat sang mantan emir, Hamad bin Khalifa Al Thani. Dengan kekuatan uang, mereka menguji nasionalisme para 22 anggota Exco. Iming-iming kekayaan melimpah lewat kedok "investasi" pun siap dikucurkan asalkan mendukung Qatar jadi tuan rumah.

Spanyol adalah jadi yang pertama didekati oleh Qatar. Pada mulanya mereka bersepakat melakukan tukar suara dalam proses bidding: Qatar mendukung Spanyol-Portugal di Piala Dunia 2018, begitu kebalikannya.

Mengucurkan Dana ke Seluruh Penjuru Dunia

Dalam proses bidding yang melibatkan 22 anggota Komite Exco FIFA, Qatar menang 14 suara dari Amerika yang hanya mendapat 8 suara. Tapi tahukah anda, Beberapa tahun sebelum dan sesudah proses itu, investor-investor asal Qatar menyerbu ke-14 negara tersebut. Diplomasi uang "kampanye terselebung" Qatar pun menyebar ke seluruh dunia.

Bahkan, kasus Paris Saint Germain, Barcelona dan Real Madrid, pun terlihat kecil jika dibandingkan dengan lobi yang dilakukan sang emir.

Di Brasil, bank terbesar di Amerika Selatan: Banco Santander diakuisisi oleh Qatar Investment Authority dengan nilai investasi 2,72 milliar dolar pada tahun 2011. Sementara di Argentina, sang Presiden Cristina Fernandez de Kirchner terbang ke Doha untuk menandatangani kontrak jangka panjang dengan Qatargas, demi pasokan 16% kebutuhan gas Negara. Paraguay pun sama. Mereka dapatkan suntikan dana besar untuk bekerja sama di sektor pertanian dan kontruksi.

Benua hitam Afrika pun menyicipi manisnya uang gas Qatar. Lihat saja Mesir yang mendapat suntikan dana 10 milliar dolar. Di Kamerun, taipan-taipan Qatar menanam investasi di bidang telekomunikasi. Di Pantai Gading, mereka kecipratan kerja sama LNG yang membuat dominasi mereka di bidang energi Afrika Barat semakin menjadi.

Asia pun tak luput. Di Thailand, Qatargas siap melakukan kongsi dagang terkait penjualan LNG. Thailand diplot sebagai pintu masuk Qatar untuk Negara-negara ASEAN lainnya.

Korea Selatan dan Jepang yang diakhir-akhir proses bidding memberikan dukungan pun mendapatkan keuntungan yang sama. Qatar mempersilakan kontraktor dari dua negara Asia timur itu menjadi aktor utama dalam membangun infrastruktur penunjang Piala Dunia di sana. Timbal baliknya, pasokan gas LNG akan terkirim dengan lancar.

Di Eropa, Siprus yang terkena resesi mendapat dana talangan 5 miliar dollar. Sang Emir pun membangun hotel senilai 150 juta dolar di ibukota Nikosia. Sementara itu, Turki diberi dana untuk membangun terminal distribusi LNG gas ke Eropa. Kontraktor mereka pun diajak dalam mengerjakan proyek-proyek Piala Dunia.

Menariknya, pada benua biru Eropa, negara-negara yang tahan banting saat krisis seperti Jerman, Swiss, Irlandia, Rusia dan Belgia enggan memberikan suaranya kepada Qatar. Dolar yang dimiliki Qatar memang lebih menarik bagi negara yang terkena resesi seperti Spanyol, Prancis, Turki dan Siprus. Karenanya, memilih Qatar menurut mereka, mungkin, jadi bagian dari nasionalisme.

Maka tak heran jika Platini dengan mudah dan tanpa beban bisa mengakui tudingan Blatter soal intervensi politik itu.

"Dengan pengaruh luar biasa yang dimiliki Blatter," ujar Platini, "Apakah dia baru saja menyadari bahwa ada kepentingan ekonomi dan politik dibalik penentuan tuan rumah Olimpiade dan turnamen lainnya? Yah, memang lebih baik terlambat, daripada tidak (sadar) sama sekali," ucapnya kepada Guardian seraya menyindir Blatter yang seolah-olah amnesia akan politisasi yang lazim di dalam tubuh FIFA.

