Wacana keberadaan kompetisi profesional sudah didendangkan sejak dekade 70-an. Jika ditarik ke belakang, berarti sudah hampir 40 tahun embel-embel "profesional" itu dipakai. Lama juga, bukan?
Umur kompetisi "profesional" di Indonesia memang sudah memasuki usia tua. Masa-masa pembelajaran yang berjalan tertatih-tatih, labil dan sembrono, semestinya harus segera ditinggalkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kompetisi sekelas Liga Italia atau Liga Inggris pun sebenarnya hal-hal tak mengenakkan itu bisa saja tetap terjadi. Tapi tentu saja dengan takaran masalah dan gaung yang tak seheboh kita. Di sana, hukum dan fungsinya tetap berjalan sebagaimana mestinya. Di sini? Dalam kurun waktu 40 tahun, masalah yang kita dihadapi hanya itu-itu dengan kejadian yang berulang-ulang.
Indonesia memang pandai berkata-kata. Isu profesionalisme adalah bumbu penyedap rasa yang selalu dilempar ke publik. Kita fasih sekali bicara profesionalisme tanpa sekali pun berhasil merealisasikannya.
Sebenarnya sepakbola "profesional" di Indonesia bisa dibagi menjadi lima fase: (1) Galatama, (2) Liga Indonesia, (3) Liga Super Indonesia, (4) Liga Premier Indonesia dan yang baru-baru ini terjadi yaitu (5) Liga "Unifikasi". Tapi tahukah Anda, tiga perubahan format sebelumnya selalu diawali dengan masalah, berjalan dengan masalah, dan ditutup dengan masalah.
Masalah Berhulu pada Galatama
Kita begitu membanggakan kompetisi yang konon katanya "profesional" ini. Cerita J-League yang belajar dari Galatama jadi folklor kebanggaan sejarah bola kita. Tapi apakah betul Galatama diurus dan berjalan dengan baik?
Pada awal mulanya, Galatama pun adalah sebuah kontroversi. Kompetisi ini mulai diwacanakan pada 1973 dan diresmikan pada 1976. Tapi kompetisinya sendiri baru bergulir pada 1979. Aneh, bukan?
Konflik antara dua eks ketua PSSI: Bardosono dan Ali Sadikin ditengarai menghambat pembentukan Galatama itu. Tahun 1976, saat menjabat ketua PSSI, Bardosono meresmikan delapan klub profesional dalam sebuah liga yang masih berbentuk siluman, alias nihil. Klub-klub itu 100% murni dimodali oleh swasta dan dikelola secara profesional layaknya sebuah perusahaan.
Namun apa daya, Bardosono terdepak karena kasus korupsi. Pada Kongres 1977, ia digantikan oleh saingannya, Ali Sadikin. Rencana Bardosono pun ditunda oleh Ali Sadikin. "Konsepnya belum matang," keluh Ali kepada Tempo.
Setelah mendapatkan tekanan dari banyak pihak, baru mimpi Bardosono itu dipenuhi oleh Ali dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1979. Itu pun dengan tak sepenuhnya amanat Bardosono diterima secara legowo oleh Ali. Soal status pemain, misalnya. Meski klub-klub Galatama berstatus profesional, para pemain yang dinaunginya tetap saja amatir.
Status ini sepele tapi vital. Status inilah yang membuat batasan aturan kontrak Galatama terasa tak jelas. Bahkan tak jarang klub-klub Galatama meminjam pemain klub-klub Perserikatan hanya sekadar untuk menghadapi beberapa pertandingan. Begitupun sebaliknya. Amat kacau!
Tapi patut diapresiasi juga bahwa Galatama secara perlahan menyelesaikan masalah-masalah Perserikatan, terutama soal bentuk kompetisi dan gaji. Gara-gara ini, banyak bintang-bintang lokal yang ngebet main di klub-klub Galatama. Galatama sendiri memang ajang penyalur nafsu para taipan yang menggilai bola. Jadi wajar saja jika banyak uang yang berputar-putar di sana.
Seiring berjalan waktu, Galatama tetap bermasalah. Konsep yang tak matang menuntut klub bersikap profesional, tetapi penyelenggara kompetisi tak memberi jalan kepada klub-klub untuk mencari pemasukan tambahan.
Jumlah penonton Galatama di stadion pun tak sepenuh tim-tim Perserikatan. Mereka gagal membangun basis penonton massal. Padahal, sebagai tim non-APBD yang berorientasi kepada bisnis, penontonlah yang menjadi denyut kehidupan mereka. Para pemilik klub juga tentunya enggan selamanya rugi atau memberi subsidi.
Untuk terus bertahan, terkadang pemilik klub maupun individu di bawahnya jadi bagian dalam adegan dagelan yang kerap mewarnai pertandingan Galatama. Godaan bandar suap yang merajarela kadang membuat hasil akhir tak masuk akal. Ada pertandingan yang berakhir 3-0, 4-0, 6-0, bahkan 14-0!
Penonton pun pintar. Mereka tahu pertandingan mana yang dagelan, mana yang asli pertarungan. Dan Galatama pelan-pelan ditinggalkan penontonnya. Mau tak mau, banyak klub yang gulung tikar kemudian bubar.
Galatama pun berbenah. Permainan suap pada klub-klub Galatama perlahan mulai terbongkar. Pemain bola dan "pemain" yang bermain di dalam tim mulai diperiksa di kantor-kantor Polda.
