Obituari Eusebio: dari Mozambik ke Portugal untuk Melegenda

Obituari Eusebio: dari Mozambik ke Portugal untuk Melegenda

- Sepakbola
Senin, 06 Jan 2014 17:04 WIB
AFP
Jakarta - Tepat sebulan dunia ditinggal dua pahlawannya. Pahlawan dalam sepakbola, dan pahlawan dalam pejuangan hak-hak kesetaraan.

Setelah Nelson Mandela wafat, belum lama ini Eusebio pun mangkat. Ya, Eusebio. Striker legendaris SL Benfica dan juga timnas Portugal itu "berpamitan" pada dunia tepat sebulan setelah Mandela wafat. Sang pemain terbaik yang pernah lahir dari benua Afrika itu terkena serangan jantung.

Kawat duka cita berdatangan dari semua kalangan, tak hanya dari dunia sepakbola. Kepergian sang "Black Panther" memang dirasakan oleh banyak orang. Tak pelak, ucapan bela sungkawa pun terus mengalir. Pele, Cristiano Ronaldo, Mourinho, dan tentunya dunia yang belum reda dirundung pilu, harus ikhlas melepasnya pergi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Legenda Si Panther Hitam

Di Maputo, salah satu distrik di negara Mozambik, Eusebio terlahir dengan nama Eusebio da Silva Ferreira. Sama halnya dengan kebanyakan bangsa orang-orang Afrika, Eusebio kecil bermain bola secara otodidak. Dengan bertelanjang kaki tentunya.

Keterampilan mengolah bola mungkin jadi hadiah tuhan untuk Eusebio kecil. Ia bermain begitu lincah dan memiliki tendangan yang baik. Hal ini yang kemudian membuat banyak klub Eropa meliriknya.



Namun, Mozambik adalah negara persemakmuran Portugal. Tak heran bakat hebatnya langsung diendus oleh negara induknya. Eusebio pun lalu diboyong ke Lisbon oleh Benfica di usia 19 tahun.

Penampilannya begitu gemilang. Eusebio muda pun mencetak hat-trick pada debutnya. Dan penampilan cemerlang itu tak pernah surut. Ia mampu membawa Benfica memenangi European Cup 1962. Di partai final, Benfica bahkan menghempaskan Real Madrid 5-3, dengan Eusebio yang mencetak dua gol terakhir. Padahal, kala itu El Real diperkuat Ferenc Puskas dan Alfredo di Stefano.

Secara perlahan, persepakbolaan Portugal mulai terangkat kembali berkat penampilan Eusebio. Portugal kembali diperhitungkan dalam percaturan sepakbola Eropa.

Tak hanya itu, kegemilangannya juga berhasil menepis stigma bahwa imigran asal Afrika hanya mampu menjadi budak yang bisa diperjualbelikan. Maklum saja, pada dekade 60-an-70-an, kasus rasialisme di Eropa sangat tinggi, tak terkecuali di Portugal. Apalagi bangsa Portugis selalu berhebat-hebat dengan yang pernah dibuat oleh pendahulunya lewat penjajahan dan juga pelayarannya.

Walaupun kampung halamannya adalah negeri jajahan Portugal, Eusebio begitu percaya diri menapaki karir di Portugal. Ia tak canggung untuk beramah-tamah dan bergaul di tengah masyarakat Eropa, seakan menegaskan bahwa warna kulit bukanlah pembeda. Berkat prestasinya pula, masyarakat Eropa pun mudah untuk menerima Eusebio di tengah-tengah mereka. Bukan sebagai budak, namun sebagai pahlawan lapangan hijau.

Benar saja, berkat kegemilangannya ia mampu masuk dalam skuat Seleccao das Quinas, atau timnas Portugal. Bukan karena Eusebio tak nasionalis, ataupun enggan memperkuat Mozambik. Namun, Mozambik sendiri kala itu masih berbentuk koloni dan tak mungkin tampil di helatan internasional. Apalagi, dengan peraturan perundangan Portugal waktu itu, setiap warga negara persemakmuran memang dengan bebas dapat diberdayakan oleh Portugal.

Ya, begitulah nasib negara persemakmuran. Bukankah yang kalah harus tunduk pada sang pemenang?

Pada 1966, lewat kehebatan Eusebio untuk kali pertamanya Portugal masuk ke putaran final Piala Dunia. Dan bukan sekadar jadi partisipan, namun Portugal juga dibuatnya menjadi juara tiga pada perhelatan tersebut. Hal yang tentunya mengejutkan publik Inggris, dan juga dunia.

Ketika itu Eusebio menjadikan Inggris layaknya taman bermain sepakbola. Taman bermain dengan rumput dan fasilitas kelas wahid, suatu hal yang tak pernah ia rasakan di kampung halamannya.