Qatar yang Kini Jadi Lebih Liberal

Melihat proyeksi jumlah yang akan dikeluarkan Qatar sebagai tuan rumah, angka 10 juta dan 46 juta dolar yang diajukan Australia dan Amerika Serikat pada proses pencalonan tentu terlihat sebagai receh. Toh jika seluruh dana penyelenggaraan Piala Dunia dari tahun 1930 hingga 2010 digabungkan, jumlah itu masih kalah banyak dengan dana tak terlihat yang Qatar gelontorkan.

Lantas untuk apa semua itu dilakukan?



Qatar adalah sebuah negara kaya kecil yang berusaha menjadi pesaing utama raksasa timur tengah, Arab Saudi. Kendati sama-sama menganut paham Wahabisme (sebuah ajaran Islam Muhammad Al Wahab yang berkembang dan menjadi cikal bakal terbentuknya kerajaan Arab Saudi), Qatar memposisikan diri mereka bertentangan dengan Saudi.

"Saya menganggap diriku wahabi yang baik, dan masih bisa menjadi modern. Mau membuka pemahaman Islam secara terbuka karena kami memperhitungkan perubahan dunia, dan tidak memiliki mentalitas pemikiran tertutup sebagaimana yang dilakukan di Arab Saudi sana," sindir Abdelhameed Al Ansari, dekan Qatar University of Syariah kepada The Wall Street Journal di tahun 2002.

Dogma konsevatif Wahabi ala Arab Saudi memang sudah habis terkikis di Qatar. Dibandingkan dengan negara-negara lainnya di semenanjung Arab, Qatar memang dikenal lebih liberal dan sekuler.

Bayangan cermin negara-negara wahabi dengan ulama yang konservatif, pembatasan ruang gerak perempuan, segregasi gender yang mutlak (melarang gay dan lesbi), pelarangan terhadap alkohol dan rumah ibadah bagi para penganut agama lain tak terjadi di Qatar. Mereka membuka selebar-lebarnya keran pada barat dan dunia.

Di sisi lain, Qatar pun menjalin hubungan mesra dengan kelompok-kelompok Islam yang dibenci barat: Ikhwanul Muslimin, Hamas, Al Qaida dan kelompok perlawanan Suriah.

Ketakutan yang Jadi Cikal Bakal Piala Dunia 2022

Salah seorang pengamat sepakbola Timur Tengah, James M. Dorsey, memaparkan konklusi menarik tentang motif lain Qatar, yaitu untuk keamanan-pertahanan dalam negeri mereka. Ini terutama karena letak geografi Qatar sendiri berada di antara Arab Saudi dan Iran, dua raksasa timur tengah mewakili sunni dan Syiah, yang tak menutup kemungkinan akan saling menabuh genderang perang.

Meski memiliki militer yang super canggih, Qatar merasa tak akan pernah mampu untuk mempertahankan diri saat perang terjadi. Invasi Irak ke Kuwait pada 1990 pun memberikan dua pelajaran pada Qatar: Arab Saudi sebagai polisi saudara tua bukanlah penjamin yang bisa diandalkan dan keyakinan untuk menggantungkan diri pada Amerika Serikat pun dipertanyakan.

Dalam Perang Teluk jilid satu itu, bukan Amerika yang membantu Kuwait, namun koalisi internasional. Tanpa memiliki soft power di dunia internasional itu, Kuwait mungkin hari ini sudah binasa. Kini, soft power ini yang coba direbut Qatar lewat dunia olahraga dan sepakbola.

Setidaknya, sebelum Piala Dunia 2022 digelar Qatar akan merasa aman. Dukungan internasional akan datang bergelombang saat mereka terjebak dalam peperangan. Dunia tak akan tinggal diam, melihat Qatar sang tuan rumah Piala Dunia 2022 itu terkoyak-koyak. Serempak, dunia akan berkata: jangan coba-coba ganggu (proyek kami di) Piala Dunia!

Ya, Qatar telah sukses mempolitisir kecintaan publik sepakbola untuk menghilangkan ketakutan dalam diri mereka! Tak ayal, bagi saya, pemilihan Piala Dunia 2022 adalah politisasi sepakbola terbesar sepanjang sejarah.


===

* Akun twitter penulis: @aqfiazfan dari @panditfootball


Baca artikel sebelumnya:
Piala Dunia Qatar (Bagian 1): Menggunakan Spanyol demi Pencitraan dan Diplomasi Publik




(a2s/krs)

Hide Ads