Kawin Paksa Amatir dan Profesional
Bandar-bandar mulai tiarap, tukang judi pusing tujuh keliling. Satu-satunya jalan agar usahanya tetap jalan adalah dengan mengalihkan "permainan" ke kompetisi perserikatan.
Kompetisi amatir PSSI itu menjadi pelarian para pecandu judi dan bandar suap. Beberapa kasus menyimpang yang dilakukan tim-tim perserikatan, seperti sepakbola gajah, sepakbola ikrar, main sabun, sandiwara membuat Perserikatan semakin tenggelam. Oleh karena itu, agar kedua kompetisi ini dapat terus bernafas, wacana penggabungan Perserikatan dan Galatama mulai dikampanyekan PSSI sejak tahun 1993.
Banyak yang berpendapat bahwa penggabungan dua liga ini adalah kawin paksa dan melanggar landasan pembentukan LI yang dirundingkan dalam Kongres ke-30 PSSI tahun 1991. Tapi, seiring perjalanan waktu, PSSI semakin serius untuk menyelenggarakan Liga Indonesia. Pada rencana semula, LI akan digelar pada musim 1995/1996. Namun dipercepat jadi 1994/1995.
Pro dan kontra itu muncul karena dilatarbelakangi oleh kerancuan konsep. Mana mungkin kesebelasan Perserikatan dileburkan dengan kesebelasan Galatama dalam satu kompetisi? Bagaimana bisa klub yang dikelola secara amatir dan profesional disatukan dengan seketika? Pasti akan ada ketimpangan.
Hal ini tentu saja mendapat penolakan cukup keras dari klub-klub Galatama dan Perserikatan. "Ini Ide siapa sih?" ujar Lucky Acub Zaenal, manajer Arema Malang kala itu.
Namun, PSSI tetap bebal dan teguh untuk menggelar kompetisi. Mereka beralasan bahwa keluhan dan kekurangan akan diperbaiki sedikit demi sedikit, seiring dengan berjalannya kompetisi. Kita benahi sambil jalan saja," ucap ketua PSSI waktu itu, Azwar Anas.
Sekilas, apa yang diucap Azwar ini persis seperti yang dilontar Bardosono saat Galatama baru terbentuk. "Liga Indonesia"dan "Galatama" adalah proyek coba-coba. Mirip seperti undian. Kalau gagal ya tak apa. Toh, bisa coba lagi.
Banyak suara minor terkait pembentukan Liga Indonesia ini. Tentu ada pula perpecahan pada kubu PSSI. Kehadiran LI yang dipercepat, isunya adalah untuk menyelamatkan beberapa klub Galatama yang hendak gulung tikar. "Permintaan bos besar," sindir salah seorang pengurus PSSI yang menentang LI.
Membuka Peluang Korupsi
Dengan konsep yang tak jelas awal dan tujuannya, pembentukan Liga Indonesia mungkin jadi mula penyebab carut-cemarutnya sepakbola kita saat ini. Salah satunya adalah dengan membuka peluang korupsi lewat sepakbola.
Klub-klub perserikatan mau tak mau mesti mengeluarkan dana lebih besar. Jika biasanya mereka hanya bertanding 3-4 bulan dengan lokasi yang terpusat, dengan adanya LI mereka harus menggelar kalender pertandingan hingga delapan bulan lamanya. Itupun dengan sistem home and away.
Lantas dari mana mereka dapat dana penyokong selain mengutil dari dana APBD? Ya, lewat LI, klub dipaksa untuk menyedot APBD yang lebih besar.
Lantas apakah LI jadi solusi bagi eks klub Galatama? Sama saja. Tiang fondasi yang hanya bergantung pada kekuatan finansial seorang pengusaha tentu tak baik juga. Saat krisis moneter melanda Indonesia 1998, banyak klub Galatama yang gulung tikar. Tim yang mampu bertahan bisa dihitung jari.
Dulunya output puncak keberadaan LI diharapkan membuat prestasi timnas makin jadi baik. Tapi nyatanya hanya begitu-begitu saja. Kita bisa menilainya sendiri.
Kesemrawutan era Galatama dan LI tentu berimbas pada proses pembentukan tiga fase lainnya yaitu Liga Super Indonesia, Liga Premier Indonesia, dan Liga "Unifikasi". Ceritanya pun sama saja, seperti yang saya katakan pada awal tulisan, bahwa pembentukan liga "profesional" di Indonesia dari dulu hingga sekarang memang selalu diawali dengan konflik. Dari awal perang Bardosono-Ali Sadikin, hingga La Nyalla versus Djohar Arifin -- walaupun belakangan konon sudah selesai.
Indonesia memang negeri kata-kata dan sepakbola Indonesia dipenuhi oleh janji-janji. Masalahnya, kita selalu menjanjikan profesionalisme sejak 1970-an, pada awal Galatama terbentuk. Sudah hampir empat dekade, dan janji-janji itu masih jauh panggang dari api.
Sepakbola kita memang sudah salah dari sononya. Begitu kata seorang wartawan sepakbola senior.
Bagaimana pelaksanaan kompetisi "profesional" musim ini? Ya, mudah-mudahan saja ada perubahan. Mudah-mudahan ya.
====
* Akun twitter penulis: @aqfiazfan dari @panditfootball
(a2s/krs)