Brasil dan Hongaria tak mampu membendung Eusebio di fase grup. Di partai perempat final, ia pun memimpin suatu comeback yang fenomenal. Tertinggal tiga gol dari Korea Utara, Eusebio membalikkan keadaan dengan mencetak empat gol secara beruntun, dan membawa Portugal melaju ke semifinal untuk bertemu Inggris. Sebuah comeback yang teramat dramatis.

Gol penaltinya di semifinal memang tak mampu membawa Portugal menang. Namun, Eusebio tetap pulang dari Inggris sebagai topskorer. Portugal tak pulang dengan tangan hampa, dan publik Inggris tetap terpana. Bahkan tak salah jika dikatakan bahwa Eusebio adalah bintangnya 1966. Sebagai penghargaan kepada sang bintang, publik membuatkan patung lilin Eusebio di Museum Madame Tussaud.

Berjuang di Tanah Lapang

Sejarah Eropa adalah sejarah penindasan. Penindasan terhadap mereka yang lemah dan penindasan terhadap mereka yang kalah. Dalam balutan kulit kolonial, Eropa dibangun. Sedari dulu Eropa memang begitu. Kulit putih memang dianggap lebih daripada mereka yang hitam.

Dengan kekuasaan yang mereka miliki Eropa selalu menghalalkan tindak perbudakan. Tercatat sejak abad 14 Eropa telah melegalkan perbudakan. Jual beli budak menjadi hal yang lumrah bagi bangsa Portugis, Spanyol, dan Inggris pada abad 14-18. Pun selepas masa itu, praktek dehumanisasi juga masih sering terjadi.

Itulah yang terjadi pada Eusebio. Sebagai bangsa Afrika yang takluk oleh Portugal, ia awalnya dianggap sebagai barang murah. Ia harus meninggalkan tanah kelahirannya yang kaya akan sumber daya alam untuk mengabdi pada tuannya yang baru. Beruntung tuannya waktu itu adalah Benfica yang mampu memberikan ia bekal ilmu dalam mengolah si kulit bundar.

Sebagaimana halnya budak-budak kulit hitam, di awal karirnya Eusebio juga dibayar dengan harga murah. Baru setelah kegemilangannya membawa Portugal berjaya di Piala Dunia, gajinya dinaikkan. Semata untuk memagari sang panther agar tidak loncat dari Stadium of Light.

Namun perlakuan semacam itu tak membuat Eusebio berkecil hati. Ia paham, orang-orang kulit hitam masa itu sedang dalam masa sulit. Justru kondisi itu justru memacu Eusebio untuk lebih berprestasi. Ia percaya bahwa orang Eropa selalu menghargai orang lain atas kerja-kerjanya. Dan dengan prestasinya, ia buktikan itu.

Lewat pernyataan: "black or white, we have football under our skin," Eusebio telah menegaskan bahwa tak ada yang dipersoalkanan lantaran perbedaan warna kulit. Bahwa ruh sepakbola sama-sama bersemayam untuk keduanya.

Dengan prestasi Eusebio telah mengharu-birukan Eropa, khususnya Portugal. Stigma bahwa kulit hitam adalah budak pun lambat laun luntur. Mereka tak menganggap Eusebio sebagai imigran ataupun sebagai orang yang terjajah.

Eusebio disanjung dan dipuja sebagai pahlawan di Portugal. Walaupun bukan pribumi, namun Eusebio adalah aktor revolusi sepakbola Portugal. Tak hanya perangko yang bergambar dirinya, patung Eusebio pun dipahat dan ditempatkan di depan Stadium Of Light. Begitu gagah, sebagai penghormatan terbesar atas dirinya.



Perjuangan kulit hitam untuk memperoleh kesetaraan memang tak pernah usai. Kampanye-kampanye antirasialisme pun masih sering didengungkan. Nelson Mandela telah memilih berjuang untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan lewat jalur politik. Sementara Eusebio memilih berjuang di tengah lapang untuk menyetarakan derajat kulit hitam dengan kulit putih.

Dengan tujuan yang sama, mereka telah berjuang sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Dan di waktu hampir bersamaan, kedua telah dipanggil untuk menghadap tuhan.

Beristirahatlah dengan tenang, Eusebio. Beristirahatlah dengan tenang, Madiba. Jika kelak kami hendak menuntut kesetaraan dan melepaskan diri dari penindasan, kami tahu kepada siapa kami akan mengaduh.

Beristirahatlah dengan tenang, Pahlawan. Surga tampaknya sedang membutuhkan banyak orang-orang baik.



====

* Akun twitter penulis: @SigtPrasetyo dari @panditfootball
* Foto-foto: AFP, Getty Images



(din/a2s)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads